03 Februari 2010

» Home » Kompas » ACFTA, antara Harapan dan Realitas

ACFTA, antara Harapan dan Realitas

Setelah pemberlakuan ASEAN-China Free Trade Area, sebanyak 1.017 pos tarif China-Indonesia akan dihapuskan. Dari jumlah itu, 828 pos tarif telah diturunkan pada periode 2004-2009 dan 200 pos tarif akan menyusul dihapuskan.
Berdasarkan Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR dengan asosiasi industri, ada sekitar tujuh sektor kemungkinan merugi, termasuk baja, elektronika, tekstil dan produksi tekstil (TPT), dan furniture. Potensi kerugian di sektor industri senilai triliunan rupiah terjadi sesaat setelah pemberlakuan ACFTA dan akan dirasakan kalangan industri dalam kuartal pertama 2010. Adapun dampak tak langsung adalah penurunan penjualan produk-produk dalam negeri akibat kalah bersaing dengan produk China ataupun negara lain.
Sementara pemerintah berjanji mencari solusi melalui berbagai langkah, di antaranya 1) menganalisa untuk menekan biaya tinggi, 2) Pembenahan infrastruktur, terutama pelabuhan, 3) memperbaiki sistem logistik dan pelayanan publik, seperti national single window, 4) perizinan perdagangan dalam dan luar negeri akan menjadi online, 5) memperketat surat keterangan asal (country of origin), dan 6) meningkatkan pencitraan Indonesia (national branding) di dalam dan luar negeri.

 

Namun, jika baru dimulai sekarang, akan perlu waktu lama, sekitar 3 tahun-5 tahun. Berdasarkan kenyataan dan temuan Komisi VI DPR, masih terjadi ekonomi biaya tinggi, bahkan sangat tinggi, bagi pelaku ekonomi nasional. Ini menyebabkan RI tidak bisa bersaing dengan China. Ongkos pelabuhan tinggi (sumber: Asosiasi Pertekstilan Indonesia), termasuk biaya bongkar muat mencapai 95 dollar AS per kontainer, padahal di Malaysia 88 dollar AS, Thailand 63 dollar AS dan Vietnam 70 dollar AS.
Kualitas sumber daya manusia (SDM) juga rendah. Indonesia di urutan ke-107, jauh di bawah Singapura (25), Brunei (30), Malaysia (63), Thailand (78), China (81), dan Vietnam (105) serta menyebabkan daya saing tenaga kerja serta produk RI menjadi sangat rendah. Peringkat daya saing Indonesia sangat rendah, ke-95 dari 133 negara (World Competitiveness Report), akibat sistem logistik buruk, korupsi, dan pungutan liar.
Terkait SDM, kualitas dan kuantitas aparat kita juga masih relatif rendah untuk menjaga luas wilayah dan seluruh pelabuhan di Indonesia. Jumlah personel Bea dan Cukai hanya 10.600 orang dan pegawai Direktorat Jenderal Perhubungan Laut hanya 17.000 orang. Hal ini diperburuk dengan sistem pengawasan dan masih rendahnya gaji serta tingginya penyalahgunaan kewenangan di kalangan birokrasi.
Investasi di daerah masih terkendala buruknya infrastruktur, terutama jalan, listrik, dan pelabuhan serta retribusi dan biaya-biaya yang dipungut pemerintah daerah. Di sinilah pentingnya program ”National Concern” atau kesadaran semua pihak untuk bahu-membahu mendorong daya saing dunia usaha dan investasi.
Implementasi ACFTA memang menjadi pilihan sulit bagi Pemerintah RI. Di satu sisi, ACFTA sudah telanjur ditandatangani, di sisi lain terlalu besar pertaruhannya bagi bangsa ini untuk menerapkan ACFTA secara tergesa-gesa. Dampak dari penerapan ACFTA yang tergesa-gesa adalah ketergantungan ekonomi Indonesia semakin tinggi termasuk produk-produk sensitif, seperti pangan dan tekstil. Selain itu, pemulihan ekonomi tahun 2010 ke depan sangat rentan. Ini mengakibatkan melemahnya daya serap tenaga kerja dan melambatnya pertumbuhan investasi. Padahal, dibutuhkan investasi Rp 2.000 triliun untuk pembangunan infrastruktur.
Kolapsnya industri manufaktur padat karya, seperti tekstil, mebel, dan baja, akan meningkatkan pengangguran. Namun, tak kalah penting, terjadinya perubahan pola perilaku ekonomi Indonesia dari produsen menjadi ”pedagang” barang-barang murah China. Pada akhirnya, ACFTA hanya akan menjadikan RI sebagai pasar, tetapi dengan daya beli rendah karena masyarakatnya banyak yang menganggur.
Janji dan fakta
Pemerintah menyatakan, ACFTA tak bisa ditunda atau dibatalkan. Kenyataannya, ACFTA dapat ditunda melalui proses pengajuan penundaan lewat badan resmi yang ditunjuk, dalam hal ini Sekretariat Jenderal ASEAN selama pemerintah (Menteri Perdagangan) mempunyai itikad untuk hal tersebut. Pemerintah (Menteri Perdagangan) sepertinya mengambil keputusan sendiri untuk masalah sangat strategis ini. Kenyataannya, dalam proses ACFTA, DPR tidak dilibatkan, mulai dari proses perundingan internasional hingga penandatanganan, padahal perjanjian tersebut secara hukum nasional masih perlu diadopsi ke dalam hukum nasional oleh DPR.
Pemerintah (Menteri Perdagangan) menyatakan, dengan ACFTA peluang pasar akan membesar, dengan mendekati 2 miliar penduduk di kawasan ASEAN dan China. Kenyataannya, jika pelaku bisnis kita kalah bersaing, Indonesia tidak dapat memanfaatkan ACFTA, tetapi justru akan kehilangan potensi ekonomi dan lost generation. Contoh menarik, Indonesia telah mempromosikan pariwisata ke China sejak 2006. Malangnya, turis Indonesia justru jauh lebih banyak berkunjung ke China dengan berbagai alasan, termasuk untuk berobat.
Pemerintah (Menteri Perdagangan) menyatakan akan mencari solusi bagi pelaku ekonomi nasional yang terkena dampak negatif ACFTA. Namun, akan sangat terlambat jika baru ditangani sekarang karena pelaku ekonomi nasional telanjur dirugikan secara finansial ataupun ketenagakerjaan.
Dalam berbagai kesempatan, pemerintah seakan menyalahkan pemerintah sebelumnya dengan mengatakan perjanjian ACFTA merupakan hasil kebijakan rezim sebelumnya. Ini sikap tidak tepat mengingat pemerintah (baca: eksekutif) seharusnya menerima tugas apa pun guna mencari penyelesaian problematika bangsa, bukan mencari kambing hitam.
Negara-negara lain telah mempersiapkan diri setidaknya lima tahun. Thailand, misalnya, menjalankan suatu kebijakan dual track economy, yakni insentif untuk mendorong investasi dan industrialisasi terutama untuk perusahaan multinasional, secara simultan dengan pemberian insentif untuk produk lokal unggulan dalam rangka menggenjot daya saing produk domestik.
Sementara Singapura mengambil langkah kebijakan teknologi inovatif, yakni memperkuat keunggulan kompetitif agar tidak disaingi oleh produk China. Saat ini mereka tinggal memetik keuntungan dari ACFTA.
Malaysia tak ketinggalan menyiapkan kebijakan manufaktur teknologi tinggi dalam rangka menyiapkan daya saing produk domestik sekaligus menggenjot industri jasa, khususnya pariwisata. Mereka menyadari, tanpa persiapan, mustahil mampu bersaing dengan China yang secara ekonomi mampu memproduksi barang murah.
Bagaimana dengan Indonesia? Memang pemerintah berupaya meningkatkan daya saing usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM) melalui kebijakan pelaksanaan UU Nomor 20 Tahun 2008 lewat peningkatan akses pembiayaan dan pembinaan manajemen UMKM. Pemerintah menyatakan ekspor kita naik. Namun, jika dicermati, ekspor tetap bertumpu pada bahan mentah, seperti minyak bumi dan hasil tambang. Hal ini tentu sangat naif karena ekspor bahan mentah bergantung pada pertumbuhan ekonomi negara pembeli.
Pemerintah saat ini memang terlihat berupaya menggalakkan program ”Aku Cinta Indonesia” dalam rangka meningkatkan daya saing pelaku ekonomi nasional. Namun, jika melihat fakta di lapangan, Pasar Tanah Abang, misalnya, sudah dibanjiri produk tekstil China jauh sebelum penerapan ACFTA.
Solusi
Apa solusinya? Jelas tak ada solusi jangka pendek karena permasalahan Indonesia dalam kasus ACFTA sudah menjadi permasalahan kumulatif.
Pertama, diperlukan suatu badan yang bertugas menghantar Indonesia menuju era perdagangan bebas ACFTA. Prinsipnya, badan ini memastikan kemampuan dan persiapan bangsa ini menjadi memadai menghadapi persaingan bebas, terutama dengan China. DPR sendiri merasa perlu membentuk panitia kerja setelah melihat proses persiapan ACFTA, pemerintah tidak siap dan tak transparan.
Kedua, Indonesia perlu membangun keunggulan berkelanjutan dan jangka panjang (sustainability competitiveness). Perlu melibatkan dan bekerja sama dengan semua pihak, termasuk pelaku ekonomi swasta dan legislatif agar cara pikir lama dapat ditransformasikan ke cara pikir masa depan menghadapi ACFTA.
Ketiga, pembangunan infrastruktur terutama kelistrikan menjadi mutlak dan tidak bisa ditunda-tunda lagi, sebagai syarat utama peningkatan daya saing. Peran swasta mutlak diperlukan. Investasi swasta di kelistrikan saat ini tidak menarik. Pembenahan birokrasi dalam kerangka reformasi birokrasi juga harus dipercepat. Seluruh parameter efisiensi, seperti perizinan, peruntukan lahan, hingga biaya pajak dan retribusi, harus ditata kembali secara serius. Tak kalah penting adalah kepastian hukum dalam rangka menjamin iklim investasi kondusif dalam meningkatkan kepercayaan investor terhadap masa depan berusaha.
Keempat, diperlukan badan yang bersifat extraordinary untuk mengawasi transisi. Badan itu berfungsi memastikan koordinasi standardisasi produk, legalisasi di dunia usaha dan investasi, hingga pengawasan persaingan usaha berjalan dalam suatu sistem. Badan ini juga akan menjadi trouble shooter dari hambatan birokrasi dan koordinasi antarinstansi, khusus menghadapi ACFTA. Situasi di era ACFTA ini harus ditangani secara serius karena dampak salah kebijakan akan fatal bagi masa depan bangsa kita.
Emil Abeng
Anggota Komisi VI DPR


Opini Kompas 4 Februari 2010