03 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Tantangan Pendidikan Agama

Tantangan Pendidikan Agama

SUNGGUH menarik dan memerlukan perhatian kita pernyataan Gubernur Jateng H Bibit Waiuyo, bahwa siswa sekolah saat ini kebanyakan miskin etika dan nilai budaya. Sebagian besar dari mereka tak memiliki tata krama, sopan santun, dan melupakan budaya.

Pernyataan Gubernur disampaikan pada Raker Dewan Pendidikan Se-Jateng di Hotel Semesta Semarang (SM, 26/1/10). Dikatakan,  pendidikan saat ini memasuki tahap empat krisis, yaitu krisis jati diri, ideologi, karakter, dan krisis kepercayaan. Banyak siswa tak mengenal jati diri, semua itu akibat pengaruh globalisasi.


Masyarakat tentu membenarkan pernyataan Gubernur karena kita melihat kenyataannya memang demikian. Misalnya ada suporter pertandingan sepak bola, yang berperilaku beringas dan anarkis.

Mereka merusak kendaraan dan bangunan di berbagai tempat, melempar batu, menjarah makanan dan minuman para pedagang kecil, naik kendaraan tidak mau membayar, padahal sebagian besar mereka adalah pelajar.

Bertalian dengan masalah budi pekerti atau akhlak itu, Ketua Dewan Pendidikan Jateng Prof Dr H Retmono, menyatakan pendidikan budi pekerti sebaiknya diintegrasikan dengan mata pelajaran yang lain. Pendapat Retmono itu sejalan dengan kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional yang sudah berjalan, yang telah menyusun petunjuk pelaksanaan pendidikan budi pekerti dengan mengintegrasikannya dengan seluruh mata pelajaran.

Sedangkan menurut Tukiman Taruna, Project Officer of Education UNICEF, pengajaran budi pekerti sebaiknya lebih diarahkan ke keterampilan siswa dalam bersikap. Jadi, pelajaran budi pekerti diharapkan bisa mendorong siswa untuk bersikap yang positif. Masalah budi pekerti atau akhlak ini juga disinggung oleh Koordinator Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Jateng Tengah Dr Sulistiyo MPd waktu berkunjung ke IKIP PGRI Semarang (14/10/09).

Menurutnya, DPD asal Jawa

Tengah menggagas tersusunnya kurikulum yang memuat pelajaran budi pekerti di sekolah-sekolah. Tuntutan pendidik dan tokoh masyarakat tentang pentingnya mata pelajaran budi pekerti atau akhlak itu karena masyarakat sudah menyaksikan sendiri betapa parahnya kemerosotan akhlak di kalangan bangsa kita pada dua dasawarsa akhir-akhir ini.

Semenjak terbentuknya kabinet yang dipimpin Presiden Soekarno, pemerintah, melalui Kementerian Agama telah menyelenggarakan pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri. Sejak awal, pelaksanaan pendidikan agama meliputi agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.

Dalam perkembangannya, pendidikan agama diselenggarakan oleh Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional. Materi pendidikan agama itu sudah mengandung pendidikan budi pekerti, akhlak, atau moral. Di samping mata pejaran pendidikan agama, mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn) juga mengandung pendidikan budi pekerti.

Agama menjadi landasaan budi pekerti karena agama diyakini sebagai landasan yang kukuh bagi moral, spiritual, dan etik. Agamalah yang mengajarkan, bahwa orang yang yang berbuat kebaikan, dia akan mendapat pahala dan ditempatkan di surga, sedangkan orang yang berbuat kejahatan akan mendapat siksa di neraka.

Dalam kaitan ini, seorang filosuf Inggris terkenal, John Locke, menyatakan, ”it is still frequently said that all morality begins with religion, and if men had never been religious they could never have learned morality”. Nabi Muhammad SAW menyatakan dengan tegas, ”Agama adalah budi pekerti yang luhur”.

Banyak Faktor

Pendidikan agama adalah termasuk pendidikan nilai. Pendidikan nilai apapun tidak mudah menanamkannya ke dalam pribadi anak didik, karena banyak faktor yang mempengaruhinya, baik faktor penunjang maupun faktor penghambat. Sebagai contoh, ada seorang anak yang di dalam rumah mendapat pendidikan yang baik karena kebetulan bapak-ibunya guru.

Tetapi di luar rumah, dia mempunyai kawan yang nakal, yang sering mengajaknya main judi dan melihat film porno. Kalau kebetulan mereka menang dalam judi, mereka bersenang-senang ke tempat mesum. Bapak-ibunya tidak tahu kelakuan anaknya yang sesungguhnya.

Keberhasilan pendidikan tidak dapat diandalkan pada pendidikan formal di sekolah saja, tetapi diharapkan adanya sinkronisasi dengan pendidikan di luar sekolah, yaitu pendidikan dalam keiuarga (informal) dan masyarakat
(nonformal).

Pengaruh faktor luar sekolah terhadap pendidikan ini merupakan masalah yang serius pada dewasa ini. Misalnya, para siswa di sekolah dididik menjadi anak yang jujur, tetapi kenyataan dalam masyarakat, mereka menjumpai perilaku suap-menyuap, korupsi, pungli, dan selingkuh merajalela.

Di sekolah mereka dididik berbusana sopan dan menjauhi minuman keras, tetapi dalam tayangan televisi ataupun perilaku turis asing yang datang ke Indonesia banyak yang berpakaian mempertontonkan aurat dan minuman keras merupakan kebiasaan mereka sehari-hari.

Pendidikan agama merupakan subsistem pendidikan nasional sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Tujuan pendidikan nasional adalah tercapainya kualitas manusia Indonesia yang memiliki kriteria: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; berbudi pekerti luhur; memiliki pengetahuan, keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, rasa tanggung jawab kemasyarakatan, dan rasa kebangsaan. Dari 10 target tersebut, pendidikan agama diharapkan, terutama dapat menghasikan anak didik yang: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang Iuhur.

Mata pefajaran pendidikan agama (kita ambil contoh pendidikan agama Islam yang penulis anut) mengandung materi: (1). Keimanan; (2). Ibadah; (3). Alquran; (4). Akhlak (budi pekerti); (5). Muamalah (hubungan sosial); (6). Syari’ah (hukum agama); dan (7). Tarikh (sejarah).

Memperhatikan kenyataan merosotnya akhlak sebagian besar bangsa kita, tentunya penyelenggara pendidikan agama beserta para guru agama dan dosen agama tergugah untuk merasa bertanggung jawab guna meningkatkan kualitas pelaksanaan pendidikan agama agar mampu membantu mengatasi kemerosotan akhlak yang sudah parah itu.

Perlu diingat, kemerosotan akhlak tidak dapat dicarikan kambing hitamnya dengan menyatakan, bahwa hal itu karena pelaksanaan pendidikan agama di sekolah yang kurang berhasil. Mengapa? Karena, kemerosotan akhlak bangsa disebabkan oleh banyak faktor, seperti pengaruh globalisasi, krisis ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lain-lain. Misalnya, karena terjadinya krisis ekonomi menyebabkan banyak orang sulit mencari sesuap nasi.

Akhirnya mereka nekat mencuri, menipu, memeras, menggarong, melacur, dan lain-lain. Contoh lain, karena pengaruh globalisasi, orang ingin mencontoh gaya hidup mewah, maka karyawan atau pegawai rendah pun ingin bisa memiliki kendaraan bermotor. Akhirnya mereka berupaya mencari uang dengan cara apapun asal bisa memiliki kendaraan bermotor.(10)

— Ibnu Djarir, Ketua MUI Provinsi Jawa Tengah
Wacana Suara Merdeka 4 Februari 2010