Oleh Lilis Nurteti
Begitu sulit mengakhiri polemik Ujian Nasional (UN). Sampai saat ini pelaksanaan UN sebagai bentuk evaluasi massal secara nasional tetap saja masih menjadi kontroversi, baik di kalangan pendidik, masyarakat, dan ahli pendidikan. Sampai detik-detik menjelang pelaksanaan UN, semua pihak belum ikhlas menjadikan UN sebagai alat evaluasi akhir yang menentukan kelulusan siswa.
Kita harus menghargai kalangan yang tidak setuju UN sebagai alat evaluasi akhir penentuan kelulusan siswa merupakan bentuk kepedulian yang berbasis pada sisi perlunya penghargaan terhadap proses evaluasi secara berkala oleh sekolah. Akan tetapi, polemik tersebut harus segera dihentikan. Jalan tengah telah dimediasi antara pemerintah dan legislatif melalui keputusan dalam rapat kerja Komisi X DPR 27 Januari 2010 dengan Menteri Pendidikan Nasional di Jakarta bahwa pelaksanaan Ujian Nasional 2010 sesuai dengan jadwal. Penyelenggaraan UN pascaputusan kasasi Mahkamah Agung dinilai tetap bisa dilaksanakan dengan perbaikan-perbaikan.
Perbaikan
Kesepakatan antara pemerintah dan legislatif terkait dengan pelaksanaan UN sebetulnya masih menyimpan ketidaknyamanan bagi penolak UN dan bahkan bagi sebagian kalangan anggota DPR, sehingga jalan tengahnya pemerintah berjanji untuk terbuka mengevaluasi metodologi UN dan evaluasi terhadap pelaksanaan UN. Akan tetapi, sebetulnya evaluasi atau perbaikan bukan sekadar pada metodologi UN. Justru pokok persoalannya terletak pada kemampuan dan bakat yang dimiliki anak didik.
Di negara maju seperti Amerika Serikat, evaluasi dengan standar nasional adalah suatu keniscayaan untuk melihat keberhasilan sebuah proses belajar mengajar. Akan tetapi bedanya dengan Indonesia adalah ketepatan dan kebenaran proses penjurusan siswa sesuai dengan kemampuan, minat, dan bakat merupakan proses yang sangat ketat dan melalui penelusuran yang mendalam sejak anak melalui pendidikan dasar.
Kesalahan mendasar sistem pendidikan kita adalah tidak pernah ada perhatian serius dari pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan Nasional untuk mendorong bakat, kemampuan, dan minat anak didik sebagai basis penting penentuan jurusan bagi anak dalam mengambil studinya. Kita masih cenderung menyamaratakan bakat dan kemampuan anak. Ibarat kancil atau harimau yang bakatnya pandai berlari tetapi dipaksa untuk berenang, bebek harus dipaksa belajar naik pohon, dan sebagainya. Hasilnya, yang berbakat di bidang tertentu malah mati karena pilihan jurusan studi yang salah.
Dalam beberapa kasus, keluhan guru terhadap peserta didiknya adalah walaupun dengan berbagai cara, misalnya bagaimana agar anak mampu mencapai standar penilaian mata pelajaran tertentu seperti matematika, bahasa Inggris, atau lainnya yang ditetapkan pemerintah, mereka sulit memenuhinya secara merata. Ada anak juara lari, lukis, catur, dan lain-lain, baik tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional tetapi matematika atau bahasa Inggrisnya jeblok sehingga timbul rasa iba dari para pendidik untuk membantunya sampai akhirnya ia lulus.
Maka, perbaikan UN ke depan harus dimulai dari menyusun secara jelas desain penelusuran bakat, minat, dan kemampuan siswa di bidangnya sesuai dengan jurusannya. Walaupun di sistem pendidikan kita telah jelas jurusan yang tersedia (khususnya di tingkat SLTA), tetapi bagaimana peserta didik menentukan jurusan tersebut masih serabutan. Ketika aspek ini tidak diperhatikan maka sebaik apa pun metodologi UN tetap tidak ada pengaruhnya secara signifikan. Tetap saja hasil UN yang rendah atau memperoleh nilai tinggi harus diakui karena cenderung ada intervensi pendidik dan bahkan orang tua.
Jujur bersih
Sambil perbaikam sistem pendidikan dan metodologi UN berjalan, menjelang detik-detik pelaksanaan UN sudah saatnya semua pihak baik yang pro maupun kontra untuk merapatkan barisan memberi kepastian anak didik dalam menghadapi UN. Ujian Nasional 2010 harus menjadi titik awal gerakan UN bersih dan jujur. Gerakan UN bersih tahun ini (Tajuk Rencana Pikiran Rakyat,19/1) memang harus menjadi komitmen bersama. Sebab hampir sudah menjadi rahasia umum, banyak ketidakjujuran telah terjadi pada pelaksanaan UN sebelumnya. Salah satu indikatornya, setiap kali try out di berbagai daerah terhadap soal-soal standar UN baik oleh pemerintah atau lembaga nonpemerintah hasil persentase yang memenuhi standar selalu sangat kecil. Akan tetapi, aneh bin ajaib, begitu UN yang lulus hampir 100 persen.
Jujur dan bersih UN dimulai dengan pertama, kesadaran bersama bahwa UN adalah langkah evaluasi bukan saja pada anak didik tetapi seluruh komponen pendidikan. Kedua, bangun kesadaran pentingnya tanggung jawab atas diri anak. Ketiga, kepala sekolah, guru, dan orang tua siap dengan hasil apa pun yang diraih siswa. Tidak perlu mencela kalau sebuah sekolah banyak siswanya yang tidak lulus. Keempat, menyiapkan sisi psikologis peserta didik sejak dini agar memiliki kesiapan secara mental dalam menerima kenyataan baik lulus maupun tidak lulus.
Akhirnya, UN 2010 harus kita katakan kepada dunia, UN jujur dan adil, yes we can!***
Penulis, alumnus pascasarjana UPI, dosen dan peneliti pendidikan IAID Darussalam Ciamis.
Opini Pikiran Rakyat 4 Februari 2010