Indonesia patut berbangga. Meski diguncang krisis, ekonomi tetap tumbuh. Bahkan Indonesia rutin memproduksi orang terkaya. Dalam majalah Forbes Indonesia edisi terbaru, kekayaan 40 orang terkaya Indonesia mencapai USD71 miliar, melonjak dari USD42 miliar tahun lalu.
Sebanyak 10 dari 40 orang merupakan pendatang baru. Yang menarik, 16 dari 40 (40%) orang itu merupakan pengusaha yang bergerak di bidang pertambangan (batu bara) dan perkebunan (kelapa sawit dan tembakau). ”Jadi, apabila ada orang ingin terjun menjadi wirausaha, peluang terbesar untuk berhasil ada di bidang itu,” kata Chief Editorial Advisor Forbes Indonesia Justin Doebele (SINDO, 4/12).
Sebagian besar perusahaan 40 orang terkaya itu telah dicatatkan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ini bukan kebetulan karena kinerja BEI cukup baik. Indeks harga saham gabungan (IHSG) di BEI tumbuh pesat, dari 2.500 awal tahun 2010 menjadi 3.635 akhir Oktober lalu, meningkat 43,4%. Jadi, jika ada perusahaan mencatatkan sahamnya di BEI, peluang kekayaannya dilipatgandakan (lewat kapitalisasi saham) cukup besar. Itulah dua resep menjadi orang kaya yang bisa dibaca dari edisi Forbes Indonesia.
Artikel ini tidak memberikan resep bagaimana menjadi kaya; tapi menyibak rahasia, atau barangkali kunci, di balik pertanyaan mengapa mereka jadi orang terkaya. Pertama, sebagian dari pengusaha ini bergerak di sektor nontradable (tidak dapat diperdagangkan). Sektor ini meliputi keuangan/perbankan, jasa, perumahan, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/hotel/restoran.
Duet Michael dan Budi Hartono (peringkat ke-1) adalah pemegang saham terbesar BCA, bank swasta terbesar negeri ini. Keduanya memiliki pusat perbelanjaan, perkantoran, dan kompleks hotel di pusat Jakarta: Grand Indonesia. Peter Sondakh (peringkat ke-8) memiliki saham di Excelcomindo Pratama (XL), usaha telekomunikasi yang tumbuh pesat. Selain bergerak di bisnis keuangan (Bank Mega), Chairul Tanjung (peringkat ke-18) memiliki bisnis waralaba, jasa (televisi) dan properti (Bandung Supermall). Eka Tjipta Widjaja (peringkat ke-3) juga punya bank (BII).
Data BPS sepuluh tahun terakhir menunjukkan, penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah sektor non-tradable, bukan sector tradable (pertambangan, pertanian, dan manufaktur). Akumulasi pertumbuhan sektor non-tradable sungguh pesat (lebih 10%), melampaui pertumbuhan China. Wujudnya, di sana-sini tumbuh gedung perkantoran, hotel, dan pusat perbelanjaan baru yang mewah, serta aneka model telepon seluler laris-manis. Sektor ini bersifat padat modal, padat teknologi, dan padat sumber daya manusia terdidik.
Penyerapan tenaga kerjanya tidak sebesar sektor tradable. Makanya, saat ini setiap pertumbuhan 1% hanya mampu menyerap 200.000 tenaga kerja, sementara di era Orde Baru mencapai 400.000. Penikmatnya hanya segelintir orang.
Kedua, sebagian dari orang terkaya itu berusaha di sektor pertambangan, terutama batu bara. Ada Edwin Soerjadjaja (peringkat ke- 13 dengan kekayaan USD1,6 miliar lewat Adaro Energy); Aburizal Bakrie (peringkat ke-10 dengan kekayaan USD2,1 miliar dari Bumi Resources); serta dua pendatang baru, Kiki Barki (peringkat ke-11 dengan kekayaan USD1,7 miliar lewat Harum Energy) dan Agus Lasmono Sudwikatmono (peringkat ke-24 dengan kekayaan USD845 juta lewat Indika Energy).
Bukan kebetulan harga batu bara terus meroket. Ketika BBM kian mahal, batu bara jadi salah satu alternatif energi yang dilirik. Ke depan, harga batu bara akan terus meningkat dan terus memproduksi orang terkaya. Ketiga, sebagian dari pengusaha ini bergerak di sektor perkebunan. Duet Michael dan Budi Hartono adalah generasi kedua pabrik rokok Djarum, yang memiliki pangsa pasar ketiga di Indonesia setelah Sampoerna dan Gudang Garam.
Peter Sondakh juga menekuni hal yang sama dengan pabrik rokok Bentoel dan Putra Sampoerna (peringkat ke-9) dengan Sampoerna yang belakangan dia menjual saham mayoritasnya. Adapun Martua Sitorus (peringkat ke-4), Sukanto Tanoto (peringkat ke-16), Anthoni Salim (peringkat ke-5), Peter Sondakh, Aburizal Bakrie, Putra Sampoerna, dan Eka Tjipta Widjaja merambah bisnis sawit.
Wilmar Internasional milik Martua adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar di Asia, tidak hanya dalam penguasaan kebun, tapi juga perdagangan. Wilmar merupakan perusahaan sawit yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Meski baru memulai usaha sawit pada 1994, kapasitas industri hilir (refinery) Wilmar (22%) jauh melampaui kompetitornya: Musim Mas Group (16%), PHS Group (8%), Salim Group (5%), Asian Agri (4%), dan Sinar Mas (4%). Pemilik konglomerasi Raja Garuda Mas, Sukanto Tanoto, gurita bisnisnya bergerak dari kertas hingga CPO. Pada 2006 Sukanto jadi sebagai orang terkaya negeri ini.
Nasib Petani
Sebenarnya, di antara sektor tradable, pertumbuhan sektor pertanian di atas rata-rata. Namun, terjadi kesenjangan tajam antara subsektor perkebunan dan kehutanan yang tumbuh 62% dan 20%, dengan subsektor tanaman pangan dan peternakan yang pertumbuhannya justru merosot. Pada 2008, misalnya, pertumbuhan subsektor pangan dan peternakan masing-masing minus 5% dan minus 3,9%. Salah satu komoditas perkebunan yang tumbuh pesat adalah sawit.
Tahun 2010 ini diperkirakan produksi CPO Indonesia dari 7,9 juta hektare lahan sebesar 21 juta ton: 5 juta ton diserap pasar domestik, sisanya diekspor. Saat ini Indonesia tetap bertengger sebagai jawara produsen CPO dan akan memperbesar pangsa pasar dari 47% menjadi 50%, jauh meninggalkan Malaysia. Sawit adalah satu dari sedikit komoditas ekspor andalan dari nonmigas.
Tahun 2007, misalnya, CPO berada di peringkat pertama produk ekspor dengan kontribusi 11,13% dari total ekspor nonmigas. Selain memupuk devisa, CPO jadi penyumbang besar pajak. Pada 2008, ekspor CPO 16 juta ton nilainya USD12,4 miliar. Pemasukan dari pajak ekspor Rp25 triliun. Saat ini setidaknya 2,8 juta buruh mengais rezeki di kebun sawit. Dengan asumsi satu keluarga berjumlah empat orang, ada 11,2 juta orang yang nasibnya bergantung pada sawit. Komoditas lain yang menjanjikan adalah tembakau. Jika dijual mentah, harga tembakau amat murah.
Namun, jika diolah, dalam bentuk rokok, misalnya, nilai tambahnya luar biasa. Contoh, cukai rokok yang cengkeh dan tembakaunya 100% dipasok petani pada 2008 sebesar Rp50 triliun. Berapa keuntungan pabrik rokok? Salah satu pelajaran penting dari hal ini, apabila ditangani serius dan benar, pertanian menjanjikan kekayaan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Buktinya, pertanian bisa menjadi tiket meraih predikat orang terkaya sejagat.
Kalau pertanian selama ini tidak berkembang, penyebabnya bukan kesalahan petani, tapi kekeliruan pengambil kebijakan dan pelaku ekonomi lain yang tidak bisa mensyukuri dan mengolah hasil petani. Kalau petani tetap miskin, bukan berarti mereka malas. Buktinya, siapa yang memproduksi pangan 230 juta warga kalau bukan petani? Itu dilakukan di 7,5 juta hektare sawah; 3,6 juta hektare karet; 3,7 juta hektare kelapa; dan ratusan ribu hektare kebun kopi, teh, tebu, lahan kedelai, jagung, dan yang lain.
Petani miskin karena selama 400 tahun terakhir evolusi pembangunan selalu dibimbing oleh jiwa yang meniadakan petani/warga sebagai subjek pembangunan. Premis dasar kebijakan yang diyakini adalah usaha besar memiliki kapasitas lebih tinggi dari petani. Padahal, bukti-bukti empiris menunjukkan sebaliknya. Implikasinya, penikmat surplus ekonomi dari sektor pertanian hanyalah segelintir orang: korporasi dan pengusaha besar.
Lewat model budi daya monokultur berskema plasma-inti seperti perkebunan inti rakyat,korporasi (inti) sawit memperoleh legitimasi kuat melakukan eksploitasi petani: si lemah (plasma). Ibarat cultuurstelsel, dalam pola plasma-inti berlaku hubungan ekonomi tuan-hamba, majikan-kuli, atau patron-client. Petani dan rakyat yang lemah, yang mustinya dimandirikan, justru dibuat tergantung.
Dualisme ekonomi (inti vs plasma, non-tradable vs tradable) ini memiliki konsekuensi serius: pertumbuhan tak dinikmati secara proporsional di antara para pelaku ekonomi. Ini terlihat dari meningkatnya indeks Gini: dari 0,32 (2004) jadi 0,37 (2009). Kesenjangan ekonomi yang makin melebar ini menandakan ada yang salah urus dalam sistem insentif pada perekonomian kita. Tanpa usaha serius merombak sistem insentif kedua sektor ini, kemiskinan dan pengangguran akan tetap jadi masalah laten. Sektor pertanian tetap jadi penampung puluhan juta warga miskin. Ironisnya, ada segelintir orang justru kaya raya.(*)
Khudori
Pegiat AEPI,
Pengamat Sosial- Ekonomi Pertanian dan Globalisasi
Sebanyak 10 dari 40 orang merupakan pendatang baru. Yang menarik, 16 dari 40 (40%) orang itu merupakan pengusaha yang bergerak di bidang pertambangan (batu bara) dan perkebunan (kelapa sawit dan tembakau). ”Jadi, apabila ada orang ingin terjun menjadi wirausaha, peluang terbesar untuk berhasil ada di bidang itu,” kata Chief Editorial Advisor Forbes Indonesia Justin Doebele (SINDO, 4/12).
Sebagian besar perusahaan 40 orang terkaya itu telah dicatatkan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ini bukan kebetulan karena kinerja BEI cukup baik. Indeks harga saham gabungan (IHSG) di BEI tumbuh pesat, dari 2.500 awal tahun 2010 menjadi 3.635 akhir Oktober lalu, meningkat 43,4%. Jadi, jika ada perusahaan mencatatkan sahamnya di BEI, peluang kekayaannya dilipatgandakan (lewat kapitalisasi saham) cukup besar. Itulah dua resep menjadi orang kaya yang bisa dibaca dari edisi Forbes Indonesia.
Artikel ini tidak memberikan resep bagaimana menjadi kaya; tapi menyibak rahasia, atau barangkali kunci, di balik pertanyaan mengapa mereka jadi orang terkaya. Pertama, sebagian dari pengusaha ini bergerak di sektor nontradable (tidak dapat diperdagangkan). Sektor ini meliputi keuangan/perbankan, jasa, perumahan, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/hotel/restoran.
Duet Michael dan Budi Hartono (peringkat ke-1) adalah pemegang saham terbesar BCA, bank swasta terbesar negeri ini. Keduanya memiliki pusat perbelanjaan, perkantoran, dan kompleks hotel di pusat Jakarta: Grand Indonesia. Peter Sondakh (peringkat ke-8) memiliki saham di Excelcomindo Pratama (XL), usaha telekomunikasi yang tumbuh pesat. Selain bergerak di bisnis keuangan (Bank Mega), Chairul Tanjung (peringkat ke-18) memiliki bisnis waralaba, jasa (televisi) dan properti (Bandung Supermall). Eka Tjipta Widjaja (peringkat ke-3) juga punya bank (BII).
Data BPS sepuluh tahun terakhir menunjukkan, penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah sektor non-tradable, bukan sector tradable (pertambangan, pertanian, dan manufaktur). Akumulasi pertumbuhan sektor non-tradable sungguh pesat (lebih 10%), melampaui pertumbuhan China. Wujudnya, di sana-sini tumbuh gedung perkantoran, hotel, dan pusat perbelanjaan baru yang mewah, serta aneka model telepon seluler laris-manis. Sektor ini bersifat padat modal, padat teknologi, dan padat sumber daya manusia terdidik.
Penyerapan tenaga kerjanya tidak sebesar sektor tradable. Makanya, saat ini setiap pertumbuhan 1% hanya mampu menyerap 200.000 tenaga kerja, sementara di era Orde Baru mencapai 400.000. Penikmatnya hanya segelintir orang.
Kedua, sebagian dari orang terkaya itu berusaha di sektor pertambangan, terutama batu bara. Ada Edwin Soerjadjaja (peringkat ke- 13 dengan kekayaan USD1,6 miliar lewat Adaro Energy); Aburizal Bakrie (peringkat ke-10 dengan kekayaan USD2,1 miliar dari Bumi Resources); serta dua pendatang baru, Kiki Barki (peringkat ke-11 dengan kekayaan USD1,7 miliar lewat Harum Energy) dan Agus Lasmono Sudwikatmono (peringkat ke-24 dengan kekayaan USD845 juta lewat Indika Energy).
Bukan kebetulan harga batu bara terus meroket. Ketika BBM kian mahal, batu bara jadi salah satu alternatif energi yang dilirik. Ke depan, harga batu bara akan terus meningkat dan terus memproduksi orang terkaya. Ketiga, sebagian dari pengusaha ini bergerak di sektor perkebunan. Duet Michael dan Budi Hartono adalah generasi kedua pabrik rokok Djarum, yang memiliki pangsa pasar ketiga di Indonesia setelah Sampoerna dan Gudang Garam.
Peter Sondakh juga menekuni hal yang sama dengan pabrik rokok Bentoel dan Putra Sampoerna (peringkat ke-9) dengan Sampoerna yang belakangan dia menjual saham mayoritasnya. Adapun Martua Sitorus (peringkat ke-4), Sukanto Tanoto (peringkat ke-16), Anthoni Salim (peringkat ke-5), Peter Sondakh, Aburizal Bakrie, Putra Sampoerna, dan Eka Tjipta Widjaja merambah bisnis sawit.
Wilmar Internasional milik Martua adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar di Asia, tidak hanya dalam penguasaan kebun, tapi juga perdagangan. Wilmar merupakan perusahaan sawit yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Meski baru memulai usaha sawit pada 1994, kapasitas industri hilir (refinery) Wilmar (22%) jauh melampaui kompetitornya: Musim Mas Group (16%), PHS Group (8%), Salim Group (5%), Asian Agri (4%), dan Sinar Mas (4%). Pemilik konglomerasi Raja Garuda Mas, Sukanto Tanoto, gurita bisnisnya bergerak dari kertas hingga CPO. Pada 2006 Sukanto jadi sebagai orang terkaya negeri ini.
Nasib Petani
Sebenarnya, di antara sektor tradable, pertumbuhan sektor pertanian di atas rata-rata. Namun, terjadi kesenjangan tajam antara subsektor perkebunan dan kehutanan yang tumbuh 62% dan 20%, dengan subsektor tanaman pangan dan peternakan yang pertumbuhannya justru merosot. Pada 2008, misalnya, pertumbuhan subsektor pangan dan peternakan masing-masing minus 5% dan minus 3,9%. Salah satu komoditas perkebunan yang tumbuh pesat adalah sawit.
Tahun 2010 ini diperkirakan produksi CPO Indonesia dari 7,9 juta hektare lahan sebesar 21 juta ton: 5 juta ton diserap pasar domestik, sisanya diekspor. Saat ini Indonesia tetap bertengger sebagai jawara produsen CPO dan akan memperbesar pangsa pasar dari 47% menjadi 50%, jauh meninggalkan Malaysia. Sawit adalah satu dari sedikit komoditas ekspor andalan dari nonmigas.
Tahun 2007, misalnya, CPO berada di peringkat pertama produk ekspor dengan kontribusi 11,13% dari total ekspor nonmigas. Selain memupuk devisa, CPO jadi penyumbang besar pajak. Pada 2008, ekspor CPO 16 juta ton nilainya USD12,4 miliar. Pemasukan dari pajak ekspor Rp25 triliun. Saat ini setidaknya 2,8 juta buruh mengais rezeki di kebun sawit. Dengan asumsi satu keluarga berjumlah empat orang, ada 11,2 juta orang yang nasibnya bergantung pada sawit. Komoditas lain yang menjanjikan adalah tembakau. Jika dijual mentah, harga tembakau amat murah.
Namun, jika diolah, dalam bentuk rokok, misalnya, nilai tambahnya luar biasa. Contoh, cukai rokok yang cengkeh dan tembakaunya 100% dipasok petani pada 2008 sebesar Rp50 triliun. Berapa keuntungan pabrik rokok? Salah satu pelajaran penting dari hal ini, apabila ditangani serius dan benar, pertanian menjanjikan kekayaan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Buktinya, pertanian bisa menjadi tiket meraih predikat orang terkaya sejagat.
Kalau pertanian selama ini tidak berkembang, penyebabnya bukan kesalahan petani, tapi kekeliruan pengambil kebijakan dan pelaku ekonomi lain yang tidak bisa mensyukuri dan mengolah hasil petani. Kalau petani tetap miskin, bukan berarti mereka malas. Buktinya, siapa yang memproduksi pangan 230 juta warga kalau bukan petani? Itu dilakukan di 7,5 juta hektare sawah; 3,6 juta hektare karet; 3,7 juta hektare kelapa; dan ratusan ribu hektare kebun kopi, teh, tebu, lahan kedelai, jagung, dan yang lain.
Petani miskin karena selama 400 tahun terakhir evolusi pembangunan selalu dibimbing oleh jiwa yang meniadakan petani/warga sebagai subjek pembangunan. Premis dasar kebijakan yang diyakini adalah usaha besar memiliki kapasitas lebih tinggi dari petani. Padahal, bukti-bukti empiris menunjukkan sebaliknya. Implikasinya, penikmat surplus ekonomi dari sektor pertanian hanyalah segelintir orang: korporasi dan pengusaha besar.
Lewat model budi daya monokultur berskema plasma-inti seperti perkebunan inti rakyat,korporasi (inti) sawit memperoleh legitimasi kuat melakukan eksploitasi petani: si lemah (plasma). Ibarat cultuurstelsel, dalam pola plasma-inti berlaku hubungan ekonomi tuan-hamba, majikan-kuli, atau patron-client. Petani dan rakyat yang lemah, yang mustinya dimandirikan, justru dibuat tergantung.
Dualisme ekonomi (inti vs plasma, non-tradable vs tradable) ini memiliki konsekuensi serius: pertumbuhan tak dinikmati secara proporsional di antara para pelaku ekonomi. Ini terlihat dari meningkatnya indeks Gini: dari 0,32 (2004) jadi 0,37 (2009). Kesenjangan ekonomi yang makin melebar ini menandakan ada yang salah urus dalam sistem insentif pada perekonomian kita. Tanpa usaha serius merombak sistem insentif kedua sektor ini, kemiskinan dan pengangguran akan tetap jadi masalah laten. Sektor pertanian tetap jadi penampung puluhan juta warga miskin. Ironisnya, ada segelintir orang justru kaya raya.(*)
Khudori
Pegiat AEPI,
Pengamat Sosial- Ekonomi Pertanian dan Globalisasi
Opini Okezone 15 Desember 2010