15 Desember 2010

» Home » Opini » Pikiran Rakyat » Demokrasi Ala Yogyakarta

Demokrasi Ala Yogyakarta

Oleh Suwandi Sumartias

Mencermati pro dan kontra tentang Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta ala pemerintah pusat yang mendapat reaksi keras dari para elite dan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tentunya memberi pembelajaran luar biasa tentang praksis demokrasi di bumi pertiwi ini. Di lain pihak, pemahaman konsep-konsep demokrasi dan atau politik kekuasaan yang berkembang dalam teks yang dianut negara penganut demokrasi tidak selalu mulus dan sesuai dengan konteks di mana demokrasi itu diterapkan. Demokrasi bukan lagi jaminan tunggal dan mutlak untuk dilakoni tanpa muatan dan isyarat sejarah kekuasaan dengan nilai-nilai unik dan khas yang berkembang sedemikian rupa di masyarakat.

Yogyakarta adalah salah satu bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sangat penting yang telah mengawinkan praksis demokrasi dengan monarki yang relatif berhasil karena tak ada gugatan dan atau keluhan dari masyarakat yang signifikan bagi keberlangsungan NKRI. Kekhawatiran adanya "negara dalam negara" versi orang pusat sungguh berlebihan dan terlalu cepat, bahkan dianggap satu pengingkaran dan penghinaan sejarah sehingga dikhawatirkan memunculkan konflik dan perpecahan lebih luas. Mungkin saja wacana ini muncul akibat persaingan politik dan atau sepak terjang Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam kancah politik praktis yang tampak intensif dan melahirkan satu pandangan yang berbeda di pusat kekuasaan. Masyarakat Yogyakarta mungkin belum tahu dan sulit membedakan antara kegiatan politik Gubernur DIY di luar keraton, baik sebagai salah seorang pembina Golkar maupun ormas Nasional Demokrat, dengan fungsinya sebagai sultan yang benar-benar dihormati dan menjadi panutan warganya. Dalam konteks ini, idealnya seorang raja dituntut netral kepada partai politik atau ormas, kecuali sebagai gubernur.

Demokrasi ala Indonesia

Praksis demokrasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia baru diuji coba melalui pemilihan presiden dan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) langsung sejak 2004 dan dianggap para penganutnya sebagai cara pemilihan yang telah berhasil. Namun, keberhasilan ini baru sekadar "pestanya" elite politik dalam mengerahkan suara para calon pemilih semata, belum menyentuh substansi demokrasi itu sendiri. Bahkan demokrasi kini cenderung mengalami distorsi pemaknaan luar biasa oleh para elite politik dan rakyat sendiri. Demokrasi hanya identik dengan penyelenggaraan pemilu bagi eksekutif dan legislatif semata. Di luar itu, rakyat kembali sebagai penonton yang disuguhi berbagai berita buruk dari realitas politik yang dikelola dan diperankan para elite pascapemilu.

Selebihnya, praksis demokrasi merupakan sarana dan arena perebutan kekuasaan dan jabatan para elite politik yang sangat instan serta sebagai komoditas bisnis para politisi yang bermodal tanpa menghiraukan moralitas dan substansi demokrasi itu sendiri. Situasi ini diperparah oleh minimnya pemahaman dan pendidikan politik rakyat. Hal itu ditandai dengan maraknya politik uang dan iming-iming materi serta jabatan yang empuk di dua lembaga (eksekutif dan legislatif).

Meminjam pemikiran Donny Gahral (2010) dalam salah satu karyanya "Demokrasi Substansial Sebagai Risalah Kebangkrutan Liberalisme", idealnya demokrasi merupakan resistensi elitisme politik yang bertujuan perluasan akses kaum marginal, miskin, dan minoritas. Demokrasi harus mengatasi bentuknya sekarang yang masih berupa mekanisme dan prosedur legitimasi kekuasaan semata. Praksis demokrasi baru sekadar terjebak mekanisme perolehan kekuasaan dan jabatan yang mengandung dua ancaman yang sama latennya.

Pertama, demokrasi dibajak oleh mereka yang sejatinya antidemokrasi. Kelompok ini piawai mengambil hati konstituen secara demokratis, tetapi setelah berkuasa mereka membakar akses atau jembatan yang mereka pakai.

Kedua, demokrasi dibajak oleh orang-orang bermodal, menjadi kompetisi untuk mendulang suara dengan mengusung popularitas dan iklan politik sebagai kunci utama. Kualitas demokrasi pun diperta-ruhkan ketika relasi politik berubah menjadi transaksi ekonomi dan adu tawar posisi dalam birokrasi. Dalam konteks ini, posisi Gubernur DIY tentunya dipandang masih berada dalam koridor legitimasi hukum demokrasi dan sosial budaya dengan UU Keistimewaannya, apalagi merangkap sultan sebagai panutan moral. Sementara praksis demokrasi dalam mayoritas telah keluar dari fitrahnya, terutama demokrasi yang telah dikonstruksi oleh segelintir elite yang mengusung kebebasan individu sebagai produk kaum libe-ralis dan kapitalis.

Hasil riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) 1-5 Mei 2010 menunjukkan, hanya 16,9 persen responden dari masyarakat Indonesia yang merasa kondisi di era reformasi lebih baik, sedangkan 44,5 persen responden menyatakan justru kondisi di era Orde Baru lebih baik. Setelah dua belas tahuh reformasi bergulir, dan jatuhnya Presiden Soeharto, publik ternyata "merindukan kembali" Orde Baru. Mereka menganggap ekonomi di era Orde Baru bahkan lebih baik. Hanya 31,3 persen responden yang menyatakan reformasi sudah berjalan di arah yang benar (on the track). Jauh lebih banyak, 46,2 persen responden, menyatakan reformasi berjalan di arah yang salah atau meragukan arah reformasi. Reformasi lebih baik hanya untuk isu penegakan hukum dan kebebasan politik. Akan tetapi, untuk isu stabilitas politik, keamanan, sosial, apalagi ekonomi, era Orde Baru dianggap lebih baik. (Pikiran Rakyat, 20 Mei 2010).

Praksis demokrasi yang dijalankan satu rezim penguasa benar-benar dipahami sesuai dengan selera dan pengalaman para aktor politik pada zamannya. Reformasi telah melahirkan suasana dan proses demokrasi yang benar-benar bebas sesuai dengan kepentingan para elite penguasa dan atau elite politisi yang berkolaborasi dengan pengusaha. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), makelar kasus, hukum, pajak, dan sebagainya, semakin hari semakin telanjang adanya. Ternyata bangunan demokrasi telah dipelintir sebagian elite negeri yang nihil komitmen dan kepastian penegakan hukum. Reformasi menjadi arena pertarungan dan pertaruhan kepentingan elite penguasa, politisi, dan pengusaha yang disaksikan jutaan rakyat melalui berbagai media massa dan jejaring sosial serta rumor-rumor di jalanan.

Praksis politik demokrasi yang ditampilkan benar-benar menjadi tontonan dan akumulasi kekecewaan yang luar biasa di ruang-ruang publik. Ruang-ruang publik yang seharusnya menyajikan program bagaimana intensitas kepedulian dan tanggung jawab sosial negara atas rakyatnya dari kebodohan, kemiskinan, KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), kini berubah menjadi ruang caci maki dan ketidakberdayaan. Lagi-lagi para elite yang dikritisinya berjalan tanpa merasa dikritik, apalagi bersalah dan malu, bahkan sibuk bagaimana menyelamatkan diri.

Ranah birokrasi dan politik praktis menjadi domain pertunjukan sentralistik yang pragmatif dan sekaligus grey area yang sulit diprediksi akal dan nurani yang sehat. Seyogianya, ingar bingar pesta politik demokrasi, pernyataan, argumentasi, persuasi, demonstrasi, performance, bahkan cercaan dan makian yang disampaikan dalam aneka diskursus di gedung parlemen, media massa, dan ruang publik beberapa tahun terakhir ini menunjukkan adanya nuansa terbangunnya spirit "kebebasan individu" (individual freedom) sebagai satu ruh utama demokrasi. Namun, kebebasan individu yang diperoleh itu belum dibarengi dengan tanggung jawab politik para elite dalam mengelola negara dan rakyatnya, sehingga kebebasan berdemokrasi harus dibayar dengan tergerusnya aneka pilar dan perekat sosial (social cohesion) yang selama ini jadi pengikat nation state yang ditunjukkan oleh semangat kesatuan, kebersamaan, persaudaraan, dan kebangsaan.

Kebebasan itu juga merongrong landasan etika sosial dan moral politik yang melandasi dunia kehidupan politik, sosial, dan ekonomi, seperti tata krama, kesantunan, kejujuran, integritas, tenggang rasa, dan rasa hormat. Celakanya, ini mewabah di lembaga tinggi negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Praksis demokrasi kini sedang bergerak ke arah perayaan kebebasan individu yang cenderung menumbuhkan watak individualisme, yakni egoisme, selfishness, narsisisme, dan hedonisme. Elite-elite politik cenderung mengembangkan etika individualis. Pandangan individu jadi ukuran segala kebenaran, kebaikan, dan keutamaan (virtue). Akibatnya, ukuran nilai, kebenaran, moral, dan keutamaan kolektif yang berasal dari adat, mitos, tradisi, bahkan agama semakin terpinggirkan.

Dalam situasi seperti ini, tentunya eksistensi DIY yang mengawinkan demokrasi dan monarki masih dianggap lebih baik. Oleh karena itu, sebagai penutup, perlu kiranya mengkaji apa yang dipikirkan oleh Joseph V. Femia ("Against the Masses" dalam Yasraf Amir Piliang, 2010) bahwa "demokratisasi" sebagai suatu proses harus mendapatkan kritik memadai sebelum diputuskan apakah akan diterapkan sebagai landasan ideologis atau tidak karena ada beberapa watak demokrasi yang mungkin bertentangan dengan "karakter bangsa" sehingga ia dapat menjadi suatu ancaman ketimbang harapan. Semoga!***

Penulis, pengajar Komunikasi Politik dan Ketua Jurusan Humas Fikom Universitas Padjadjaran Bandung.
OPini Pikiran Rakyat 16 Desember 2010