Lord Acton menyebutkan kekuasan berkorelasi positif dengan korupsi. Ia mengatakan power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Dalam konteks kekinian di Indonesia tesis dari Lord Acton benar-benar terjadi bahkan Soegeng Sarjadi menyebut the have corrupt absolutely. Faktanya hampir setiap hari berita-berita di media massa tidak pernah luput memberitakan skandal korupsi.
Satu di hukum, satu lagi tertangkap, satu lagi jadi tersangka, besoknya kabar tentang korupsi baru menjadi headline media massa. Di negeri ini korupsi seperti siklus kehidupan yang tak pernah mati.
Patah tumbuh hilang seribu.
Gurita korupsi Nazaruddin yang bernyayi mengenai skandal besar belum tuntas diusut, kini giliran Menakertrans Muhaimin Iskandar yang tercatut namanya. Padahal, kutip-mengutip di Banggar DPR dan korupsi Wisma Atlet Kemenpora baru terungkap dipermukaanya. Korupsi sudah bergerak dan berpindah. Lalu besok siapa lagi yang akan terjerat? Tokoh publik manalagi?.
Hantu korupsi seakan bergentanyangan dimana-mana. Jangan-jangan hampir disemua lembaga/kementerian tradisi korupsi adalah hal yang biasa, lumrah dan wajar-wajar saja. Jika memang demikian adanya, adakah harapan penyakit korupsi bisa disembuhkan?
Gejala yang tampak kasatmata melalui pemberitaan menyebutkan dengan terang benderang korupsi makin merajalela. Pejabat sudah tidak malu dan terang-terangan melakukan tindakan korupsi. Seolah tidak ada efek jera karena penangkapan-penangkapan dan hukuman yang setimpal bagi para pelaku korupsi.
Nah, yang menjadi pertanyaan kenapa anatomi korupsi begitu mudah menjangkiti pengelola negara serasa dilakukan secara berjamaah. Pertama; karena sistem politik kita yang cenderung bersifat patron-klien. Menurut Peter Burke budaya patronase adalah sistem politik yang berlandaskan hubungan pribadi antara pihak-pihak yang tidak setara antara pemimpin (patron) dan pengikut (klien). Masing mewakili kepentingan sektoralnya sendiri. Klien menawarkan dukungan politik serta loyalitas tanpa batas kepada sang patron (pemimpin kekuasaan). Sang patron lalu membalas dukungan politik dengan menawarkan jabatan, pekerjaan dan status sosial kepada klien.
Unsur inilah yang membuat patron dan klien terlibat perselingkuhan. Unsur yang membuat pemimpin-pemimpin politik di tanah air sangat kesusahan menindak tegas klien-nya yang terlibat korupsi. Kalla menyebutkan korupsi dalam konteks ini dapat dibersihkan dengan adanya pemimpin politik yang kuat. Yang tidak hanya berwacana berada di garis depan pemberatasan korupsi. Melainkan menjadi panglima tempur yang berada di lapangan. Panglima yang tidak takut mengamputasi bagian dari pasukannya yang dapat meraih kemenangan.
Kedua, tingginya biaya politik untuk mendapatkan kekuasaan. Keinginan untuk balik modal ataupun membayar hutang pada pengusaha melalui kebijakan-kebijakan tertentu menjadi variabel para pengelola negara melakukan tindakan korupsi. Bukan jadi rahasia umum, basis ekonomi yang rapuh merupakan kendala hampir seluruh politisi di tanah air. Mereka umumnya baru membangun basis ekonomi setelah menjabat, dengan berbagai cara dari broker proyek dan jabatan hingga tindak korupsi.
Bahaya Laten Korupsi
Bila keadaan ini terus membiak dan tetap dibiarkan korupsi akan berdampak besar pada hilangnya kepercayaan publik terhadap pengelola negara. Antipatinya publik terhadap pengelola negara akan menimbulkan efek multidimensional yang dapat menganggu stabilitas politik negara. Kekacauan, tindakan anarki, demonstrasi-demonstrasi, penggulingan kekuasaan hingga revolusi-revolusi sosial yang bersifat jalanan akan marak kembali terjadi.
Terlalu banyak biaya sosial yang harus dikeluarkan jika fase gerakan jalan kembali tumbuh. Bukan solusi yang beradab, ide yang cemerlang, dan gagasan brilian yang ditawarkan melainkan turunnya rezim secara paksa. Kita semua tentu tidak berharap kejadian yang menimpa Orde Lama dan Orde Baru berulang. Terlalu letih bangsa ini memulai membangun dari nol kembali. Akan banyak korban manusia dan kepentingan-kepentingan yang lebih besar yang hilang.
Nah, sebelum daur ulang alamiah itu terjadi. Kepercayaan publik musti dipulihkan. Korupsi sebagai penyakit dan beban bangsa musti dikubur. Kesadaran yang mulai detik ini tanpa lelah harus didengungkan kepada para pengelola negara. Mengingatkan kepada para pengelola negara bahwa korupsi-meminjam istilah Franz Magnis-Suseno SJ-adalah kejahatan, bahwa korupsi adalah varibel penghalang bangsa ini mengepakkan sayap untuk terbang menjadi bangsa besar, dan korupsi adalah pencurian terhadap masa depan anak cucu bangsa.
Secara luas korupsi akan dapat berdampak dan menghambat investasi; membuat misalokasi pendapatan dan pengeluaran negara; menjadi beban penduduk miskin karena dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi sehingga akan dapat mengurangi terciptanya lapangan pekerjaan, turunnya layanan kesehatan, rendahnya akses pendidikan, dan pembangunan-pembangunan infrastruktur publik. Pada akhirnya, korupsi politik akan berimbas pada hilangnya kesempatan publik untuk mengenyam kemakmuran, merasakan nikmatnya hidup sejahtera, adil dan bahagia.
Maka daripada itu, kesadaran nurani akan bahaya pelipatgandaan korupsi harus terus dikumandangkan bahwa kini pemerintah/pengelola negara sedang mempertaruhkan masa depan bangsa. Mempertaruhkan amanah dan wewenang publik dengan kepercayaan atau melakukan penyalahgunaan kekuasaan dan mempergunakannya untuk kepentingan pribadi, kelompok dan ego sektoralnya saja.
Oleh karena itu, sebagai upaya untuk mengurangi tingginya angka korupsi. Diperlukan langkah dan upaya untuk memiskinkan koruptor secara sistemik melalui undang-undang yang dapat membuat negara mengambil uang hasil korupsi. Dan perlunya gerakan bersama melawan korupsi yang berlandaskan moral dan etika. Gerakan yang ditarik dengan ketauladanan dari pemimpin bangsa, seperti yang belum lama ini dipraktekkan Anna Hazare di India.
Ahan Syahrul Arifin
Aktivis HMI, sedang melanjutkan studi Pascasarjana di Universitas Indonesia
Opini Okezone 24 November 2011
13 Desember 2011
Perselingkuhan Kekuasaan dan Korupsi
Thank You!