29 Januari 2010

» Home » Republika » Seratus Hari tanpa Kejutan

Seratus Hari tanpa Kejutan

Oleh Marwan Mas
(Dosen Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar)

Memasuki seratus hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, tensi politik juga terus memanas di tengah Panitia Angket DPR Kasus Century yang memojokkan kebijakan bailout . Aksi unjuk rasa di Jakarta dan berbagai kota di negeri ini menunjukkan bahwa SBY-Boediono selama seratus hari ini belum memperlihatkan  greget yang bisa mengembalikan kepercayaan rakyat pada keseriusan memperbaiki kehidupan rakyat, termasuk memerangi korupsi yang menjadi salah satu harapan besar rakyat.

Harapan ini tidak berlebihan sebab rakyat yang memilih SBY-Boediono telah dibuai janji-janji manis saat kampanye lalu. Rakyat berharap, negeri ini tidak lagi menjadi 'surga bagi koruptor' akibat tidak tersentuh hukum, tapi akan menjadi neraka yang menyakitkan. Paling tidak, para koruptor merasa gerah dan terusik dari ketenangannya menikmati hasil korupsinya.

Terapi kejut yang dijanjikan baru sebatas pernyataan, tidak ada 'kejutan' meski telah dibentuk Satuan Tugas Mafia Hukum. Padahal, rakyat ingin bukti konkret dengan membuat kejutan menangkap koruptor kakap dan mafia hukum. Tampaknya, korupsi belum dipahami sebagai akar dari segala kejahatan ( root of all evil ). Hampir semua proses hukum diwarnai praktik korupsi, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, proses pengadilan, sampai pada ruang tahanan.

Bisakah dimakzulkan?
Salah satu yang amat penting saat ini adalah bagaimana membongkar kasus-kasus korupsi kakap disertai pengembalian uang negara. Terapi kejut seratus hari memang tidak akan menyelesaikan semua persoalan (termasuk korupsi). Untuk menutup langkah upaya pemakzulan (pemberhentian) bagi SBY-Boediono, itu amat bergantung pada fakta yang ditemukan pansus.

Jika kebijakan  bailout dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ada pihak yang diuntungkan dan menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian negara. Pemakzulan pun bukan tidak mungkin terjadi. Pansus akan merekomendasikan pimpinan DPR untuk dilakukan rapat paripurna untuk menatapkan 'pendapat DPR' bahwa presiden dan/atau wakil presiden diduga telah melakukan korupsi atau penyuapan (Pasal 7A UUD 1945).

Penentuan pendapat dalam rapat paripurna merupakan proses politik yang tentu saja bergantung pada dukungan dari anggota DPR. Jika dalam proses politik di DPR berhasil memutuskan pendapat bahwa presiden dan/atau wakil presiden diduga melakukan korupsi atau penyuapan dalam pemberian  bailout ke Bank Century, pendapat tersebut diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk diperiksa, diadili, dan diputuskan kebenaran pendapat DPR (Pasal 7B UUD 45).

Proses di MK tentu saja proses hukum atau  forum previlegiatum , yaitu pengadilan tingkat pertama dan terakhir bagi pejabat tinggi negara (di Indonesia hanya pada presiden dan wakil presiden). Yang dicari adalah kebenaran materiil, bukan besar-kecilnya dukungan seperti pada proses politik. Permintaan DPR kepada MK harus didukung oleh sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota DPR yang dihadiri oleh minimal dua pertiga dari jumlah anggota DPR.

Pelibatan proses hukum agar pemakzulan dilakukan dengan tidak sewenang-wenang, tapi secara objektif dan transparan. Timbul pertanyaan, apakah Boediono, yang saat mengeluarkan kebijakan belum berposisi sebagai wakil presiden, dapat dibawa ke sidang  forum previlegiatum ? Karena kasusnya baru terungkap dan diproses saat menjabat wakil presiden,  forum previlegiatum menjadi solusinya.

Sebab, seandainya terungkap dan diproses saat Boediono masih menjabat gubernur Bank Indonesia dan dijatuhi pidana, dipastikan tidak akan lolos berpasangan dengan SBY karena tidak memenuhi syarat calon wakil presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf t UU Nomor 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Jika belum dijatuhi pidana sampai tahap pencalonan, parpol pengusung juga tidak akan mengajukan Boediono karena akan tertolak secara sosiologis oleh pemilih. Setelah terjadi pemakzulan, tidak ada lagi proses hukum, baik oleh KPK, kepolisian, maupun kejaksaan.

Pemakzulan di MPR diambil dalam rapat paripurna, dihadiri oleh sekurang-kurangnya tiga perempat jumlah anggota MPR, dan pemberhentian disetujui minimal dua pertiga dari jumlah anggota MPR yang hadir. Namun, melihat fenomena yang berkembang, bisa jadi pemakzulan hanya sampai pada wakil presiden, sementara presiden bisa aman jika ternyata Panitia Hak Angket tidak menemukan keterlibatan presiden.

Presiden SBY yang dipilih langsung oleh rakyat dan memiliki legitimasi kuat mestinya tidak perlu selalu 'ragu' mengambil langkah berani dan progresif. Terutama, membersihkan oknum-oknum di kepolisian dan kejaksaan (mafia hukum) yang selalu menghentikan penyidikan atau penuntutan kasus-kasus korupsi. Memberikan efek jera bagi mereka merupakan keniscayaan dengan memprosesnya dan dibawa ke ruang pengadilan. Sebab, dikhawatirkan, pemberantasan korupsi akan terganjal dari kalangan internal kepolisian dan kejaksaan bila tidak melakukan pembersihan internal.

Opini Republika 30 Desember 2010