29 Januari 2010

» Home » Jawa Pos » Adakah Pengganti Gus Dur?

Adakah Pengganti Gus Dur?

PERTANYAKAN di atas diajukan banyak pihak menanggapi wafatnya KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (GD). Namun, karena GD adalah tokoh multifungsi, pertanyaannya harus dispesifikasikan; pengganti GD dalam kapasitas apa? Sebagai tokoh PKB atau tokoh NU? Sebagai pemikir dan pejuang HAM serta pelindung kaum minoritas? Atau sebagai tokoh pembaruan Islam?

Tampaknya, hampir tidak mungkin mencari pengganti GD di dalam PKB. Perolehan suara PKB turun drastis dalam Pemilu 2009 akibat digesernya GD dari ketua umum Dewan Syura DPP PKB. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa tanpa GD, sebenarnya PKB sudah tidak ada artinya. Yenny Wahid tidak dapat menjadi pengganti GD di PKB.



Yang dapat mengganti fungsi GD di dalam PKB hanyalah islah antara kedua kubu, apalagi kalau ditambah PKNU. Momentum wafatnya GD seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik. Tampaknya, semua kubu bicara tentang islah, tetapi persepsinya berbeda-beda sehingga sulit dicapai islah yang nyata.

***

Walaupun di dalam struktur organisasi NU saat ini GD tidak punya posisi, tak bisa dibantah bahwa GD adalah tokoh utama komunitas NU. Hadirnya puluhan ribu pentakziah pada upacara pemakaman GD dan tahlilan tujuh hari wafatnya GD adalah bukti nyata pengaruh GD yang luar biasa. Para kiai berpengaruh, termasuk kiai yang tergabung dalam PKB Muhaimin dan PKNU, datang ke Tebuireng untuk menghormati wafatnya GD.

Sampai 12 Januari 2010, setiap hari ribuan peziarah masih mendatangi pusara GD di Tebuireng. Banyak yang datang dari tempat jauh, sebagian merupakan rombongan menggunakan bus. Selama ini pemakaman keluarga di Pesantren Tebuireng didatangi lebih dari 200 ribu peziarah setiap tahun. Kini jumlah peziarah setiap tahun diperkirakan meningkat dua kali dari jumlah yang selama ini datang. Makam GD akan menambah daya tarik makam KH Hasyim Asy'ari sehingga menjadi salah satu tujuan utama wisata ziarah yang banyak dilakukan warga NU kultural.

Jadi, rasanya dalam 10-20 tahun ke depan, sulit diharapkan munculnya tokoh pengganti GD yang setara di kalangan NU, baik organisasi maupun komunitas.

***

Dalam perjuangan penegakan HAM, anti kekerasan, antidiskriminasi, dan perlindungan terhadap kaum minoritas, selain GD masih banyak tokoh lain, sehingga mencari penggantinya tidak terlalu sulit. Tetapi, untuk perjuangan bagi perlindungan terhadap kaum minoritas dan kebebasan beragama, peran GD masih teramat kuat.

Kita menyaksikan bahwa perjuangan terakhir GD untuk membela kebebasan beragama ialah pengajuan uji materi UU No 1/PNPS/1965 ke Mahkamah Konstitusi yang ditujukan untuk melindungi jamaah Ahmadiyah. Upaya di atas dilakukan bersama sejumlah LSM dan tokoh agama Islam.

Upaya seperti di atas itulah yang membedakan GD dengan banyak tokoh lain. Mereka setuju dengan prinsip perjuangan kebebasan beragama seperti GD, tetapi tidak melakukan sesuatu yang konkret seperti itu. Di TV One kita menyaksikan pernyataan Bingky Irawan tentang kesaksian GD (1998) di PN Surabaya pada persidangan pemeluk agama Konghuchu yang tidak boleh mencatatkan pernikahan mereka di kantor catatan sipil.

Salah satu bukti keberanian GD dalam membela kelompok yang menerima perlakuan diskriminatif ialah keinginan mencabut TAP MPR No XXV/1966. Sebenarnya tindakan itu tidak mungkin dilakukan GD karena bukan kewenangannya dan juga tidak taktis. Tetapi, GD tidak pernah memperhitungkan dampak dari tindakannya. Itulah keberanian GD yang terkadang merugikan dirinya sendiri. Kita paham bahwa amat sulit menemukan tokoh yang bisa menyamai GD dalam hal itu.

***

Gus Dur adalah tokoh pemikir pembaruan Islam, selain Cak Nur, Buya Syafii Ma'arif, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan banyak pemikir muda dari kalangan Muhammadiyah, NU, dll. Jadi, tidak terlalu sulit mencari penggantinya. Para pemikir muda itu akan berkembang mencapai kematangan dan bisa menggantikan para senior mereka. Tetapi, pengaruh mereka di dalam masyarakat masih harus ditingkatkan.

Tidak semua pemikiran GD diterima oleh mayoritas kalangan NU. Sebagai contoh, GD menolak UU Antipornografi, tetapi PB NU menerimanya. Hanya kebesaran sosok GD di mata masyarakat yang membuat pengaruh GD bisa bertahan walaupun sebagian pemikirannya bertentangan dengan arus utama pemikiran di dalam NU. Apakah aktivis The Wahid Institute akan mampu mengembangkan pengaruh pemikiran GD secara utuh di dalam NU? Sejarah yang akan menjawab.

Seorang kiai bertanya, apakah arti pidato Presiden SBY bahwa GD adalah Bapak Pluralisme? Saya menjawab bahwa secara harfiah plural berarti majemuk dan secara sederhana pluralisme adalah ajaran yang menghargai dan menghormati kemajemukan atau perbedaan dalam masalah agama, suku, ras, dan budaya.

Kiai lain bertanya, mengapa pluralisme dilarang oleh Majelis Ulama Indonesia? Saya jawab bahwa yang dilarang oleh MUI adalah pluralisme agama yang menyatakan bahwa semua agama itu sama. Ada bagian yang sama, tetapi ada yang tidak, terutama dalam masalah teologi. Walaupun ada (sedikit) perbedaan, agama-agama itu bisa dan harus bekerja sama. Saya katakan bahwa GD tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa semua agama itu sama.

Namun, Zuhairi Misrawi menulis di Kompas bahwa GD berpandangan bahwa semua agama itu sama. Perbedaan penafsiran terhadap pemikiran GD seperti di atas bisa jadi jumlahnya cukup banyak. Harus ada klarifikasi terhadap adanya perbedaan tersebut supaya masyarakat mengetahui mana pemikiran GD yang sebenarnya. (*)

*) Salahuddin Wahid, pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang 
Opini Jawa Pos 29 Januari 2010