SETELAH heboh kasus Gayus Halomoan P Tambunan, PNS muda usia pada Ditjen Pajak dalam kasus pencucian uang, tindak pidana korupsi, dan penggelapan, di pengujung tahun ini publik kembali dikejutkan berita sejumlah PNS muda usia terindikasi korupsi. Hal ini setelah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyinyalir banyak PNS muda usia dan muda pengabdian melakukan praktik pencucian uang dari anggaran negara. Mereka berasal dari Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai (SM, 07-09/12/11). Disebutkan, ada 1.818 rekening bermasalah yang terindikasi tipikor.
Menurut PPATK, uang haram milik PNS muda tersebut merupakan hasil pencucian uang dari proyek fiktif, gratifikasi, dan suap. Modus yang dilakukan mereka yang saat ini berusia 28-38 tahun adalah dengan mengalirkan dana ke anak, istri, atau suami melalui asuransi. Temuan ini tentu saja menambah beban kerja aparat hukum, terutama KPK, dan memperburuk stigma abdi negara.
Perilaku korup yang dilakukan PNS sebenarnya bukan berita baru. Namun tatkala hal itu dilakukan oleh PNS muda usia, publik kaget karena semestinya mereka masih idealis, masih bersih, namun faktanya sudah tereduksi oleh perilaku yang jadi penyakit bawaan birokrat. Tindakan mereka termasuk berani mengingat pemerintah kini menggalakkan gerakan pencegahan dan pemberantasan korupsi. Apalagi Kementerian PAN dan RB gencar mereformasi birokrasi, salah satunya melalui kebijakan remunerasi.
Temuan awal terkait dengan banyak PNS muda usia korupsi menunjukkan bahwa korupsi tidak bisa direduksi dengan kebijakan remunerasi. Penyebab suburnya perilaku korup di kalangan PNS tentu sangat kompleks dan karena hukum sebab-akibat. Korupsi adalah akibat, yaitu akibat birokrasi yang permisif, yang memberikan peluang tumbuhnya korupsi dan karena PNS muda usia tersebut kehilangan idealisme yang seharusnya menjadi roh pengabdian.
Ladang korupsi subur karena ada persemaian bibit korupsi sejak proses hulu perekrutan CPNS. Sudah menjadi rahasia umum dalam proses itu pelamar harus memberikan uang pelicin agar mudah diterima. Besar kecilnya pelicin bergantung pada jenjang pendidikan dan job yang diincar. Soal sumpah jabatan dan keharusan mengabdi hanya dianggap ritual mekanis yang tidak menumbuhkan efek pengabdian dan etos kepatuhan.
Paham Materialisme
Perilaku korup PNS muda itu karena luruhnya etos idealisme yang tereduksi oleh pandangan materialisme. Mereka mengganti medan pengabdian masyarakat dengan penghambaan terhadap materi dan kekayaan. Paham klasik, sebagaimana dilontarkan Epikuros, mendominasi wacana alam pikiran bahwa satu-satunya cara untuk tetap diakui eksistensinya dalam dunia materialisme adalah dengan cara sebanyak mungkin menumpuk harta.
Dalam kondisi pragmatis, keuangan PNS muda yang bersumber hanya dari gaji tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan materinya yang fluktuaktif. Pandangan dan kebutuhan materialistis itulah menjadi pemicu korupsi. Pada sisi lain, menurut Hamdan Zoelfa, salah satu hakim Mahkamah Konstitusi, cara pandang yang dijadikan dasar untuk mendefinisikan dan memberikan pengertian korupsi pada perundang-undangan tentang korupsi mendasarkan pada filsafat idealisme, yang hanya mengandalkan dunia ide.
Bisa jadi PNS muda usia yang korup itu menganggap tindakannya bukan sesuatu yang tercela, dengan mendalihkan pada beberapa hal. Pertama; upaya mengembalikan biaya yang mereka keluarkan sewaktu melamar menjadi CPNS. Kedua; alasan pertama menjadi pembenar untuk melakukan tindakan di level berikutnya karena dorongan untuk memenuhi kebutuhan materi terkait dengan gaya hidup (paham materialisme).
Ketiga; pertentangan antara paham materialisme dalam paham pikiran dan paham idealisme dalam rumusan UU. Pertentangan antara alam pikiran PNS bahwa tindakannya itu merupakan sikap realistis karena tuntutan kebutuhan materi, sementara rumusan UU menganut paham idealisme. Padahal ide tak bisa menjawab realitas material yang sesungguhnya terjadi.
Fenomena PNS muda usia menjadi generasi muda koruptor menunjukkan bahwa praktik korupsi bukannya mengendor melainkan makin menggurita. Pemberantasan korupsi tak mungkin hanya mengandalkan aparat hukum, dimotori KPK, tetapi butuh keterlibatan semua komponen bangsa. Amat mungkin mewujudkan upaya nonhukum (positif) sebagaimana gagasan Mahfud MD tentang kebun koruptor dan tidak menshalati jenazah koruptor supaya ada efek jera. (10)
— Zamhuri, dosen Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus (UMK)
Wacana Suara Merdeka 13 Desember 2011