Daeng Novrial
Pengamat sosial-politik, tinggal di Bandar Lampung
Pada saat berbagai kebutuhan pokok ekonomi, termasuk harga beras menjadi naik, rakyat semakin susah dan menjadi sebuah fenomena di negeri ini. Nostalgia di era tahun delapan puluhan negeri ini mampu memenuhi kebutuhan pangan (swasembada pangan) untuk komoditas utama padi, gula, palawija, dan hasil pertanian lainnya. Pertanyaannya, bagamanakah kondisi sekarang ini, dapatkah kita rasakan kembali masa swasembada itu, walaupun sebagian besar rakyat Indonesia hidup dari sektor agraris.
Sewajarnya kita belajar dari beberapa negara-negara pertanian, seperti Vietnam, Laos, Kamboja, dan Thailand yang mampu memenuhi kebutuhan pangan negerinya. Gambaran tersebut dapat menjelaskan bagaimana nasib petani di Indonesia pada umumnya mengalami berbagai persoalan yang harus dihadapi. Nasib petani seperti di ujung tanduk dengan berbagai tekanan.
Banyaknya beras impor dan gula impor yang masuk ke negeri ini sangat jelas memengaruhi harga jual di dalam negeri, khususnya di tingkat petani. Selain itu tingginya biaya saprodi (sarana produksi), mulai dari harga bibit, pupuk, dan biaya lainnya semakin naik, termasuk masalah harga jual dasar gabah yang sangat rendah bagi petani, walaupun harga beras naik di tingkat pasar.
Sehingga banyak petani yang mengalami kerugian. Sedangkan untuk bekerja di sektor lain, petani tidak mempunyai keahlian dan pilihan lain. Belum lagi setiap tahun, luas lahan pertanian kian menyempit, berubah fungsi menjadi lahan permukiman dan pabrik. Menjadi tuntutan yang tidak bisa dihindari bagi perkembangan kota di negara sedang berkembang.
Dilema yang menghimpit petani seperti benang kusut, sulit untuk diselesaikan dalam waktu yang singkat. Adanya persaingan beras impor dan gula impor bagi petani sangat berpengaruh terhadap harga jual dalam negeri (harga lebih murah) dan akhirnya petani mengalami kerugian. Walaupun kontradisksi ini bagi pandangan pemerintah, dengan masuknya barang-barang tersebut ternyata dapat menekan tingkat inflasi.
Suatu hal yang harus diupayakan oleh pemerintah guna menyejahterakan masyarakat. Sejalan dengan arah kebijakan (tata niaga) perdagangan secara umum, komoditas pertanian Indonesia termasuk di dalamnya komoditas beras telah menunjukkan perubahan fenomenal. Sebagai bagian dari kebijakan stabilitas harga dalam negeri tidak pernah mau peduli kepada kepentingan nasib para petani. Bulog sebagai pengatur stabilitas harga beras dan pemegang monopoli impor merencanakan kebijakan impor beras dengan menekankan kepada masalah inflasi.
Akan tetapi, terjadi kontra sekaligus ambiguitis akan kebijakan impor beras ini mengingat Indonesia selama ini dikenal sebagai negara agraris, di mana sektor pertanian dikatakan sebagai andalan perekonomian nasional atau dengan kata lain merupakan sektor kunci nasional. Adanya kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah mengenai impor beras dari luar negeri, tentu akan sangat merugikan pihak petani. Dalam masalah impor beras ini, sebaiknya pemerintah mendahulukan pengadaan pengamanan stok beras dari dalam negeri, bukan dari impor. Pemerintah bersama Bulog selama ini menomorsatukan kebijakan impor sebagai kebijakan instan untuk memenuhi kebutuhan beras domestik, kebijakan tersebut meminggirkan petani sangatlah jelas.
Keberpihakan pada Petani
Sedangkan pemerintah menganggap berkurangnya dan terbatasnya pasokan beras yang diakibatkan oleh berbagai faktor alam berupa cuaca yang kurang mendukung sehingga terjadinya gagal panen di sejumlah daerah menimbulkan kekhawatiran akan melambungnya harga beras di pasaran, yang kemudian mendorong pemerintah mengambil inisiatif kebijakan impor beras.
Kebijakan tersebut selain untuk motif berjaga-jaga akan stok beras nasional juga untuk menghindari kenaikan harga beras karena beras adalah makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Sedangkan pendapatan masyarakat tetap dengan biaya hidup yang terus bertambah terlebih lagi pascakenaikan BBM sehingga dengan adanya beras impor masalah di atas dapat sedikit terselesaikan.
Niat pemerintah meningkatkan pendapatan petani, khususnya petani padi, tampaknya masih sulit terwujud. Hal ini karena kebijakan menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras tersebut dinilai belum cukup meningkatkan pendapatan petani. Kebijakan yang tertuang dalam Inpres No. 1/2008 itu menetapkan HPP untuk gabah kering panen Rp2.640/kg, naik 10% dari sebelumnya. Sementara itu, harga gabah kering giling di gudang Bulog ditingkatkan 9,23% menjadi Rp2.840, sedangkan harga beras di gudang Bulog dinaikkan 7,5% menjadi Rp4.300/kg.
Akar permasalahan yang menjadikan petani terpuruk terus berlanjut karena selama ini selalu menghadapi berbagai persoalan subsidi pupuk, obat-obatan, dan bentuk keringanan kredit lain melalui koperasi unit desa (KUD). Memang dalam jangka pendek kebijakan pemberian subsidi oleh pemerintah tersebut sangat efisien dan membantu kehidupan petani. Tetapi dalam jangka panjang mengakibatkan petani tidak bisa hidup mandiri mengikuti perkembangan pasar dan kemajuan teknologi. Para petani hanya dididik untuk berproduksi, tetapi tidak dididik untuk mengelola industri pertanian secara korporatif.
Akibatnya produktivitas hasil pertanian tidak mampu mendongkrak harga pasar, karena tingginya biaya produksi dan tenaga kerja yang dikeluarkan. Implikasinya komoditas pertanian tidak mampu bersaing di tingkat pasar bebas. Pemerintah dalam hal ini sebenarnya memiliki peran strategis. Tetapi peran pemerintah selama ini tidak lebih hanya sekedar pencipta floor price harga dasar gabah (HDG) tanpa bisa menjaga agar kebijakan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya. Setiap kali panen raya, harga gabah selalu di bawah HDG. Padahal HDG adalah harga minimal yang semestinya diterima petani.
Kebijakan impor beras bagi petani merupakan sebuah pukulan berat terhadap nasib petani. Petani menganggap selama ini kebijakan pemerintah dalam impor beras mematikan harga jual, hal tersebut sangat beralasan dikarenakan selama ini petani sudah cukup dikecewakan oleh seringnya harga hasil panen yang tidak sesuai dengan harapan, sedangkan dalam prosesnya mereka harus dihadapkan pada biaya sarana produksi mulai dari harga bibit, pupuk dan biaya lainnya yang kian naik seiring kenaikan BBM. Ditambah lagi risiko gagal panen, tekanan biaya hidup yang semakin sulit, dan kekhawatiran apabila sudah pada saatnya mereka panen, pasokan beras sedang banyak atau tidak dapat bersaing harga dengan beras impor itu sehingga harga akan beras semakin rendah dan mereka tidak dapat mengimbangi biaya yang telah dikeluarkan.
Harapannya ke depan dibutuhkan kesadaran bersama dan dukungan sepenuhnya oleh pemerintah untuk meningkatkan nasib dan kesejahteraan petani dan mencari solusi masalah ketahanan pangan. Mulai dari kejelasan pemberian subsidi, sarana operasional pertanian kepada para petani, menciptakan sistem distribusi yang transparan: Seperti menjaga persediaan pupuk yang murah dengan tetap adanya stabilitas harga, dengan memperhatikan upaya peningkatan nilai jual harga dasar gabah, menekan para spekulan yang mencari keuntungan dengan melakukan impor beras. Termasuk peningkatan teknologi pertanian dan memperbaiki manajemen pertanian dengan usaha-usaha melindungi kebutuhan pangan secara mandiri. Semoga
Opini Lampung Post 4 Februari 2010