03 Februari 2010

» Home » Solo Pos » Pemimpin dan kepercayaan diri

Pemimpin dan kepercayaan diri

Setiap mendengar Presiden SBY mengeluh di televisi, dan kemudian diberitakan media massa, kadang hati terasa miris. Mengapa Presiden Indonesia tercinta mudah mengeluh? Mengapa Presiden Indonesia tahan dengan serangan fisik tetapi tidak tahan dengan serangan psikhis? Apakah munajat dari Presiden SBY tidak mempan untuk mengatasi dan mengantisipasi?

Apakah para penasihat spiritual Presiden SBY gagal meyakinkan beliau? Apakah psikolog Presiden SBY gagal memberikan trik jitu untuk melawan dan mengantisipasi serangan yang sifatnya psikhis?



Mengeluh sebenarnya sah-sah saja, tetapi kalau seseorang terus mengeluh ketika menghadapi persoalan yang sebenarnya remeh-temeh tentu menjadi persoalan apa yang terjadi dalam pola piker seseorang. Misalnya, salah satu anggota pengajian sering mengeluh karena tidak mampu membayar SPP anaknya. Ia pun berhenti hanya sampai pada keluhan. Tujuannya satu, orang di kanan kiri ada yang mau mendengarkan, syukur-syukur ada yang mau membantu. Tetapi meskipun keluhan sudah disampaikan, ternyata kanan kirinya juga tidak ada yang peduli.

Mengapa? Karena kanan kirinya melihat pola hidup dari si pengeluh ini kontras. Misalnya, ia lebih senang membeli baju baru ketimbang membayar SPP untuk sekolah anaknya. Ia lebih senang makan enak ketimbang ditabung dan dialokasikan ke masa depan pendidikan anaknya. Ia lebih senang untuk menggunakan uang yang dimiliki untuk sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan masalah pendidikan.

Bila rakyat kecil keluhannya seputar apa yang akan saya makan besok atau bagaimana saya bisa membayar SPP. Tetapi bagi para pejabat yang dipikirkan adalah bagaimana mempertahankan kursi jabatan, bahkan kalau perlu melanggengkan. Hari ini yang menjadi pemimpin bapak, besok ibu, dan besoknya lagi anak.

Menurut Jalaluddin Rakhmat, dalam ilmu komunikasi jika seseorang ingin meyakinkan orang lain, ia sendiri juga harus yakin dahulu. Artinya, bila Presiden SBY yakin Indonesia dalam waktu lima tahun ke depan ada perbaikan dan kemajuan, maka hal itu akan terjadi dan tinggal membuktikan, lalu meyakinkan rakyat Indonesia. Dalam peribahasa dikatakan biarlah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.

Presiden SBY sebenarnya memiliki banyak kekuatan, misalnya; dari segi fisik beliau adalah sosok yang tampan. Siapa wanita yang tidak senang bila memiliki suami setampan beliau? Dari segi intelektual, beliau cerdas. Buktinya pernah menjadi orang nomor satu dalam program pendidikan di TNI. Beliau adalah doktor ilmu pertanian yang tentunya ilmunya sangat dinanti oleh mayoritas penduduk Indonesia yang konsumsi hariannya adalah beras. Dari segi spiritual, beliau setiap malam bermunajat untuk kebaikan bangsa, negara dan keluarga. Apa lagi yang kurang darinya?

Banyak orang yang gagal karena pola pikirnya keliru. Ia melihat diri terlalu rendah dibanding orang lain. Padahal ia memiliki segudang prestasi. Banyak orang yang cerdas tetapi tidak cakap dalam mengelola emosinya sehingga ia mudah dipatahkan, mudah dibuat orang lain tersinggung, dan akhirnya ia merasa tertekan sendiri.

Kepercayaan diri

Kunci untuk keluar dari situasi ketidakyakinan adalah; pertama, memiliki prinsip. Prinsip yang harus dipegang oleh mereka yang tidak yakin adalah katakan bahwa aku bisa untuk yakin. Apa yang aku lakukan adalah benar. Aku yakin apa yang aku lakukan hari ini, lima tahun ke depan akan menuai hasil yang baik dan maksimal. Atau lihat kenangan masa lalu, bukankah banyak keberhasilan yang layak untuk disyukuri dan dikembangkan.

Kedua, lingkungan. Harusnya Presiden SBY bergumul, berinteraksi dengan orang-orang yang optimistis, tidak mudah mengeluh, dan siap untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuat. Yakinkan bahwa tidak ada serupiah pun uang yang tidak digunakan untuk kebaikan bangsa dan negara.

Ketiga, jabatan adalah amanat. Kapan pun bisa diambil. Tidak perlu risau bila jabatan harus berpindah ke tangan orang lain. Jujur, saya salut dengan Jusuf Kalla (JK) yang telah mendidik dan menginspirasi banyak orang. Beliau mengatakan, bila saya tidak jadi presiden, saya ingin kembali ke masjid untuk memakmurkan. Saya selama ini menjadi aktivis masjid, hanya karena panggilan negara saya sibuk di kursi wakil presiden. Saya ingin kembali ke kampung untuk berbuat demi bangsa dan negara yang saya cintai.

JK barangkali berguru kepada Gus Dur yang tidak ada niatan untuk melanggengkan kekuasaan. Gus Dur meski sebentar memegang pemerintahan di Indonesia, beliau telah menginspirasi banyak orang bahwa Indonesia adalah milik rakyat, dan rakyatlah yang harus menjaga, menikmati berkah sebuah negara yang bernama Indonesia.

Barangkali, apa yang sering dialami Presiden SBY jika dibedah dengan menggunakan psikologi agama, beliau terlalu “serius” mempertahankan jabatannya sebagai Presiden RI. Dan bila perlu berlanjut sampai ke anak turunnya. Jika berpikir seperti itu, maka SBY selamanya akan gelisah dan takut. Presiden SBY seharusnya yakin bahwa beliau adalah makhluk kekasih Tuhan yang diberi kesempatan “menggenggam” kekuasaan di negeri ini.

Seharusnya kekuasaan yang ada di tangannya bisa dijadikan sarana olah spiritual agar tidak berhenti pada masalah duniawi. SBY adalah orang hebat, dan akan semakin hebat bila beliau melihat kekuasaan seperti Nabi Sulaiman ketika memegang kekuasaan. Ingat, ketika Nabi Sulaiman memegang kekuasaan, ada salah satu kakak beliau yang iri dan kemudian mengadakan kudeta. Nabi Sulaiman pun terusir, tetapi beliau tidak susah dan gelisah.

Bagi Nabi Sulaiman yang dikhawatirkan adalah ketika ditinggalkan Tuhan. Maka benar apa yang dikatakan motivator Mario Teguh, aku + Tuhan = cukup. Dan Alquran menyatakan, cukuplah Allah sebagai pelindung dan penolongku (hasbuna Allah wa ni’mal wakil ni’mal maula wa ni’man nashiir).

Akhirnya, apa pun yang dilakukan SBY, suka tidak suka pasti harus mempertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat. Yang terpenting bagi Presiden SBY, lakukan apa yang menurutnya baik dan benar. Bila ada mahasiswa berdemonstrasi, memang tugas mahasiswa adalah sebagai agen perubahan.

Sebagaimana yang tersirat dalam kalimat mahasiswa takut dosen, dosen takut rektor, rektor takut menteri, menteri takut presiden, dan presiden takut pada mahasiswa. Dan andaikan pun DPR berpikir untuk memakzulkan presiden, itu memang tugasnya. Jika Presiden SBY memiliki ilmu ini, cukup tersenyum-senyum saja menghadapi demonstrasi dan wacana pemakzulan. Saatnya Presiden SBY, tersenyum. Bismillah. - Oleh : Kholilurrohman, Dosen STAIN Surakarta Khodim Ma’had Mamba’ul Hisan Klaten

Opini Solo Pos 4 Februari 2010