SUNGGUH menarik dan memerlukan perhatian  kita pernyataan Gubernur Jateng H Bibit Waiuyo, bahwa siswa sekolah saat  ini kebanyakan miskin etika dan nilai budaya. Sebagian besar dari  mereka tak memiliki tata krama, sopan santun, dan melupakan budaya. 
Pernyataan Gubernur disampaikan pada Raker Dewan Pendidikan Se-Jateng di  Hotel Semesta Semarang (SM, 26/1/10). Dikatakan,  pendidikan saat ini  memasuki tahap empat krisis, yaitu krisis jati diri, ideologi, karakter,  dan krisis kepercayaan. Banyak siswa tak mengenal jati diri, semua itu  akibat pengaruh globalisasi.
Masyarakat tentu membenarkan pernyataan Gubernur karena kita melihat  kenyataannya memang demikian. Misalnya ada suporter pertandingan sepak  bola, yang berperilaku beringas dan anarkis. 
Mereka merusak kendaraan dan bangunan di berbagai tempat, melempar batu,  menjarah makanan dan minuman para pedagang kecil, naik kendaraan tidak  mau membayar, padahal sebagian besar mereka adalah pelajar.
Bertalian dengan masalah budi pekerti atau akhlak itu, Ketua Dewan  Pendidikan Jateng Prof Dr H Retmono, menyatakan pendidikan budi pekerti  sebaiknya diintegrasikan dengan mata pelajaran yang lain. Pendapat  Retmono itu sejalan dengan kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional  yang sudah berjalan, yang telah menyusun petunjuk pelaksanaan pendidikan  budi pekerti dengan mengintegrasikannya dengan seluruh mata pelajaran. 
Sedangkan menurut Tukiman Taruna, Project Officer of Education UNICEF,  pengajaran budi pekerti sebaiknya lebih diarahkan ke keterampilan siswa  dalam bersikap. Jadi, pelajaran budi pekerti diharapkan bisa mendorong  siswa untuk bersikap yang positif. Masalah budi pekerti atau akhlak ini  juga disinggung oleh Koordinator Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal  Jateng Tengah Dr Sulistiyo MPd waktu berkunjung ke IKIP PGRI Semarang  (14/10/09). 
Menurutnya, DPD asal Jawa
Tengah menggagas tersusunnya kurikulum yang memuat pelajaran budi  pekerti di sekolah-sekolah. Tuntutan pendidik dan tokoh masyarakat  tentang pentingnya mata pelajaran budi pekerti atau akhlak itu karena  masyarakat sudah menyaksikan sendiri betapa parahnya kemerosotan akhlak  di kalangan bangsa kita pada dua dasawarsa akhir-akhir ini.
Semenjak terbentuknya kabinet yang dipimpin Presiden Soekarno,  pemerintah, melalui Kementerian Agama telah menyelenggarakan pendidikan  agama di sekolah-sekolah negeri. Sejak awal, pelaksanaan pendidikan  agama meliputi agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. 
Dalam perkembangannya, pendidikan agama diselenggarakan oleh Kementerian  Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional. Materi pendidikan agama itu  sudah mengandung pendidikan budi pekerti, akhlak, atau moral. Di samping  mata pejaran pendidikan agama, mata pelajaran pendidikan  kewarganegaraan (PKn) juga mengandung pendidikan budi pekerti.
Agama menjadi landasaan budi pekerti karena agama diyakini sebagai  landasan yang kukuh bagi moral, spiritual, dan etik. Agamalah yang  mengajarkan, bahwa orang yang yang berbuat kebaikan, dia akan mendapat  pahala dan ditempatkan di surga, sedangkan orang yang berbuat kejahatan  akan mendapat siksa di neraka. 
Dalam kaitan ini, seorang filosuf Inggris terkenal, John Locke,  menyatakan, ”it is still frequently said that all morality begins with  religion, and if men had never been religious they could never have  learned morality”. Nabi Muhammad SAW menyatakan dengan tegas, ”Agama  adalah budi pekerti yang luhur”.
Banyak Faktor
Pendidikan agama adalah termasuk pendidikan nilai. Pendidikan nilai  apapun tidak mudah menanamkannya ke dalam pribadi anak didik, karena  banyak faktor yang mempengaruhinya, baik faktor penunjang maupun faktor  penghambat. Sebagai contoh, ada seorang anak yang di dalam rumah  mendapat pendidikan yang baik karena kebetulan bapak-ibunya guru. 
Tetapi di luar rumah, dia mempunyai kawan yang nakal, yang sering  mengajaknya main judi dan melihat film porno. Kalau kebetulan mereka  menang dalam judi, mereka bersenang-senang ke tempat mesum. Bapak-ibunya  tidak tahu kelakuan anaknya yang sesungguhnya.
Keberhasilan pendidikan tidak dapat diandalkan pada pendidikan formal di  sekolah saja, tetapi diharapkan adanya sinkronisasi dengan pendidikan  di luar sekolah, yaitu pendidikan dalam keiuarga (informal) dan  masyarakat
(nonformal). 
Pengaruh faktor luar sekolah terhadap pendidikan ini merupakan masalah  yang serius pada dewasa ini. Misalnya, para siswa di sekolah dididik  menjadi anak yang jujur, tetapi kenyataan dalam masyarakat, mereka  menjumpai perilaku suap-menyuap, korupsi, pungli, dan selingkuh  merajalela. 
Di sekolah mereka dididik berbusana sopan dan menjauhi minuman keras,  tetapi dalam tayangan televisi ataupun perilaku turis asing yang datang  ke Indonesia banyak yang berpakaian mempertontonkan aurat dan minuman  keras merupakan kebiasaan mereka sehari-hari.
Pendidikan agama merupakan subsistem pendidikan nasional sebagaimana  dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1989 tentang Sistem  Pendidikan Nasional. 
Tujuan pendidikan nasional adalah tercapainya kualitas manusia Indonesia  yang memiliki kriteria: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha  Esa; berbudi pekerti luhur; memiliki pengetahuan, keterampilan,  kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, rasa  tanggung jawab kemasyarakatan, dan rasa kebangsaan. Dari 10 target  tersebut, pendidikan agama diharapkan, terutama dapat menghasikan anak  didik yang: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi  pekerti yang Iuhur.
Mata pefajaran pendidikan agama (kita ambil contoh pendidikan agama  Islam yang penulis anut) mengandung materi: (1). Keimanan; (2). Ibadah;  (3). Alquran; (4). Akhlak (budi pekerti); (5). Muamalah (hubungan  sosial); (6). Syari’ah (hukum agama); dan (7). Tarikh (sejarah). 
Memperhatikan kenyataan merosotnya akhlak sebagian besar bangsa kita,  tentunya penyelenggara pendidikan agama beserta para guru agama dan  dosen agama tergugah untuk merasa bertanggung jawab guna meningkatkan  kualitas pelaksanaan pendidikan agama agar mampu membantu mengatasi  kemerosotan akhlak yang sudah parah itu.
Perlu diingat, kemerosotan akhlak tidak dapat dicarikan kambing hitamnya  dengan menyatakan, bahwa hal itu karena pelaksanaan pendidikan agama di  sekolah yang kurang berhasil. Mengapa? Karena, kemerosotan akhlak  bangsa disebabkan oleh banyak faktor, seperti pengaruh globalisasi,  krisis ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lain-lain. Misalnya, karena  terjadinya krisis ekonomi menyebabkan banyak orang sulit mencari sesuap  nasi. 
Akhirnya mereka nekat mencuri, menipu, memeras, menggarong, melacur, dan  lain-lain. Contoh lain, karena pengaruh globalisasi, orang ingin  mencontoh gaya hidup mewah, maka karyawan atau pegawai rendah pun ingin  bisa memiliki kendaraan bermotor. Akhirnya mereka berupaya mencari uang  dengan cara apapun asal bisa memiliki kendaraan bermotor.(10)
— Ibnu Djarir, Ketua MUI Provinsi Jawa Tengah
Wacana Suara Merdeka 4 Februari 2010