21 Desember 2009

» Home » Media Indonesia » Membangkit Batang Terendam

Membangkit Batang Terendam

Dalam agenda pembangunan nasional tahun 2010-2014, pemerintah menetapkan sebelas prioritas pembangunan, yaitu (1) reformasi birokrasi dan tata kelola; (2) pendidikan; (3) kesehatan; (4) penanggulangan kemiskinan; (5) ketahanan pangan; (6) infrastruktur; (7) iklim investasi dan bisnis; (8) energi; (9) lingkungan hidup dan pengelolaan bencana; (10) daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik; dan (11) kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi.


Salah satu dari sebelas prioritas itu terlihat bahwa titik tekan periode kedua pemerintahan ini adalah mempercepat pembangunan daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik (poin 10). Kategori daerah tertinggal terdepan terluar tidak lain adalah wilayah dan/atau daerah perbatasan.

Wilayah perbatasan Indonesia dengan negara lain terdiri atas wilayah perbatasan darat dan wilayah perbatasan laut. Perbatasan darat Indonesia tersebar di 3 pulau, 4 provinsi, dan 15 kabupaten/kota. Wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini.

Pendekatan kesejahteraan

Wilayah perbatasan di Indonesia pada umumnya merupakan daerah miskin dan tertinggal dengan taraf sosial-ekonomi masyarakat yang rendah akibat keterisolasian, terbatasnya infrastruktur dan fasilitas umum dan rendahnya akses masyarakat mendapatkan informasi. Kondisi ini terjadi akibat salah kelola yang dilakukan oleh Pemerintahan Orde Baru. Secara umum pemerintahan Orde Baru cenderung melihat wilayah perbatasan sebagai wilayah yang berbahaya dengan pendekatan keamanan (security approach) tanpa dibarengi dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach).

Dengan pendekatan yang hanya menekankan pada aspek keamanan itu akhirnya persoalan-persoalan kesejahteraan masyarakat terabaikan, infrastruktur dan akses tertinggal, dan kualitas SDM relatif rendah. Akibatnya terjadi disparitas atau kesenjangan sosial antara daerah-daerah yang terletak di perbatasan dan daerah-daerah di luar wilayah perbatasan. Menurut catatan Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT), di wilayah perbatasan ini terdapat 26 kabupaten, yang terdiri atas 315 kecamatan dan 3.149 desa.

Saat ini pemerintah telah mengubah paradigma dalam melihat wilayah perbatasan. Pemerintah memandang dan peduli bahwa kawasan perbatasan merupakan pintu gerbang utama negara. Kawasan perbatasan merupakan 'beranda depan' teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan bukan lagi sebagai 'halaman belakang' yang kurang diperhatikan. Sebagai beranda depan, kondisinya harus bagus dan masyarakatnya harus maju dan sejahtera. Dalam konteks itu, pendekatan yang dilakukan adalah memadukan antara pendekatan keamanan (security approach) dan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach).

Skala prioritas

Dalam konteks untuk mengentaskan ketertinggalan daerah-daerah di wilayah perbatasan tersebut dan sesuai dengan skala prioritas agenda pembangunan nasional tahun 2010-2014, KPDT salah satu lokus pengentasan daerah tertinggal adalah menggarap dan melakukan akselerasi pengentasan daerah-daerah tertinggal di kawasan perbatasan agar tidak tertinggal dengan daerah-daerah kawasan lainnya. Ini perlu segera dilakukan mengingat bukan hanya daerah-daerah tertinggal di kawasan perbatasan ini miskin dan terbelakang secara sosial ekonomi sehingga terjadi disparitas, tetapi juga dalam konteks politik dan keamanan terkait dengan masalah nasionalisme dan keutuhan NKRI.

Sehubungan dengan itu, usaha-usaha yang dilakukan oleh KPDT dalam pengentasan daerah-daerah tertinggal di wilayah perbatasan adalah (1) pengembangan ekonomi lokal, melalui pengembangan kawasan produksi, pembangunan infrastruktur perdesaan, serta pengembangan pusat pertumbuhan ekonomi daerah, berdasar potensi unggulan dari wilayah/desa; (2) penyediaan dana bantuan khusus dalam pelayanan sarana sosial dasar, pengembangan prasarana, dan pelayanan perintis; (3) penyediaan pelayanan lintas batas, pengawasan perdagangan antarnegara, dan penguatan sistem pengamanan teritorial batas negara; dan (4) penggalangan kerja sama kemitraan dengan dunia usaha dan perbankan dalam peningkatan kegiatan investasi.

Dari 26 kabupaten yang menjadi wilayah perbatasan, pada beberapa kabupaten menunjukkan adanya potensi yang dapat segera dikembangkan guna mengejar ketertinggalan dengan negara tetangga. Wilayah-wilayah yang memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar terutama dari sektor perkebunan, pertanian, pertambangan, perikanan (darat dan laut) dan kehutanan, di samping juga potensi besar bagi pengembangan sektor perdagangan lintas batas.

Dengan serangkaian kebijakan-kebijakan dan implementasinya yang dilakukan oleh KPDT ini mudah-mudahan dapat, mengutip pepatah Melayu, membangkit batang terendam, yang secara harfiah artinya mengadakan semula apa yang sudah lama tiada. Mengapa demikian? Sebab, di balik kemiskinan dan ketertinggalan yang terjadi di daerah-daerah kawasan perbatasan (dan juga daerah-daerah tertinggal lainnya) sesungguhnya di daerah-daerah tersebut mempunyai banyak sekali potensi yang bila digali dan difasilitasi dapat menjadi sumber kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Namun akibat kebijakan yang salah kelola sebelumnya, seperti telah dikemukakan, sepertinya tidak ada. Dalam konteks itu maka apa yang dilakukan oleh KPDT mencoba 'membangkit batang' tersebut agar tidak terus-menerus 'terendam'.

Tentu saja dalam upaya 'membangkit batang terendam' tersebut perlu ada dukungan dan kerja sama semua pihak. Dukungan dari instansi terkait, seperti Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan, dan Kementerian UKM dan Koperasi, kalangan perbankan dan dunia swasta serta kalangan perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) merupakan kunci bagi sukses untuk 'mengangkat batang terendam' tersebut. Semoga!

Oleh A Helmy Faishal Zaini Menteri Negara Pembagunan Daerah Tertinggal
Opini Media Indonesia 22 Desember 2009