29 Januari 2010

» Home » Kompas » Elite yang Mati Rasa

Elite yang Mati Rasa

Harapan-harapan yang telah dipupuk, penipuan-penipuan yang paling kejam, akhirnya menimbulkan frustrasi yang merata di generasi kemerdekaan ini. Perasaan dikhianati, ditipu, dan lain sebagainya pada akhirnya melahirkan krisis kepemimpinan dan krisis kepercayaan pada generasi kemerdekaan ini....
Sebuah kutipan dari artikel Generasi yang Lahir Setelah Tahun Empat Lima yang ditulis Soe Hok Gie di harian ini, 16 Agustus 1969, dan kemudian dimuat kembali di buku Soe Hok Gie itu sekali lagi menggambarkan suasana saat itu. Generasi muda ketika itu begitu frustrasi dengan perilaku elite politik yang mengingkari janji-janjinya.


Kini, setelah 40 tahun, situasi ini masih berulang. Betul, banyak kemajuan dari sisi ekonomi. Namun, ini justru terjadi bersamaan dengan sinisme masyarakat terhadap para pemimpin mereka. Yang terakhir, kita menyaksikan hal ini dalam drama berseri usaha kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kasus Bank Century yang melibatkan para elite politik.
Telah banyak studi yang menjelaskan kegagalan elite dalam menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan publik yang lebih luas. Leftwich (1998) menyebutkan, elite sering tetap bersikap konservatif dalam sebuah sistem yang sudah berubah menjadi demokratis. Mereka mengakomodasi dan menyepakati sesuatu berdasarkan kepentingan yang eksklusif.
Elite menentukan agenda politik: apa yang akan didiskusikan dan yang tidak (Lukes, 1974). Di sisi lain, kelompok paling miskin dan rentan memiliki kesempatan paling keci berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan (Beresford dan Turner, 1997).
Ambardi (2009) menjelaskan situasi tersebut dalam konteks Indonesia setelah Reformasi 1998. Menurutnya, partai politik cenderung mengabaikan ideologi dan program ketika sudah masuk arena parlemen dan pemerintahan. Mereka hanya mengartikulasikan aspirasi masyarakat dan ideologinya saat pemilu.
Di parlemen dan pemerintahan, elite parpol berperilaku sebagai kartel eksklusif. Ini terlihat dari ketidakkonsistenan menyikapi beragam persoalan. Parpol yang mencitrakan diri populis, bersikap kanan dalam soal pengurangan subsidi dan privatisasi BUMN. Perilaku kolektif ini disebabkan pencarian rente bersama. Perilaku elite yang ganjil dalam usaha kriminalisasi KPK dan kasus Century juga mesti diwaspadai. Alih-alih memperjuangkan hal prinsipiil, itu lebih merupakan respons elite terhadap hasil Pemilu 2009 dan menghadapi Pemilu 2014.
Situasinya adalah relatif menguatnya posisi Partai Demokrat (PD) dan melemahnya beberapa parpol besar lain, terutama Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Maka, berkaitan dengan akses terhadap rente ekonomi, PD akan berusaha mempertahankan status quo dengan akses terkuat terhadap sumber keuangan dari lembaga pemerintahan dan BUMN, sementara parpol seperti Golkar akan PDI-P akan berjuang menaikkan posisi tawar.
Hal ini mampu menjelaskan sikap ganjil dan misterius Presiden Yudhoyono dan PD dalam kasus kriminalisasi KPK. Presiden, sebelum didesak publik sedemikian kuat, nyaris membiarkan dan berdiam diri. Padahal, ini sangat bertentangan dengan: (1) pencitraan PD dan Yudhoyono sebagai antikorupsi pada pemilu lalu; (2) kepentingan komunikasi politik PD dan Yudhoyono dengan masyarakat.
Hal yang sama terjadi pada hampir semua parpol besar di DPR. Kelihatannya mereka memiliki kepentingan sama, yaitu terganggu oleh keberadaan KPK. Dalam kasus Century, hal yang berbeda terjadi. Beberapa parpol menyudutkan pejabat kunci di pemerintahan tanpa dasar memadai. Di sisi lain, PD dan Yudhoyono terlihat terlampau takut dengan proses politik yang terjadi. Sesuatu yang logis, mengingat jika memang ada fraud , rente tersebut akan diperoleh pihak-pihak yang memiliki akses langsung pada sumber-sumber keuangan. Pendeknya, dalam kedua kasus, elite sedang memperjuangkan kepentingan eksklusifnya yang tak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Kepercayaan masyarakat
Elite mestinya menyadari bahwa perilaku mereka telah membuat masyarakat bingung. Coba saja mereka bertemu dan berbicara langsung dengan masyarakat biasa: pedagang kecil, petani, ibu rumah tangga, dan pegawai kecil. Mereka harusnya bisa menangkap bahwa kepercayaan masyarakat terhadap mereka sedang mengalami krisis hebat.
Dalam situasi ini, proses pembangunan untuk menyejahterakan masyarakat sulit berjalan optimal. Betul ada pencapaian di sana-sini, tetapi ini juga masih jauh dari harapan. Bandingkan indikator situasi kesehatan dan pendidikan kita dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Lebih jauh, elite yang mati rasa dan pembajakan demokrasi oleh mereka juga dapat mengganggu kohesi sosial dan proses nation building (Ortiz, 2007). Untuk itu, perlu beberapa langkah berikut.
Pertama, elemen masyarakat di luar elite partaiLSM, media, sektor swasta, dan masyarakatharus terus memperkuat kontrol. Dengan tetap menyadari mandat formal berada di tangan elite di lembaga eksekutif dan legislatif, berbagai elemen ini harus menciptakan insentif dan disinsentif bagi elite partai dan memaksa mereka merepresentasikan kepentingan konstituen.
Kedua, para elite yang merupakan champions harus mampu menjalin kerja sama lintas partai untuk bersikap transparan dan akuntabel ke masyarakat. Hanya dengan itu kepercayaan masyarakat bisa dipulihkan dan demokratisasi dan pembangunan untuk kesejahteraan bersama bisa berjalan sesuai harapan.
Tata Mustasya Analis Ekonomi-Politik, Alumnus University of Turin
Opini Kompas 30 Januari 2010