29 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Kemalasan Birokrat

Kemalasan Birokrat

Oleh Ajip Rosidi

Beberapa waktu yang lalu, beberapa guru suatu SMAN di Jawa Barat datang bertamu ke rumah saya di Pabelan. Mereka datang malam-malam, walaupun ketika mereka memberi tahu melalui telefon bahwa akan menemui saya masih pagi. Mereka ternyata harus menyelesaikan urusan di Yogyakarta lebih dahulu.


Kecuali untuk bersilaturahmi, mereka menyampaikan maksud sekolahnya yang pada musim liburan akan mengajak murid-muridnya berkunjung ke Jawa Tengah, di antaranya ke Akademi Militer di Magelang. Setelah itu anak-anak akan diajak berkunjung ke rumah saya, supaya ”anak-anak itu tidak hanya mengenal Pak Ajip Rosidi melalui buku-buku”. Niat itu tentu saja saya terima dengan gembira, tetapi ketika saya diberi tahu bahwa jumlah murid itu kurang lebih 370 orang, saya menjadi terkejut dan menjawab bahwa rumah saya tidak cukup untuk menampung orang sebanyak itu. Para guru itu menenteramkan hati saya dengan mengatakan bahwa murid-murid itu tidak usah diterima di dalam bangunan, cukup diterima di halaman saja. Namun walaupun di halaman niscaya tidak cukup juga kecuali dengan menginjak pohon-pohonan yang saya tanam.

Karena tidak mau menolak niat baik yang hendak bersilaturahmi, saya berpikir akan menyewa Gedung Balai Muslimin yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah saya. Gedung itu cukup besar,  saya kira dapat menampung sampai kurang lebih 500 orang. Setelah memberitahukan jadwal kedatangannya, kami pun mengobrol mengenai berbagai hal. Akan tetapi, tidak lama karena mereka hendak pulang malam itu juga. Sebelum pulang, mereka menyerahkan surat resmi dari kepala sekolahnya tentang kunjungan murid-muridnya ke rumah saya itu. Karena mengira isinya sama dengan apa yang dibicarakan, surat itu tidak saya buka, melainkan saya simpan di atas meja.

Keesokan harinya saya menyuruh anak saya mencari informasi tentang Gedung Balai Muslimin, baik kapasitas penampungannya maupun berapa sewanya. Ternyata memang dapat menampung sampai 500 orang. Kebetulan menurut pengurusnya pada hari yang direncanakan para murid itu akan datang, Gedung Balai Balai Muslim itu masih kosong, dalam arti belum ada orang yang akan menggunakannya. Maka, tempat untuk menerima para murid itu tidak menjadi soal. Mereka dapat saya terima tanpa merusak pohon-pohonan yang saya tanam.

Baru beberapa hari kemudian saya membuka surat dari kepala sekolah yang saya taruh di atas  meja itu. Ternyata surat itu sudah dicetak, tetapi nama saya serta waktu kunjungan mereka ditulis dengan tangan. Agaknya mereka sering (tetapi paling sering juga setahun sekali atau dua kali) mengirim surat seperti itu sehingga merasa perlu mencetaknya supaya tidak usah setiap kali membuat surat yang baru, cukup hanya menulis nama dan alamat yang dikirimi surat dan waktu kunjungan akan dilakukan. Artinya, mereka memanfaatkan hasil teknologi percetakan.

Perihal yang dicetak di situ adalah ”studi observasi”. Saya tidak mengerti apa yang dimaksud dengan ”studi observasi” yang ditulis secara menyalahi EYD itu. Katanya, ”sesuai dengan program kerja sekolah... dan dalam rangka memperluas wawasan siswa untuk mengikuti pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta untuk mempersiapkan siswa dalam menghadapi era globalisasi”. Sungguh kalimat-kalimat hebat yang agaknya dikutip dari pidato-pidato para pembesar tanpa arti yang jelas. 

Akan tetapi, yang mengejutkan ialah kalimat selanjutnya yang berbunyi, ”Menurut informasi yang kami terima salah satu obyek yang menarik dan cocok dikunjungi adalah instansi/pabrik yang Bapak/Ibu pimpin.” Saya terkejut karena rumah saya bukanlah instansi dan bukan pula pabrik. Tidak tahu informasi bahwa di tempat saya ada instansi atau pabrik itu dari mana. Para guru yang datang menemui saya yang memberikan surat itu pun tidak menyebut-nyebut hal itu. Maka, saya simpulkan bahwa karena malas dan mau gampang saja, surat yang sudah diseragamkan itu dikirimkan kepada siapa saja. Tidak diperhatikan kepada siapa ditujukan dan apakah sesuai dengan maksud kunjungan ”studi obervasi” itu atau tidak.

Kecuali menunjukkan kemalasan, surat itu juga memperlihatkan betapa penulisnya (penanda tangannya) tidak menganggap perlu memperhatikan hubungan dengan yang dikirimi surat. Padahal, dia seorang drs. dengan gelar M.M. pula di belakangnya. Tidak memperhatikan hubungan dengan yang dikirimi surat, artinya tidak menghargai yang dikirimi surat itu sebagai pribadi atau lembaga karena semuanya disamaratakan demi kepraktisan.

Saya jarang menerima surat dari lembaga pemerintah. Maka, saya bertanya-tanya apakah para birokrat di lembaga-lembaga pemerintah itu bermental sama dengan kepala sekolah yang mengirimkan surat kepada saya, yaitu menganggap yang dikirimi surat itu hanya sebagai nomor atau alamat yang tidak berbeda satu dengan yang lain. Tidak tertarik untuk mengenali dan memperhatikan pribadi mereka masing-masing. Sikap seperti demikian niscaya akan membuat yang dikirimi surat itu merasa tidak dihargai sebagai pribadi.                   

Setelah membaca surat itu, saya pun segera menulis balasan yang isinya  menyatakan  bahwa saya tidak bersedia menerima kunjungan tersebut karena di tempat saya tidak ada instansi ataupun pabrik. ***

Penulis, budayawan.
Opini Pikiran Rakyat 30 Januari 2010