KEHADIRAN calon independen dalam pilkada sudah menjadi keniscayaan. Tidak boleh tidak semua pihak harus mengikuti ketentuan itu, demi menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materi terhadap UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diajukan seorang anggota DPRD Lombok, NTB.
Keputusan MK itu bisa dinilai sebagai langkah maju dalam demokrasi di Indonesia. Semua komponen bangsa ini tentu setuju dengan keputusan tersebut, kecuali orang yang antidemokrasi.
Lagi pula dalam pilkada seperti sekarang, kita tidak bisa hanya mengandalkan kebesaran partai politik, termasuk mengandalkan berapa banyak partai itu memiliki kursi di gedung Dewan.
Dalam pemilihan langsung yang terpenting adalah siapa figur yang maju, dan itu tidak mesti dari partai.
Maka popularitas, ketokohan, dan kemengakaran sang figur menjadi syarat yang tak bisa dikesampingkan. Seseorang mungkin memiliki ketiga syarat tersebut, tetapi bisa saja tidak lolos dalam seleksi parpol. Sebab seleksi parpol acapkali lebih melihat berapa harga yang bisa dibayar.
Dalam konteks inilah maka keputusan MK yang membolehkan calon independen maju dalam pilkada menjadi angin segar. Setidaknya bisa membangkitkan harapan rakyat, calon independen tersebut benar-benar menjadi alternatif yang lebih baik.
Lalu, apa perbedaan kepala daerah yang terpilih dari jalur independen dan yang berangkat dari parpol atau gabungan parpol? Jika dilihat dari proses pencalonan, tentu terdapat perbedaan di antara keduanya.
Pada pilkada langsung yang pertama tahun 2005, parpol menjadi pintu satu-satunya bagi calon yang ingin mengikuti pertarungan memperebutkan kursi orang pertama di suatu daerah. Sebagian pengamat menilai, hal itu tidak sejalan dengan napas demokrasi, karena rakyat dipaksa memilih calon yang telah ditetapkan parpol.
Ironisnya, dalam menentukan calon yang akan ikut pilkada, partai politik mensyaratkan biaya yang bisa mencapai miliaran rupiah.
Parpol seolah tidak peduli apakah calon itu didukung rakyat atau tidak, yang penting bersedia menyetor sejumlah dana yang biasa diistilahkan untuk membeli kendaraan politik. Ini sudah menjadi rahasia umum.
Buntutnya tentu bisa ditebak. Kepala daerah yang lahir melalui proses seperti itu, selama menjabat akan selalu berusaha mengembalikan dana yang telah dikeluarkan untuk parpol.
Dia tidak akan begitu peduli pada rakyat di daerahnya, karena merasa tidak memiliki ikatan emosional dengan rakyat. Tentu saja hal itu sangat berbahaya.
Fakta menunjukkan, tidak semua kepala daerah yang berangkat dari parpol memiliki kredibilitas dan kepemimpinan yang bisa berjalan mulus selama lima tahun jabatan. Ada saja pelayanan maupun pembangunan yang direalisasikan tak sesuai dengan janji saat kampanye.
Di sisi lain calon yang sebenarnya sangat didukung rakyat tetapi tidak diakomodasi parpol, menjadi tidak bisa ikut pilkada.
Sehingga rakyat dipaksa memilih calon yang tidak sesuai aspirasi mereka. Padahal dalam demokrasi, rakyat harus diberi keleluasaan untuk memilih yang sesuai aspirasi mereka.
Karena itulah calon dari partai yang terpilih lima tahun lalu atau wakil yang meneruskan (incumbent), sekarang perlu dihadapkan dengan calon independen ataupun pendatang baru lainnya.
Pertarungan politik untuk merebut kursi bupati akan lebih lengkap bila ada calon independen ataupun pendatang baru yang memiliki figur kuat di masyarakat.
Dengan sistem pemilihan langsung dan ketersediaan calon yang berasal dari dua sumber, rakyat sebenarnya diuntungkan.
Pola itu akan melahirkan figur pemimpin yang benar-benar dikehendaki masyarakat. Siapapun yang menjadi pemenang merupakan bukti bahwa dialah figur kuat yang didukung masyarakat.
Dalam hal ini calon perseorangan juga memiliki peluang untuk memenangi asalkan memiliki karisma dan bisa diterima oleh rakyat.
Tampilnya calon perseorangan akan menjadi penentu pilihan masyarakat sekaligus untuk menguji, sejauh mana masyarakat memahami arah demokrasi untuk kepentingan bangsa.
Calon independen jika terpilih tidak punya beban mengembalikan modal yang digunakan untuk membeli kendaraan politik.
Setidaknya modal yang digunakan lebih kecil, karena dana yang seharusnya digunakan untuk membeli kendaraan politik itu bisa langsung dialirkan kepada rakyat.
Dengan demikian selama lima tahun jabatan, kepala daerah yang berangkat dari calon independen bisa lebih konsentrasi dalam masalah-masalah pembangunan dan kerakyatan, lebih punya banyak waktu untuk merealisasikan mimpi-mimpinya tentang kejayaan daerah yang dipimpin. Ini sisi positifnya.
Di sisi lain ada pengamat yang mengatakan, calon independen bakal menemui kendala ketika terpilih. Karena tidak ada dukungan konkret di lembaga legislatif. Hal ini karena sistem politik belum siap.
Berdasarkan pengalaman selama ini, calon dari partai kecil yang menjadi kepala daerah selalu menjadi bulan-bulanan DPRD. Akibatnya, stabilitas politik dan pembangunan terganggu.
Lalu bagaimana dengan calon independen yang tidak ada dukungan parpol di parlemen? Tidak hanya di Indonesia muncul kekhawatiran akan ancaman instabilitas semacam itu, di AS juga demikian. (10)
— Mastur Syukur SH MSi, Ketua Organda Kendal, mantan anggota DPRD, mantan cawabup 2000
Wacana Suara Merdeka 30 Januari 2010