Dari hasil Pilpres 2009 kita melihat angka telak diperoleh SBY-Boediono  dari Mega Prabowo dan JK Wiranto. Yang terakhir ini adalah pilihan  intelektual yang hanya berhasil mendapatkan suara di atas 12%. Angka ini  sebenarnya tidak selalu menggambarkan pilihan riil rakyat karena  berbagai faktor yang ada dalam sistem demokrasi, ketatanegaraan,  pemerintahan, sistem pemilu, sistem politik, realitas sosial, budaya,  dan distorsi informasi dan media.  
Protes dan ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah SBY-Boediono  pada awal setelah bulan madunya selesai menunjukkan kebenaran anggapan  ini. Ini menunjukkan bahwa sistem demokrasi yang diharapkan bisa  melahirkan pemimpin yang terbaik ternyata tidak terjadi. Bahkan di USA  juga banyak anggapan yang menyatakan bahwa pemilihan presiden dengan  sistem yang begitu melelahkan juga tidak sampai pada pilihan the best  president.  
Di Indonesia dapat dikatakan kendatipun kita menamakan dirinya  negara dengan sistem demokrasi tidaklah berarti bahwa pemerintahan oleh  rakyat dan untuk rakyat, dan bisa disebut bahwa kita tidak benar negara  demokratis jika dilihat realitas bukan pidato dan formalitas. Apalagi  indikator kepentingan rakyat yang diutamakan dalam kebijakan, kebijakan  100 hari SBY justru sebaliknya, kebijakannya tidak untuk kepentingan  sebagian besar rakyat seperti renovasi pagar istana, rumah DPR,  pembelian kendaraan Menter, pesawat kepresidenan dan skandal Bank  Century.  
Menurut saya ada beberapa penyebab distorsi demokrasi di Indonesia  sehingga kita sebenarnya hanya negara demokrasi pura-pura atau etzats  democracy atau bisa juga disebut corporacracy atau democrazy.  Pertama, distorsi sistem demokrasi global. Kendatipun sistem demokrasi  yang konvensional sudah menjadi standar dunia, tentu berbagai negara  menerapkannya dengan berbagai cara dan hasil yang berbeda beda. Seolah  dunia sudah menganggap bahwa sistem demokrasi ini adalah sistem terbaik  yang taken for granted.  
Padahal distorsi dalam demokrasi saat ini terjadi karena beberapa  variabel kontekstual, adat, keyakinan, budaya, sifat elite yang bisa  terjadi bukan saja di Indonesia bahkan juga seperti di Amerika Serikat  tidak menjadi pertimbangan. Menurut Kevin Phillips, misalnya demokrasi  yang ada di Amerika sesungguhnya adalah corporacracy pemerintahan  yang dipimpin diatur untuk kepentingan perusahaan besar, kapitalis,  bukan untuk kepentingan rakyat. 
Kedua, distorsi akibat kemiskinan. Dalam negara yang masih miskin  maka pola hidup dan perilaku hidup akan berbeda dibanding dengan  masyarakat yang sudah mapan. Sesuai teori Maslow, jika mereka yang  miskin seperti di Indonesia yang ditaksir bisa melebihi 60% (kalau  asumsi standarnya dengan pendapatan US$2 per hari), yang diutamakan  bukan ideologis, bukan masa depan, tetapi urusan kebutuhan fisik dan  keamanan.  
Sehingga tidak mengherankan jika money politic sangat subur  dalam praktik politik, pemilu, pemilihan pejabat, hukum, pemerintahan di  Indonesia. Jika demikian sebetulnya bisa dipastikan pilihan peserta  pemilu 60% kalau terjadi money politic adalah karena uang bukan  karena pilihan yang sesungguhnya. 
Ketiga, distorsi pendidikan. Tingkat illiterate yang tinggi  dan tingkat pendidikan rakyat Indonesia yang sekitar 67% tamat SD  merupakan ladang luas untuk melakukan distorsi informasi. Sebagaimana  diketahui, menurut Prof Ibnu Hamad, media tidak lagi mempresentasikan  realitas maka sebenarnya informasi yang diterima masyarakat sudah tidak  sesuai lagi dengan yang sesungguhnya.  
Ini berarti bagi mereka yang tingkat pendidikannya rendah akan sukar  melakukan pilihan yang tepat atas apa yang ditawarkan pemberi informasi  dan pesan. Sehingga ada pilihan untuk mengurangi distorsi ini yaitu  dengan memberikan hak vote sesuai dengan level pendidikannya,  misalnya, setara SD atau tidak tamat 1 vote, setara SLTP 5 vote,  setara SLTA 10 vote, setara S1 15 vote, setara S2 25 vote,  setara S3 40 vote setara guru besar 50 vote.  
Memang ini tidak menjamin tidak terjadi distorsi, tetapi minimal  sesuai Bayesen theory, pilihan keputusan yang dilakukan individu  yang memiliki discretionary atau subjective judgment akan dapat  meningkatkan kualitas pilihan. Saya yakin pilihan dari mereka yang  berpendidikan lebih baik akan lebih baik. Di luar itu, akan lebih ideal  jika kita bisa mengukur emotional and spiritual quation atau ESQ. Bukan  hanya tingkat pendidikan dengan ukuran IQ. 
Keempat, distorsi informasi. Distorsi informasi akan semakin merebak  dalam masyarakat yang relatif tingkat pendidikan rendah. Sehingga  distorsi informasi ini senasib dengan distorsi pendidikan di atas.  Mereka yang dinilai baik, benar, tepat adalah apa yang diperolehnya di  media massa tanpa mampu melihat makna, nilai di balik informasi dan  citra yang disajikan.  
Dalam dunia di media rules, media justru yang merekonstruksi sosial,  tidak heran jika penyuplai, pencipta informasilah yang diuntungkan. Ini  yang terjadi dalam Pilpres 2009. Biaya kampanye, biaya promosi, biaya  iklan sejajar dengan pengumpulan suara. Semakin banyak biaya iklan yang  dikeluarkan, semakin banyak suara yang diperoleh. 
Distorsi tanggung jawab sosial atau distorsi iman atau spiritual.  Dalam masyarakat sekarang dengan norma-norma sosial, spiritual, moral  yang rendah dan nilai-nilai material yang dijunjung tinggi, tidak heran  jika sikap masyarakat sangat pragmatis dan tidak banyak memikirkan  dimensi akhirat, Tuhan atau masa depan. Akibatnya pilihannya pun sangat  pragmatis tidak memikirkan masa depan yang lebih panjang, kendatipun  dasar negara yang harus dikukuhkan pemerintah adalah Ketuhanan Yang Maha  Esa. 
Distorsi apa pun yang terjadi atau dipelihara akan lenyap dan alam  atau aspirasi masyarakat akan melakukan koreksi baik secara evolutif  maupun revolusioner dengan berbagai konsekuensinya. Fenomena di mana  distorsi ini tidak akan berlangsung lama dapat juga dilihat dari  pergeseran minat masyarakat di televisi di mana terjadi perubahan selera  yang signifikan dari acara drama ke acara fakta seperti acara berita  yang merupakan informasi real.  
Pemerintah yang dijalankan dengan cara memanipulasi fakta dan  realitas diri dan keadaan akan gagal. Kasus Bank Century, kasus  Antasari, kasus Bibit dan Chandra yang dinilai sedikit banyaknya  mengandung unsur rekayasa oleh pihak tertentu ternyata gagal mengelabui  mata dan hati rakyat. Menempatkan kader Ruhut Sitompul selaku pemain  sinetron, dramawan untuk menjadi wakil rakyat di DPR/Pansus dan  mencitrakan Partai Demokrat ternyata ditolak mentah-mentah oleh aspirasi  dan mata publik.  
Kebiasaan pemerintah SBY melakukan komunikasi politik kepada rakyat  dengan gaya seolah-olah, pencitraan seolah-olah baik, seolah-olah  antikorupsi, seolah- olah keputusan matang, seolah-olah semua di bawah  kontrol, dan sebagainya tidak akan berhasil kepada rakyat yang semakin  kritis dan berkualitas. Semoga demonstrasi 28 Januari dapat membuka mata  hati pemerintah untuk meninggalkan politik pencitraan seolah-olah yang  mengandung distorsi ini. 
Oleh Sofyan S Harahap Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas  Trisakti
Opini Media Indonesia 4 Februari 2010
03 Februari 2010
» Home » 
Media Indonesia » Distorsi Demokrasi dan Pendekatan Seolah-olah
Distorsi Demokrasi dan Pendekatan Seolah-olah
Thank You!