13 Desember 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Perlawanan Masih Berdenyut

Perlawanan Masih Berdenyut

SONDANG Hutagalung, nama yang menjadi ‘’misteri’’ akhir 2011. Tindakan almarhum merupakan kisah lain dari aksi Mohamed Bouazizi di Tunisia. Keduanya sama-sama membakar diri sebagai aksi perlawanan. Bouazizi kesal terhadap pemerintahan korup Tunisia yang mengabaikan rakyatnya. Ia membakar diri pada 17 Desember 2010 setelah aspirasinya diabaikan oleh gubernur, diusir oleh pasukan militer, dan mewakili penderitaan rakyat Tunisia yang dizalimi penguasa. Setelah itu, sontak aksi Bouazizi menjadi inspirasi dan martir dalam Revolusi Melati di negerinya. 

‘’Musim Semi’’ Timur Tengah berakar dari demonstrasi ekspresif yang diawali Bouazizi. Hinggi kini revolusi Timur Tengah telah mengubah tata politik, militer, dan ekonomi. Aksi demonstrasi ekspresif warga Timteng dengan beragam strategi —yang oleh Asef Bayat (2011) dikatakan sebagai the art of presence, sebagai politik kehadiran dalam ruang publik politik.   

Adapun Sondang, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK) Jakarta membakar diri di depan Istana Merdeka 7 Desember 2011. Aksinya itu sebagai keprihatinan atas sengkarut politik dan kondisi bangsa ini yang makin tak jelas arahnya. Namun bukan tanpa tujuan, ia memberi semacam sinyal gerakan di tengah keangkuhan penguasa: perlawanan itu masih berdenyut. 

Ia merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Ayahnya sopir taksi dan ibunya tidak bekerja. Ia tinggal bersama keluarganya di Pondok Ungu, Bekasi. Selama ini, pemuda itu aktif dalam organisasi pergerakan mahasiswa. Dia menjabat Kabid Organisasi Himpunan Aksi Mahasiswa Marhaenis untuk Rakyat Indonesia (Hammurabi). Dia juga tergabung dalam berbagai aksi demonstrasi damai yang mengkritik pelanggaran HAM dan korupsi, serta aktif dalam aktivitas Sahabat Munir. 

Pesan Perlawanan

Aksi bakar diri tersebut sontak memberi kejutan, terutama di tengah berlarut-larutnya kasus korupsi, sengketa Papua, dan kelambanan kinerja pemerintah. Ia seolah menjadi penyentak bagi politikus dan penguasa agar tak abai dengan kinerja pemerintahan dan visi keindonesiaan. 
Dia telah menjadi tanda bagi perjuangan warga Indonesia untuk keluar dari jebakan permainan politik, lingkaran korupsi hingga transaksi kepentingan antarelite politik. 

Dia telah memilih bahasa perlawanannya sendiri: membakar dirinya di depan panggung kekuasaan yang bertabur kepentingan. 

Meski anak muda itu telah membakar diri, dan ribuan bahkan jutaan orang bersimpati, berteriak, dan bergerak atas nama almarhum, adakah perubahan yang bisa dipetik dari pemerintahan yang tersandera kepentingan elitenya sendiri? Sondang seakan mewakili suara jutaan rakyat Indonesia yang lelah dengan tipu muslihat penguasa, permainan hukum, dan sandiwara penanganan kasus korupsi. 

Kematiannya membongkar kembali ingatan manusia Indonesia tentang kejahatan politik. Terbunuhnya Wiji Tukul, Munir, saudara-saudara kita di Papua dan nyawa yang telah meregang untuk mengukuhkan tegaknya HAM. Sondang menjadi pengingat lupa, bahwa jantung perlawanan kita masih berdenyut dan ia mengerkah-meluap membentuk kesadaran komunal. Kematiannya bermakna bahwa kita tak boleh lupa pada tujuan hidup berbangsa, dengan visi demokrasi, dengan cita-cita keindonesiaan. 

Masihkan ada simpati dan gerakan lanjutan dari aksinya? Politikus hanya akan menganggap Sondang sebagai kritik sambil lalu, ditanggapi dingin, dan berusaha ditutup dengan kasus-kasus besar lainnya untuk pengalihan isu; agar warga negeri ini lupa. Kita sudah sering lupa, dan sengaja dibuat lupa, oleh derasnya arus informasi dengan tampilan kasus-kasus besar. Lalu semuanya dijejalkan agar dikunyah oleh pembaca koran majalah, oleh pemirsa televisi. 
Sondang bisa menjadi ‘’Bouazizi’’ di negeri ini; ia menyampaikan pesan perlawanan lewat aksi yang menyayat hati. Mengenang dia, kita teringat Sukardal, tukang becak yang mati gantung diri karena becaknya disita petugas, 2 Juli 1986 di Bandung. Sukardal dan Sondang, merupakan wajah warga Indonesia yang memberikan pesan perlawanan dengan bahasanya sendiri: melawan dengan kematian. Sudah saatnya, nurani dan keindonesiaan kita bergetar. (10)

— Munawir Aziz, mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM
Wacana Suara Merdeka 14 Desember 2011