13 Desember 2011

» Home » 28 November 2011 » Okezone » Opini » Modalitas Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi

Modalitas Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi

Pidato Presiden SBY tentang hasil KTT ASEAN yang telah berlangsug di Bali menarik untuk ditelaah lebih dalam. Dalam pidatonya, beliau mengajak sesama anggota ASEAN dan negara-negara Asia Timur untuk mengembangkan ekonomi regional sebagai basis penggerak ekonomi global. Juga, pidato tersebut menyinggung minimal tiga aspek yaitu pelambatan pertumbuhan ekonomi, tidak stabilnya pasar uang internasional dan besarnya kesenjangan ekonomi antara negara maju dengan berkembang adalah faktor penyebab kemunduran ekonomi.

Menyikapi konteks perekonomian regional ASEAN dan dalam lingkup lebih luas adalah perekonomian global, ada baiknya melihat seperti apa sebenarnya dunia internasional melihat Indonesia. Baru-baru ini, World Economic Forum (WEF) mengeluarkan dokumen tentang seberapa kompetitifkah sebuah negara dalam masalah ekonomi. Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa WEF menggunakan dua belas pilar indikator utama sebagai acuan.

Pilar-pilar tersebut adalah: institusi, infrastruktur, kebijakan makroekonomi, kesehatan dan pendidikan umum, training dan pendidikan tinggi, efisiensi pasar, efisiensi tenaga kerja, pengembangan pasar finansial, kesiapan teknologi, perluasan pasar, kepuasan bisnis dan inovasi. Kesemua pilar tersebut digunakan sebagai pedoman khususnya bagi investor untuk melihat performance ekonomi dan selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam penanaman modal.

Yang menarik adalah, WEF menempatkan Indonesia di posisi transisi antara permintaan dasar (keempat aspek pertama pilar yang disebutkan diatas) dan efisiensi (enam pilar selanjutnya). Apa artinya? Secara singkat dapat dipahami bahwa perekonomian Indonesia belum cukup untuk dikatakan kompetitif dan menarik bagi investor. Khusus untuk dua pilar pertama yaitu institusi dan infrastruktur, Indonesia masih perlu mengejar ketertinggalan dari negara ASEAN yang lain. Rumitnya pengurusan perijinan usaha dan tingginya risiko akan demonstrasi buruh mewakili betapa masih lemahnya institusi yang berwenang mengatur perekonomian.

Masalah infrastruktur juga setali tiga uang. Dari total jumlah anggaran yang berkisar Rp1.400 triliun untuk pengembangan infrastruktur, hanya sepertiganya yang bisa dipenuhi pemerintah. Padahal, perluasan pasar sangat membutuhkan mumpuninya jalan atau jembatan sebagai penghubung. Tidak ada infrastruktur maka biaya transaksi akan meningkat yang ujungnya pada mahalnya ongkos investasi.

Posisi negara-negara tetangga juga bervariasi. Malaysia misalnya, diletakkan pada posisi ke dua yang artinya masuk ke dalam enam pilar di tengah. Dalam hal ini, Malaysia sudah menerapkan proses efisiensi dalam perekonomian mereka. Atau Singapura yang menempati ranking ketiga di mana sudah pada tahapan solusi dan inovasi ekonomi. Posisi Singapura ini disejajarkan dengan negara-negara maju semisal Australia dan Jerman. Sedangkan posisi negara ASEAN yang lain berkisar di posisi satu dan dua.
Melihat keberagaman yang ada di negara-negara ASEAN, cukup sulit untuk menata kembali atau setidaknya melakukan langkah aksi yang sama. Dari awal, modalitas yang dipunyai sudah berbeda, strategi pengembangan ke depan tentunya juga tidak sama. Kalaupun tidak bisa dikatakan skeptis, data yang ditunjukkan oleh WEF cukup untuk refleksi atas kondisi ekonomi Indonesia. Aksi bersama yang diinginkan Presiden SBY dalam pidatonya kemungkinan akan hanya ditanggapi sepintas lalu oleh negara-negara ASEAN yang lain.

Lalu apa yang bisa dilakukan? Sejarah pernah membuktikan bahwa hitungan-hitungan ekonomis murni belum tentu bisa berjalan seperti yang sudah diprediksikan. Laporan Bank Dunia akan perekonomian Amerika Latin pada dekade 60-an sangat berkiblat pada kemurnian ilmu ekonomi. Tetapi justru yang terjadi adalah munculnya kemiskinan dan ketidakadilan distribusi pendapatan sebagai efek samping penerapan kebijakan ekonomi tersebut.

Dalam konteks ASEAN, gagasan tentang Masyarakat Komunitas ASEAN pada tahun 2015 perlu dicatat sebagai celah kemungkinan yang bisa diambil. Dalam kondisi ini, mobilitas barang dan manusia adalah keniscayaan yang akan terjadi layaknya yang sudah berlaku di Eropa. Aspek sosial dari integrasi ini yang bisa digunakan sebagai pemutus mata rantai yang hilang apabila hitungan ekonomi mengalami stagnasi. Secara tidak langsung, aspek sosial berimbas pada pemerataan pendapatan dan perluasan kerja yang sebetulnya menjawab gagasan SBY yang ketiga dalam pidatonya.

Modalitas sosial yang dimaksud adalah luasnya jejaring, tingginya itensitas pertemuan, meningkatnya rasa saling percaya antarmasyarakat dan menipisnya egoisme ekonomi. Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua transaksi ekonomis akan melibatkan pikiran rasional yang berbasis pada untung rugi yang akan didapat, tetapi juga melibatkan empati sosial dan kohesi antarkomunitas di mana manusia sendiri adalah komponen penting didalamnya.

Sebagai ilustrasi, China mencatatkan dalam industri pariwisatanya, dibukanya kota-kota kecil di sekitar Shanghai sebagai penopang arus manusia dan dibukanya pusat-pusat layanan lain yang justru tidak berhubungan dengan pariwisata cukup untuk memutar roda ekonomi di sekitar Shanghai. Mobilitas manusia yang tidak bertujuan ekonomis, tatapi menghasilkan nilai ekonomis. Oleh karena itu, Indonesia perlu menyiapkan rencana cadangan diluar gagasan ekonomi yang sudah dirancang. Pertimbangkan juga aspek modalitas sosial yang juga sangat berperan dalam meningkatkan ekonomi.

Anggun Trisnanto
Dosen Hubungan Internasional Universitas Brawijaya, sedang menempuh program Doktoral di International Institute of Social Studies (ISS) Den Haag Belanda

Opini Okezone 28 November 2011