29 Januari 2010

» Home » Jawa Pos » Interfaith Dialogue Populis

Interfaith Dialogue Populis

Paus Benekditus XVI dalam kunjungannya ke Jordania pada Oktober lalu berpesan agar pemimpin Kristen, Islam, dan Yahudi memainkan peran lebih banyak untuk mencapai perdamaian.

---

Ada pemandangan menarik dalam konteks dialog antaragama (interfaith dialogue) yang dilakukan Paus Benekditus XVI di masjid Raja Hussein bin Tala di Jordania beberapa bulan lalu, yai­tu Paus masuk masjid tanpa melepaskan sepatunya. Menurut Juru Bicara Vatikan Federico Lombardi, sebetulnya Paus hendak melepaskan sepatunya, na­mun imam masjid melarangnya karena jalan itu sudah disiapkan khusus untuk Paus (Jawa Pos 10/5/2009). Peristiwa tersebut disaksikan umat beragama seluruh dunia, dan itu berarti di Timur Tengah telah terjadi dialog antaragama yang begitu baik dan terbuka bagi terciptanya kerukunan antarumat beragama. Ini merupakan dialogue of life atau dialogue in community yang patut diberi apresiasi.

Pada 25-27 Januari 2010 lalu, di Jakarta diselenggarakan Indonesia-US Interfaith Dialogue yang membahas agenda kemanusiaan penting, yaitu masalah penanggulangan kemiskinan, pendidikan, pelestarian lingkungan, dan tata kelola pemerintahan lokal (Jawa Pos, 28/01/2010). Pada akhir kegiatan tersebut juga diadakan kunjungan ke Gereja Katedral dan Masjid Istiqlal. Para elite agama lain pun masuk masjid tanpa ada rasa kikuk. Forum tersebut merupakan forum prestisius yang digelar pertama di dunia. Penggagasnya juga orang nomor satu di masing-masing negaranya, Barack H. Obama dan Susilo B. Yudhoyono.

Sejumlah pemikir agama-agama yang membahas relasi antaragama di Brimingham pada April 1970 berkesimpulan, dialog antaragama merupakan sesuatu yang urgen yang berada dalam kerangka relasi dan pencarian makna kebenaran yang hendak dicapai. Dialog harus mengarah kepada kebenaran yang mengantarkan kepada situasi di mana isi dan ajaran yang dipertentangkan satu sama lain dapat terlampaui. Tujuan dialog menurut mereka adalah memecahkan permasalahan konkret yang terjadi dalam kehidupan keagamaan dan hidup sehari-hari dalam masyarakat.

Pada 1964, Vatikan telah mendirikan sekretariat bagi agama non-Kristen (Pasific Council for Interreligious Dialogue-PCID) yang mempunyai misi mempromosikan kajian tradisi-tradisi agama lain dan mensponsori dialog antariman (interfaith dialogue). Vatikan II juga telah mengeluarkan dokumen yang berisi penghormatan terhadap orang-orang muslim karena, menurut konsili Vatikan II, orang-orang Islam juga menyembah Satu Tuhan Yang Maha Hidup, Abadi, Pengasih, dan Perkasa.

Mereka juga tunduk sepenuh hatinya kepada takdir Tuhan, sebagaimana yang dilakukan Ibrahim yang merupakan sandaran keimanan Islam. Walaupun mereka tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan, mereka mengakuinya sebagai nabi. Mereka juga menghormati Maryam, Ibu Yesus yang suci, menantikan Hari Perhitungan. Inilah awal inklusivisme Kristen, yang meninggalkan semboyan lamanya: Extra Ecclesiam Nulla Salus (Tidak ada keselamatan di luar gereja atau di luar agamanya) menuju pengakuan keberadaan agama lain.

Kendala Dialog Antaragama

Memang pada sementara orang-orang Islam masih ada keraguan menanggapi dialog agama itu. Gerakan dialog tersebut dianggap sebagai murni inisiatif Kristen Barat dan orang-orang Islam merasa diri mereka sebagai tamu yang diundang. Keyakinan mereka bahwa misi Kristen merupakan agenda tersembunyi (hidden agenda) dari Evangelism membuat mereka semakin tidak percaya terhadap dialog antaragama. Ketidakpercayaan itu ditambah dengan ketidakadilan global Barat, khususnya dalam konflik Israel-Palestina dan beberapa kasus hegemoni Barat terhadap dunia Islam.

Berbagai dialog dan upaya merukunkan antarumat beragama telah dibangun para elite agama di dunia, namun konflik antarumat beragama masih terus berlangsung. Apa penyebabnya? Tidak tertutup kemungkinan karena pendekatan yang dilakukan masih bersifat top down, belum menggunakan model dialog yang bersifat buttom up.

Dialog agama yang ada selama ini masih bersifat elitis serta belum menyentuh wilayah praksis dan populis seperti perlunya mendialogkan isu-isu kemanusiaan universal: kemiskinan, pengangguran, ketimpangan sosial, HAM, demokratisasi, keadilan, etika kehidupan berbangsa dan bernegara, dan seterusnya.

Dialog seperti itu bisa dilakukan karena setiap agama memiliki doktrin etika universal, misalnya, doktrin lima prinsip (pancasila) oleh agama Hindu: tidak boleh berbohong, tidak boleh berzina, tidak boleh mencuri, tidak boleh bermabuk-mabukan, dan tidak boleh membunuh. Doktrin ini sepadan dengan doktrin larangan ma lima agama Jawa: main, minum, madat, madon, dan maling. Demikian juga agama Islam dan agama semitik lain memiliki sepuluh doktrin fundamental (The Ten Commandments) yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal.

Dalam menjalin hubungan yang harmonis antarumat beragama perlu media atau ruang budaya (cultural-space), misalnya perlunya live in di komunitas berbeda agama (Pesantren-Islam, Gereja-Kristen, Pure-Hindu, Vihara-Buddha, Biara-Katolik, Klenteng-Kong Hu Cu, dan seterusnya). Tempat-tempat di atas merupakan ruang budaya yang dapat mempertemukan antara para pemeluk agama yang berbeda dan dapat menimbulkan perasaan empati di antara mereka.

Di sini para elite agama juga dapat berkumpul dan duduk bersama untuk memecahkan problem-problem kemanusiaan universal. Dialog agama bukan mendialogkan perbedaan-perbedaan doktrin yang ada di setiap agama, namun dialog agama adalah dialog tentang problem kemiskinan, ketimpangan sosial, pengangguran, dan sebagainya.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan dialog agama di masa depan, perlu menjadikan agama sebagai media pemersatu umat. Melalui elite agama dan dialog antarumat beragama diharapkan muncul kesadaran bersama untuk menciptakan persaudaraan sejati berdasarkan spirit kebenaran universal agama. Banyak celah untuk menjalin kerja sama yang baik anatarumat beragama karena ada ajaran bersifat universal yang bisa diimplementasikan dalam kehidupan bersama, yaitu bahwa ''berbuat kebajikan di muka bumi adalah hal yang imperatif dan terpuji". (*)

*) Dr H M. Zainuddin MA, dosen UIN Maliki Malang, pengamat hubu­ngan antaragama
Opini Jawa Pos 30 Januari 2010