29 Januari 2010

» Home » Kompas » Penghancuran Terpimpin

Penghancuran Terpimpin

Pengerukan perut Ibu Pertiwi oleh industri tambang terus berlangsung sistematis di negeri ini. Kalimantan adalah fenomena puncak gunung es. Berita Kompas tentang penambangan batu bara beberapa hari terakhir menegaskan betapa industri tambang berdaya rusak luar biasa dan tak terkendali.
Kehancuran ekologis, penggurunan, serta peminggiran dan pemiskinan penduduk lokal adalah karakter merusak yang melekat pada perilaku industri tambang, yang populer disebut daya rusak tambang. Industri tambang boleh dibilang anak emas kebijakan pengurusan negara dari rezim ke rezim, tergolong sebagai sektor industri vital dan strategis.


Aparatus keamanan pun bergeser menjadi aparatus kekerasan. Sering berujung pada pelanggaran hak asasi manusia dalam tugasnya mengamankan industri ini. Itu sebabnya, pelaku tambang amat percaya diri mengeruk bahan tambang secara tak bertanggung jawab, meninggalkan bom waktu penderitaan berkelanjutan bagi masyarakat sekitar.
Praktik tak bertanggung jawab itu tak saja di Indonesia. Oxfam Amerika dalam laporan riset, Extractive Industries and the Poor (2001), meyebutkan bahwa negara-negara yang bergantung kepada sektor tambang umumnya berstandar hidup rendah, bertingkat kemiskinan tinggi, skala korupsinya masif, tingkat anak balita gizi buruk tinggi, rendah layanan dana kesehatan, rentan gegar ekonomi, dan kerap dilanda perang sipil. Kebenaran kesimpulan studi itu beberapa terlihat jelas di Indonesia.
Legalisasi penghancuran
Pilihan sadar pemerintah bergantung kepada industri tambang diawali dengan kelahiran Undang-Undang Penanaman Modal Asing Nomor 1 Tahun 1967, disusul penerbitan Kontrak Karya PT Freeport, serta UU Pertambangan No 11/1967. Sejak itu, ribuan izin pertambangan kontrak karya, kontrak karya batu bara, dan kuasa pertambangan (KP) dikeluarkan pemerintah. Semangat obral bahan tambang begitu kental mewarnai kebijakan saat itu. Ironisnya, semangat serupa masih kental mewarnai kebijakan pemerintah saat ini.
Pemerintah atas nama pendapatan negara dan pendapatan asli daerah (PAD) menjadi sangat agresif mengeluarkan izin tambang. Pendapat dan keberatan rakyat atau pertimbangan rasional lain kerap diabaikan. Dalam lima tahun terakhir, jumlah KP bertambah dan kegiatan pertambangan ilegal menjamur. Tak terkendali.
Rekor tertinggi pengeluaran izin tambang dipegang Provinsi Kalimantan Timur. Total KP batu bara yang diterbitkan di Kalimantan sebanyak 2.225 izin ( Kompas, 25/1).
Jika Kalimantan menjadikan batu bara sebagai komoditas buruan penambang, Sulawesi memilih emas dan nikel sebagai target utamanya. Walhi mencatat, lebih dari 429 KP dikeluarkan pemerintah kabupaten di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Penambang di Nusa Tenggara Timur memburu mangan, emas, dan bijih besi.
Di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat penambangan mangan mengancam daerah tangkapan air, yang sejak Orde Baru dikelola lewat dana utang dari Jepang senilai 167 juta dollar Amerika Serikat (AS) untuk Manggarai Water Investment Project. Kini, sebagian daerah tangkapan air itu dirusak tambang mangan, yang sumbangannya kepada PAD tak lebih dari Rp 300 juta per tahun. Sungguh pilihan yang tak masuk akal.
Keberanian Presiden
Hampir semua kabupaten mengeluarkan izin tambang. Pulau kecil seperti Gag, Lembata, serta Karimun tengah dan akan dikeruk. Pemerintah pusat mengubah pula banyak kebijakan agar perusahaan asing dapat terus menambang. Penambangan ilegal pun terus meningkat. Di sisi lain, sebagian besar produksi tambang Indonesia ditujukan bagi kebutuhan negara lain. Hampir seluruh produksi batu bara Kalimantan dikirim ke luar pulau. Tiap tahun, Kalimantan mengirim 99 juta ton batu bara ke Jepang dan Korea, 11 juta ton (Eropa), 600.000 ton (Afrika), 400.000 ton (Selandia Baru), serta 800.000 ton (AS dan Amerika Selatan).
Melalui pendekatan kebijakan pembangunan berkarakter merusak, Indonesia berlari menyongsong kebangkrutannya. Daya rusak tambang meningkat seiring dengan pertambahan izin yang dikeluarkan. Indonesia juga terancam menghadapi kelangkaan batu bara dan bahan tambang lain karena eksploitasi berlebihan. UU Mineral dan Batu Bara No 4/2009 secara sadar tak mengatur langkah antisipatif terhadap krisis tak terhindarkan.
Belajar dari kebobrokan tata-kelola kekayaan alam Kalimantan, Presiden mestinya segera mengambil langkah tegas mencegah meluasnya kerusakan Kalimantan dan pulau lain. Ia harus segera menyatakan moratorium penerbitan perizinan tambang serta mengevaluasi dan melakukan legal audit terhadap semua izin yang telah terbit.
Pada saat yang sama, ambang toleransi tambang sesuai kebutuhan riil dalam negeri harus dihitung. Presiden sebaiknya tegas mencabut izin tambang yang sangat mengancam, dan mewajibkan pelaku industri tambang memulihkan sosial-ekologis wilayah-wilayah keruk. Tanpa langkah itu, tepatlah disebut saat ini negara tengah memimpin perusakan Ibu Pertiwi melalui kebijakan dan rezim perizinan pertambangan.
Chalid Muhammad Ketua Institut Hijau Indonesia dan Direktur Walhi (2005-2008)
Opini Kompas 30 Januari 2010