Arif Sugiono
Staf Pengajar Political Marketing Jurusan Administrasi Bisnis FISIP  Universitas Lampung.
Realitas politik nasional akhir-akhir ini menjadi sangat bingar.  Bingarnya suasana perpolitikan nasional tersebut, disebakan lahirnya  "bocah-bocah nakal", baik yang berada dalam Pansus Century maupun para  peserta demo yang menilai kegagalan program kerja 100 hari pertama SBY  pada periode kedua dia sebagai presiden.
Istilah "bocah-bocah nakal" tersebut  saya pinjam dari istilah yang  dipopulerkan pengamat politik  Sunardi Rinakit. Istilah "bocah-bocah  nakal" sebetulnya lebih ditujukan kepada para anggota pansus dari partai  politik pendukung SBY yang berprilaku tidak sebagaimana mestinya. Salah  satunya sikap kritis terhadap pemerintah dan para aktivis yang semakin  kuat menyuarakan impeachment dalam berbagai aksi.
Untuk mempermudah pemahaman kita terhadap dinamika politik yang  terjadi sekarang, kita dapat menggolongkan menjadi dua kategori.  Pertama, dinamika politik dalam artian formal (sebagaimana terlihat  dalam pergulatan di Pansus Century di DPR, Mahkamah Konstitusi/MK, MPR,  MA, dan lembaga negara formal lainnya). Kedua, dinamika dalam artian  informal (pergulatan para aktivis dalam parlemen jalanan, pers dan  kekuatan civil society lainnya yang hadir dalam beragam wujud  aksi).
Yang menarik, dalam dinamika yang terjadi di atas, wacana tentang   mungkin-tidaknya impeachment terhadap presiden/wakil presiden  semakin mengemuka. Hal itu tidak lepas dari keinginan para "bocah-bocah  nakal" di atas untuk mengganti rezim yang dianggap gagal. Tulisan ini  mencoba mengalkulasi imajinasi "bocah-bocah nakal" terkait peluang  mungkin tidaknya impeachment dari sisi mekanisme konstitusi dan  dinamika formal kelembagaan.
Sebagaimana kita ketahui bersama, setelah mengalami beberapa kali  proses amandemen, kita telah sepakat menganut sistem presidensiil/  presidensial. Tujuan utama dari presidensiil demi terciptanya  stabilitas politik. Di mana peggantian kekuasaan dapat berjalan secara  teratur/fixed time. Hal ini membawa konsekuensi terhadap  proses/mekanisme impeachment yang begitu rumit/sulit bahkan imposible  dalam konstitusi kita. Kondisi ini sangat berbeda dengan sistem  parlementer yang lebih bermuara pada terciptanya instabilitas politik.  Di mana, pemerintahan dibuat jatuh bangun, yang sangat tergantung dari  ada tidaknya mosi tidak percaya dari parlemen. Sehingga usia  pemerintahan relatif singkat. Ada yang berusia 1 bulan, 1 tahun, bahkan 2  minggu.
Implikasi lainnya dari sistem presidensial, adalah sistem ini  memberikan kekuasaan yang sangat powerful bagi presiden (dalam  realitas politik, hal ini menyebabkan banyak pihak yang memilih berada  di dekat presiden, bahkan tanpa sungkan beberapa parpol dan beberapa  elemen masyarakat mengatakan I Love U Full SBY). Powerfull-nya  seorang presiden, salah satunya dapat dilihat dalam proses pengangkatan  seorang hakim konstitusi. Seseorang walaupun sudah dipilih oleh DPR/  disetujui oleh MA untuk menjadi hakim konstitusi, seseorang tersebut  belum bisa menjalankan tugas kesehariannya sebagai hakim MK sebelum  mendapatkan surat keputusan presiden yang telah ditandatangani presiden.  Karena sistem presidential, selain menjadikan presiden  sebagai kepala  negara, juga sebagai kepala pemerintahan.
Berkaitan dengan dinamika formal yang terkait dengan mimpi para  "bocah nakal" tersebut, sukses tidaknya proses impeachment  presiden/wakilnya, sebenarnya terletak pada 3 lembaga negara yang  terlibat secara langsung dalam proses impeachment. Ketiga lembaga  tersebut, di antaranya DPR, MK, dan MPR.
Berkaitan dengan DPR, pertanyaannya, apakah "bocah-bocah nakal" yang  ada di pansus bisa memastikan 2/3 anggota DPR setuju untuk menggunakan  hak berpendapat bahwa kasus Bank Century telah memenuhi unsur melawan  hukum?. Berkaitan dengan peran MK dalam proses impeachment,  dengan  sembilan hakim konstitusi yang dimiliki, kembali memunculkan  sebuah pertanyaan. Apakah "bocah-bocah nakal" di atas, mampu memastikan  mayoritas hakim konstitusi (5 dari 9 hakim konstitusi) menyatakan bahwa  presiden/wakil presiden bersalah? Selanjutnya berkaitan dengan MPR,  apakah "bocah-bocah nakal" di atas mampu memastikan MPR berani menggelar  sidang istimewa?
Melihat realitas yang ada, dari sudut pandang peran, fungsi, dan  hubungan antarlembaga negara, tampaknya sangat sulit. Bahkan impeachment  presiden merupakan sebuah mission imposible. Untuk mewujudkan  mimpi "bocah-bocah  nakal" tersebut, mereka harus melewati minimal 3  titik kritis. Titik kritis Pertama, "bocah-bocah nakal" yang ada di  Pansus Century harus berhasil memastikan 2/3 anggota DPR menyatakan  pendapat kasus bailout Century telah memenuhi unsur pelanggaran  hukum. Namun, bukankah SBY memiliki kontrak koalisi yang bisa dijadikan  kartu truf untuk mempertegas sikap partai pendukung koalisi.
Seandainya titik kritis pertama berhasil, "bocah-bocah nakal" harus  menghadapi titik kritis kedua, yaitu bagaimana membuat mayoritas hakim  konstitusi harus berpendapat presiden/wakil presiden bersalah. Harus  kita sadari, sembilan hakim dari MK, terdiri dari 3 hakim dari usulan  presiden, 3 hakim dari usulan DPR, dan 3 hakim dari usulan MA.  Seandainya proses impeachment sudah berada pada MK, presiden  tidak akan tinggal diam, bagi seorang SBY, tidak susah mencari 2 hakim  lainnya selain 3 hakim yang diusulkannya untuk tetap mendukung SBY  sampai 2014, dengan berpendapat bailout Bank Century tidak  memenuhi unsur melawan hukum. Apabila ini terjadi, game over, finish.  Wacana impeachment presiden dan wakil presiden sudah tidak  berarti lagi.
Seandainyapun aksi "bocah-bocah nakal" tersebut melaui pengacara yang  ditunjuk mampu meyakinkan mayoritas hakim MK, titik kritisnya berpindah  di tangan MPR. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah "bocah-bocah  nakal" tersebut berhasil mendapatkan simpati 2/3 dari anggota MPR untuk  menolak pembelaan yang dilakukan SBY/Boediono dalam sidang Istimewa?  Sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk dicarikan jawabannya. Karena  dunia politik penuh dengan ketidakpastian. Tapi yang membuat kita agak  tersenyum, dalam dunia politik pun berlaku sebuah pepatah, "Jika kamu  memiliki kuncinya, bunuhlah dia, sebelum dia membunuh kamu." Selamat  berjuang "bocah-bocah nakal".
Opini Lampung Post 4 Februari 2010