Kisruh dana talangan bergulir kembali ketika Timoty Geithner, Menteri Keuangan AS—sekalipun menyangkal—telah dituding merahasiakan proses pencairan sebagian dana talangan dari Pemerintah AS guna menutup utang perusahaan asuransi American International Group (AIG). Lewat badan baru, menjual surat berharga menyelamatkan kebangrutan mitra AIG dengan menyuntikkan dana segar kepada Societe General Perancis (11,9 miliar dollar AS), Deutche Bank Jerman (11,8 miliar dollar AS), Barclays Bank Inggris (8,5 miliar dollar AS), sementara AIG justru bagikan bonus keuntungan sebesar 170 juta dollar AS kepada perusahaan (Kompas, 28/01/2010).
Sejak krisis keuangan tahun 2009, sekitar 140 bank di AS sudah dinyatakan bangkrut dan, pada tahun ini, kembali 15 bank dinyatakan gagal dan kerugian bisa mencapai 100 miliar dollar AS dalam periode 2009-2013 (Kompas, 30/01/2010).
Gonjang-ganjing dana talangan ”The Troubled Asset Relief Program” (TARP) kepada perusahaan swasta AS yang menguasai Wallstreet telah mengusik rasa keadilan rakyat AS. Becermin dari kasus itu, tulisan pendek ini mencoba membuka satu sisi gelap praktik demokrasi di AS bahwa koneksi politik, uang, dan preferensi kebijakan bergulir merangsek rakyat AS, jauh lebih buruk dari Indonesia.
Koneksi politik dan kapital
Banyak studi dari para pakar di AS membuktikan bahwa koneksi politik menjadi sisi penting dari kekuatan perusahaan raksasa di AS. Perusahaan besar yang memiliki koneksi politik memiliki preferensi akses yang besar mendapat kredit dari Pemerintah AS termasuk dana talangan (Faccio, Masulis, Mc Connell, Political Connections and Corporate Bailouts, 2005). Studi lain mengatakan, kebijakan/keputusan politik ternyata bisa dipengaruhi dan dibelokkan oleh kelompok kepentingan (Figueiredo, The Allocation of Resources by Interests Group, 2002). Pakar lain membuktikan bahwa alokasi kontrak proyek pemerintah diberikan kepada perusahaan besar yang memiliki koneksi politik ataupun memberikan sumbangan dana kampanye (Goldman, Rocholl et al, Political Connections and the Allocation of Procurement Contracts, Juni 2009).
Bahkan, baru-baru ini dibuktikan lagi bahwa bank yang memiliki koneksi politik kuat, termasuk untuk biaya lobi ataupun sumbangan dana politik, akan mendapat dana segar talangan, sekalipun fundamental perusahaan itu lemah dan berkinerja buruk, demikian studi Dunchin dan Sosyura, September 2009. Bank dengan para eksekutif yang duduk dalam dewan bank sentral akan mendapatkan peluang lebih besar, apalagi jika memiliki koneksi dengan anggota senat di komisi keuangan, akan mendapat peluang sekitar 57 persen, lebih dari setengah, kemungkinan ditalangi. Maka, tidak mengherankan ketika Neil Barofsky, Inspektur Jenderal SIGTARP, dalam investigasinya menemukan bahwa 16 bank dari total 56 mega-perusahaan, di mana tiga dari bank tersebut tidak memenuhi kriteria teknis, tetap saja mendapatkan jatah penalangan.
Congressional Oversight Panel (COP, Februari 2009) melihat dalam kasus bail out ini terjadi pengelembungan nilai aset. Dari taksiran aset total 254 miliar dollar AS, ternyata penilaian harga pasar aset tersebut hanya senilai 176 miliar dollar AS. Artinya ada kelebihan sekitar 78 miliar dollar AS uang rakyat (44 persen) yang digelontorkan untuk menalangi utang perusahaan itu.
Membeli keputusan politik
Keputusan politik sebagai butir kebijkan ternyata bisa dibelokkan dan bahkan ”dibeli” oleh kelompok pemilik modal. Perusahaan besar penerima dana talangan ini menghabiskan total 114,2 juta dollar AS (77 juta dollar AS untuk sumbangan dana kampanye pemilu dan 37 juta dollar AS untuk lobi) guna mendapatkan suntikan dana sebanyak 295 miliar dollar AS. Ada ”keuntungan” dua kali lipat yang bisa dikeruk, sebesar 258 persennya. AIG kucurkan dana kampanye sebanyak 10,4 juta dollar AS untuk mendapatkan talangan sebesar 40 miliar dollar AS, demikian laporan Center for Responsive Politics baru-baru ini.
Sumbangan kampanye dari perysahaan swasta kepada para pembuat undang-undang di DPR ini memiliki korelasi positif dengan disetujuinya paket bail out tersebut. Setiap 100.000 dollar AS angka sumbangan kampanye kepada masing-masing anggota dewan dan senator, ada tambahan nilai 15,4 persen kemungkinan ia setuju dengan program itu, demikian tambah Michael Dorsch (Bailouts for Sales, Oktober 2009).
Para kapitalis, pemilik modal yang menguasai Wallstreet dengan koneksi politik (KKN) yang kuat telah malang melintang membajak gerak preferensi kebijakan AS. Ironisnya, wajah menakutkan di alam demokrasi terbesar ini justru datang dari Amerika. Kita jangan terlalu terpesona, justru kita harus bisa membuat demokrasi berjalan lebih baik di sini.