Hari lahir Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari merupakan momentum tepat untuk melakukan revitalisasi menyeluruh, terutama dalam rangka menyongsong seabad NU yang akan jatuh pada tahun 2016. Pertama, NU perlu melakukan reformasi orientasi program. Dalam satu dasawarsa terakhir, NU secara kasatmata telah terlibat dalam politik praktis, bukan politik kebangsaan sebagaimana diamanatkan dalam Khitah 1926 dan ditegaskan kembali dalam Muktamar 1984. Fakta itu terlihat dalam pemilihan gubernur di Jawa Timur dan pemilihan presiden yang lalu.
Hal tersebut bukanlah sebab, melainkan akibat dari ketidakmandirian NU sebagai kelompok masyarakat sipil. Seolah-olah ada kaidah yang mengatakan, jika tidak bermain mata dengan kekuasaan, NU akan terpuruk dalam lumpur kegagalan. Oleh karena itu, NU harus terlibat dalam pemihakan kekuasaan layaknya partai politik. Nalar seperti itu hampir menjadi alam bawah sadar sejumlah pihak, terutama para elitenya yang selama ini melakukan manuver-manuver politik. Ironisnya, kandidat yang disokong justru menuai kekalahan, menyebabkan lahir kekecewaan masif di kalangan internal NU.
Reformasi orientasi program menjadi sangat penting, khususnya dalam rangka meletakkan NU sebagai organisasi yang bernuansa kebangsaan dan kerakyatan. Apa yang dipikirkan dan dilakukan elite NU pada hakikatnya harus mengacu pada pembinaan keagamaan dan pemberdayaan kesejahteraan warganya. Misalnya, program pertanian dan kelautanyang selama ini merupakan realitas dari basis warga NUhampir tidak disentuh dengan serius. Akhirnya mereka disentuh kelompok lain yang memang mempunyai kapasitas dan modal untuk melakukan itu.
Begitu pula program permodalan dan koperasi. Bukannya NU tidak punya kapasitas. Kader-kader muda Anshar dan Fatayat NU di Kecamatan Gapura, Sumenep, punya Baitul Mal wat Tamwil yang sangat berhasil dengan omzet miliaran rupiah. Koperasi yang dikelola Muslimat NU di Kecamatan Pragaaan, Sumenep. Sayangnya, mereka tak pernah disapa induknya karena hal-hal semacam ini tak pernah menjadi perhatian elite.
Reformasi orientasi program semacam itu mutlak diperlukan agar NU betul-betul hadir di tengah warganya sehingga mereka tidak tertarik pada godaan kelompok lain yang makin menggerogoti komunitas warga NU. Realitasnya, migrasi warga NU ke kelompok-kelompok lain bukannya isapan jempol. Hal tersebut terjadi di banyak daerah karena elitenya tidak punya agenda program yang memihak kemaslahatan warganya.
Kedua, regenerasi kepemimpinan. Harus diakui, ada capaian-capaian yang patut diapresiasi dari kepemimpinan 10 tahun terakhir, khususnya peran serta NU di kancah global. NU telah memainkan peran menunjukkan dirinya sebagai lokomotif Islam yang ramah untuk seluruh umat manusia (
Melihat besarnya perahu NU yang konon beranggotakan 60 juta orang, para pengurus NU terlihat lamban melakukan terobosan-terobosan pemberdayaan warga. Kecenderungannya mereka hanya menjemput bola, bukan melakukan langkah-langkah kreatif untuk memahami realitas kehidupan warga NU. Apa yang dilakukan umumnya berdasarkan asumsi politik, bukan pada asumsi problem keumatan.
Padahal, NU tak kekurangan kader muda yang berkualitas hampir di berbagai bidang dan sektor kehidupan. Dalam lima tahun terakhir, sebenarnya NU sedang panen magister dan doktor dari Australia, Eropa, Amerika, Pakistan, Mesir, dan beberapa universitas ternama di Tanah Air, yang mempunyai komitmen mengabdi kepada NU.
Hambatannya, mereka tidak mampu melakukan itu karena kepemimpinan yang ada tak punya
Regenerasi kepemimpinan sesuatu yang niscaya, di samping reformasi orientasi program yang benar-benar tulus dalam rangka mengabdi pada kesejahteraan warga NU dan keutuhan bangsa. Keduanya mutlak diperlukan. Muktamar NU pada akhir Maret harus menjadi momentum untuk kembali ke khitah, yaitu sebagai entitas masyarakat sipil yang mengajarkan nilai-nilai kebangsaan, kedamaian, memberdayakan umat, dan penyeimbang efektif bagi negara. Juga dalam rangka membendung arus transnasionalisasi paham keagamaan yang kian mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.
NU sejatinya dapat menggaungkan kembali gagasan KH Achmad Shiddiq perihal perlunya persaudaraan di republik ini. Tak sebatas persaudaraan sesama muslim (
Pemikiran seperti ini sudah mulai langka di republik ini karena semua tidak lagi memikirkan perlunya penyegaran pemikiran keislaman yang berorientasi kebangsaan dan kemanusiaan. Semua pihak berbondong-bondong masuk politik praktis sehingga tak ada tokoh agama yang menjadi inspirator untuk tegaknya nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan.
Apalagi di tengah maraknya puritanisme, ekstremisme, dan terorisme, tak ada lagi tokoh agama yang secara tegas melakukan otokritik sembari mengembangkan pemahaman keislaman bernuansa kebangsaan dan kemanusiaan. Di samping itu, yang terpenting, memastikan gerakan masyarakat sipil seperti NU dapat menjadi salah satu kekuatan yang
NU harus berada pada garda depan guna menghidupkan kembali nalar keagamaan yang berkebangsaan. Pemimpin NU yang akan datang adalah pemimpin yang benar-benar tulus untuk tidak lagi menjerumuskan NU dalam politik praktis dan sepenuhnya memikirkan kebangkitan umat, utamanya kaum miskin.
Opini Kompas 30 Januari 2010