Oleh INDRA YUSUF
Diakui atau tidak, terungkap atau tidak, dugaan kecurangan UN di berbagai daerah memang benar-benar merupakan fenomena gunung es. Artinya, terungkapnya kecurangan UN yang terjadi di daerah tertentu sebagaimana dilansir sejumlah media sebetulnya terjadi juga di berbagai daerah yang lain hanya saja belum terungkap. Apalagi dengan melihat tingkat kelulusan UN yang sangat tinggi hingga mencapai 95 persen lebih meski standar kelulusan tiap tahunnya meningkat dan jumlah mata pelajaran bertambah. Anehnya, pada setiap uji coba UN tingkat kelulusannya sangat rendah bahkan ada yang sampai di bawah 10 persen, padahal bentuk soal yang dibuat juga mengacu pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Belum lagi tingkat pengawasan yang relatif longgar.
Bagi ahli statistik atau lembaga survei, kecurangan UN mungkin sangat mudah dideteksi dengan metode statistik tertentu. Soal pengawasan dan pemantauan pelaksanaan UN yang melibatkan berbagai pihak seperti yang dilakukan Kementerian Pendidikan Nasional tidak akan berpengaruh banyak terhadap besarnya tingkat kecurangan yang terjadi. Beberapa kasus kecurangan yang berhasil terungkap kecil sekali perbandingannya dengan kecurangan yang sebenarnya terjadi. Kecurangan yang terungkap pun bukan mengarah kepada akar dan sumbernya.
Sebetulnya kalau kita cermati, kecurangan yang terjadi pun tidak jauh-jauh dari ulah oknum yang berkecimpung di lingkungan pendidikan atau oknum birokrat sendiri. Mereka melakukan kecurangan demi jabatan yang diduduki, mereka tidak mau dianggap tidak berhasil melakukan pembangunan dalam bidang pendidikan.
Kecurangan diduga bukan pada saat pendistribusian dari pusat ke sejumlah daerah. Oleh karena itu, tidak terlampau penting mengerahkan petugas keamanan secara berlebihan karena pengawalan ketat pada saat pendistribusian hanyalah untuk menimbulkan kesan ketatnya pelaksanaan UN. Semua kecurangan diduga kuat terjadi ketika soal sudah sampai di sekolah atau dinas pendidikan setempat, dan akhirnya akan bermuara kepada oknum guru mata pelajaran yang di-UN-kan itu sendiri.
Seandainya guru mata pelajaran yang di-UN-kan memegang teguh idealisme dan komitmen sebagai pendidik, kecurangan UN tidak akan terjadi seluas ini. Guru mata pelajaran seharusnya berani mengatakan tidak untuk melakukan kecurangan dalam bentuk apa pun. Seandainya itu bisa, saya yakin pelaksanaan UN akan berjalan jujur tanpa melibatkan pengawasan dari pihak luar seperti kepolisian dan tim independen.
Guru mata pelajaran sendiri merasa dalam keadaan serbasulit. Batinnya tertekan, idealisme diperkosa, dan nuraninya ditelikung. Bahkan seakan-akan guru merasa melakukan kecurangan lebih aman dibandingkan dengan menolak untuk melakukan kecurangan. Tentu kita juga masih ingat dengan perjuangan sekaligus penderitaan sekelompok guru yang menamakan ”Komunitas Air Mata Guru” yang berani tidak saja menolak tetapi juga melaporkan tindak kecurangan di daerahnya. Sehingga sebagian besar guru mata pelajaran merasa tidak berdaya dan akhirnya menerima menjadi algojo yang siap memancung ruh pendidikan bangsa ini.
Melalui tulisan ini saya mengusulkan kepada Kementerian Pendidikan Nasional dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) selaku penyelenggara dan penanggung jawab pelaksanaan UN, tentang bagaimana cara mengatasi kecurangan UN. Sebagaimana saya kemukakan, oknum guru mata pelajaran yang di-UN-kanlah yang mempunyai peran besar dalam praktik kecurangan. Pada saat mata pelajaran tertentu di-UN-kan, guru mata pelajaran yang bersangkutan (termasuk kepala sekolah yang mengampu mata pelajaran yang di-UN-kan atau panitia penyelenggara UN sendiri) sebaiknya dikarantinakan di Dinas Pendidikan masing-masing kota/kabupaten. Atau dapat juga guru-guru tersebut diberi kegiatan yang pada saat UN berlangsung diketahui keberadaannya untuk memastikan tidak ikut dalam upaya membocorkan soal. Bagi yang tidak hadir perlu ditelusuri lebih jauh alasannya.
Dengan demikian, pelaksanaan UN diharapkan jauh lebih bersih dan jujur. Walaupun ada kemungkinan kecurangan yang dilakukan siswa, itu tak begitu mengkhawatirkan dibandingkan dengan kecurangan yang terjadi secara sistematis. Kecurangan yang terjadi selama ini semakin lama semakin menggerogoti sendi-sendi pendidikan nasional.
Selama ini memang menurut standar operasional prosedur (SOP) penyelenggaraan UN, pemerintah sudah melarang guru mata pelajaran yang sedang diujikan berada di lingkungan sekolah atau mengawas ujian. Akan tetapi, agaknya peraturan ini tidak ditegakkan secara tegas, terbukti masih banyak ditemui pelanggaran di lapangan sementara pemerintah sendiri tidak mengambil tindakan atau sanksi secara tegas.
Kalau memang UN perlu terus dilaksanakan, teguran, tindakan, dan sanksi tegas perlu dilakukan pemerintah terhadap siapa saja yang melanggar ketentuan SOP penyelenggaraan UN yang telah ditetapkan karena ketentuan itu juga memuat sanksi terhadap pelanggaran ketentuan penyelenggaran UN, termasuk terhadap kepala daerah dan pejabat lainnya sehingga pelaksanaan UN mendatang akan lebih berwibawa, tertib, jujur, dan diakui kredibilitasnya. Dengan demikian, tujuan pelaksanaan UN yang diharapkan pemerintah sesuai dengan apa yang diharapkan, yakni untuk meningkatkan dan memetakan mutu pendidikan nasional. Semoga.***
Penulis, pemerhati pendidikan, tinggal di Kota Cirebon.
Opini Pikiran Rakyat 4 Februari 2010