Bulan November tahun ini menjadi sangat spesial bagi kita bangsa Indonesia. Paling tidak ada empat momen besar yang diperingati menjelang dan selama bulan ini; Sumpah Pemuda pada 28 Oktober; Hari Raya Kurban yang jatuh 6 November; Hari Pahlawan Nasional pada 10 November, lalu diakhiri dengan Tahun Baru 1433 Hijriah pada 27/11/2011.
Keempat momen besar tersebut memiliki keterkaitan satu dengan lainnya dan saling berkelit berkelindan sesamanya tentang tentang pemuda, pengorbanan, dan kepahlawanan. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 jelas jadi panggung sejarah pemuda di negeri pertiwi ini dalam mendobrak kebuntuan kita saat menghadapi penjajah. Begitu pula proklamasi 17 Agustus 1945 dan terlebih lagi perlawanan heroik arek Suroboyo pada 10 November 1945, yang kini kita rayakan sebagai Hari Pahlawan.
Hijrah Maknawiyah
Ketiga fragmen itu akan bermuara pada kata ajaib, yaitu perubahan yang terkandung dalam momen hijrah Rasulullah dan sahabat-sahabatnya dari Makkah ke Madinah. Perubahan dari fase penanaman akidah ke fase pengejawantahan akidah tersebut dalam realitas kehidupan yang sangat beragam.
Di masa kini, makna hijriah secara maknawiyah atau batiniah dinilai lebih mengena dari pada sekadar pindah dalam pengertian fisik. Yakni melakukan perubahan dan transformasi spiritualitas dan segala sesuatu yang bersifat maknawiyah.
Agama sebagai suatu sistem nilai dan ajaran memiliki fungsi yang pasti dan jelas untuk pengembangan kehidupan umat manusia yang lebih beradap dan sejahtera. Dalam perspektif ajaran dan sejarah, agama apa pun - terutama Islam, sebagai penutup agama-agama samawi sekaligus pelengkap- turun ke dunia untuk memperbaiki moralitas manusia dari kebiadaban menuju manusia yang bermoral dan berkeadaban. Karena itu, ketika manusia telah jauh menyimpang dari fitrah, muncul nabi-nabi yang akan mengembalikan mereka kepada kehidupan yang fitri, cenderung kepada kebaikan, dan menjauhi segala kesesatan dan kejahatan.
Kebaikan adalah perennial dan universal. Dari zaman nabi Adam sampai sekarang, bahkan hingga akhir zaman, penyebaran kasih sayang, keadilan, egalitarianisme dan seterusnya adalah nilai yang baik. Sebaliknya, berbuat kerusakan, mengumbar kemarahan dan penindasan merupakan sifat buruk. Nilai negatif yang terdapat pada perbuatan itu merupakan sifat intrinsik yang tidak akan berubah dari dulu sampai sekarang. Dalam kerangka ini lah agama datang dan disebarkan. la hadir untuk membimbing manusia agar mereka mengetahui kebaikan. Agar manusia melaksanakan dan menyadari adanya keburukan dan kejahatan, untuk kemudian menghindari. Ini aspek immanent dalam agama.
Disamping itu, dalam agama terdapat nilai-nilai transenden berupa iman, kepercayaan kepada Tuhan, dan serangkaian ibadah ritual sebagai manifestasi kepercayaan dan kepatuhan kepada sang pencipta. Pada dasarnya, transendensi agama, khususnya Islam, bersifat fangsional bukan sekadar untuk kehidupan akhirat yang bersifat eskatologis murni dan terpisah dari kehidupan sekarang. Namun, hal itu juga berfungsi praktis dan applicable untuk kehidupan dunia. Melalui aspek transenden, manusia diharapkan mampu mengaplikasikan nilai-nilai moral agama dalam situasi dan kondisi apa pun karena merasa diawasi dan dibimbing oleh Yang di Atas (sikap ihsan).
Meminjam ungkapan Fazlur Rahman (1987; 125), manusia harus menjadi khalifah Allah di muka bumi sebagai konkretisasi dari imannya. Dalam kafasitas kreatifnya, manusia mengkronkretkan keimanannya dengan menjadi khalifah sebagai langkah kebijaksaan Tuhan di bumi ini.
Dalam menggambarkan bagaimana hubungan yang kuat antara keyakinan dan kewajiban merealisasikan keyakinan itu dalam wujud nyata kehidupan praksis, Hassan Al Banna (1997: 157) menegaskan bahwa iman tidak akan mempunyai arti bila tidak disertai dengan amal. Akidah tidak akan memberi faedah, bila tidak mendorong penganutnya untuk berbuat dan berkorban guna merealisasikannya dalam nilai-nilai kehidupan.
Beragama Secara Integral
Namun demikian, dalam realitas kehidupan yang berkembang kini, kesenjangan antara nilai-nilai agama di satu pihak dan praktik keagamaan umat di pihak lain masih menganga cukup lebar. Kesenjangan itu timbul dari sikap dan pola keberagamaan yang parsial dan dikotomis.
Misalnya, ketaatan religius sekadar dipahami sebagai kepatuhan dalan menjalankan ibadah yang sifatnya vertikal antara manusia dan Tuhan, dan kesalehan individu dipertentangkan dengan kesalehan sosial. Akibatnya, umat melihat agama sebagai ajaran yang lebih menekankan aspek ritual formal itu sebagai domain yang terpisah atau kurang memiliki keterkaitan dengan persoalan kemanusiaan atau kehidupan sosial yang konkret. Iman hanya berlaku ketika berada di majlis taklim dan di masjid, sementara ketika berada di kantor, di jalanan imannya kemana tahu.
Tidak sulit menemukan orang yang selalu cari aman dalam beragama dewasa ini. Agama dipermainkan dan diposisikan tak lebih seperti komoditas yang bisa dieksploitasi seenaknya untuk menghasilkan keuntungan materi. Ajaran agama dipilah-pilah semaunya, mana yang sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingannya dijalankan. Namun, jika ada ajaran agama yang bertabrakan dengan kepentingan duniawinya, maka dicampakkan.
Agama disekat-sekat semaunya, sehingga muncullah kesan seakan agama hanya mengurusi ibadah mahdhah semata. Untuk urusan salat, zakat, puasa, dan haji, mereka jelas mengambil dari tuntunan agama. Sementara untuk urusan ekonomi, sosial, politik, pendidikan (termasuk pendidikan anak dan keluarga), mereka tidak pernah mengambil dari tuntunan agama. Dalihnya, agama tidak mengatur urusan-urusan tersebut.
Maka, jangan heran bila ada orang yang rajin salat dan rajin pergi ke Tanah Suci, namun ia tetaplah penghisap dan pengemplang uang rakyat, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kedudukan. Model pengamalan agama yang parsial seperti inilah yang akan terus membawa sial (baca; krisis) dan melahirkan manusia-manusia binal seperti koruptor dan sebagainya.
Karenanya, Fazlur Rahman (1993: 52) mengusulkan agar pesan-pesan Alquran dipahami sebagai satu kesatuan utuh, bukan sebagai perintah atau ajaran terpisah-pisah, untuk membentuk nilai-nilai moral perilaku umat. Keutuhan akan dicapai bila aspek teologi (akidah dan keimanan) diletakkan sejajar dalam pola hubungan interdependensi dengan aspek fikih (hukum atau aturan interaksi sosial) yang dirangkaikan secara sistematis oleh etika atau sifat moral.
Dengan kata lain, adanya keselarasan antara fikih wahyu dengan fikih realitas. Hanya kerja sama antara etika wahyu dan etika rasional, menurut M Amin Abdullah (2002: 220), yang akan menyelamatkan manusia dari keadaan terperangkap dalam split personality (keterpecahan kepribadian).
Keberagamaan yang parsial tidak akan pernah membawa pada kebaikan. Yang ada hanya kesialan. Karenanya, dengan momentum tahun baru hijriah ini semoga menjadi peneguhan bahwa kini keberagamaan yang integral dan holistic merupakan sebuah keniscayaan bagi kita semua yang tidak bisa ditunda-tunda lagi, agar negeri ini jauh dan keluar dari sial (krisis) yang berkepanjangan.
Sebagai penutup, hijrah, -seperti yang dikatakan oleh kolega saya, Mukhammad Najib- adalah cerita tentang keberanian meninggalkan kehidupan lama, meninggalkan keterikatan pada tanah dan harta, meninggalkan keterikatan pada tradisi dan budaya lama untuk menjemput hari depan yang penuh kemuliaan. Hijrah adalah cerita tentang kepahlawanan dari mereka yang gigih memperjuangkan kebenaran. Selamat tahun baru Hijriah 1433 H.
Ahmad Arif
Penulis adalah peminat kaian sosial keagamaan, berdomisili di Banda Aceh
Opini Okezone 30 November 2011
13 Desember 2011
Aktualisasi Makna Hijrah
Thank You!