21 Desember 2009

» Home » Tempo Interaktif » Proyek Carbon Offset dan Ketidakadilan Iklim

Proyek Carbon Offset dan Ketidakadilan Iklim

Pada Desember 2009 ini, pertemuan internasional soal isu perubahan iklim kembali digelar di Kopenhagen, Denmark. Para delegasi dari berbagai negara kembali berkumpul untuk membicarakan masa depan bumi ini. Indonesia, sebagai salah satu negara yang rentan terkena dampak perubahan iklim, tak ketinggalan datang ke pertemuan itu.

Salah satu dampak buruk perubahan iklim adalah meningkatnya potensi banjir di Tanah Air. Pada Januari 2009, misalnya, parade banjir terjadi hampir di seluruh Indonesia. Pada bulan itu banjir terjadi di Bekasi, Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Bahkan banjir disertai tanah longsor juga terjadi di Karawang, Jawa Barat.

Selain disebabkan oleh rusaknya lingkungan hidup di kawasan tersebut, meningkatnya potensi bencana banjir dan tanah longsor adalah akibat makin tingginya intensitas hujan. Hal itu merupakan salah satu pertanda bahwa bencana ekologi global yang bernama perubahan iklim telah terjadi di depan mata.

Banyaknya bencana itu mengharuskan masyarakat beradaptasi dengan perubahan iklim. Pemerintah pun memiliki kewajiban untuk memberikan dukungan politik dan pendanaan kepada masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan iklim.

Alih-alih membuat program adaptasi, pemerintah justru lebih memilih berfokus pada kegiatan mitigasi (pengurangan) emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab perubahan iklim. Padahal, sejatinya, sebagai negara berkembang, Indonesia belum memiliki kewajiban untuk mengurangi GRK. Negara-negara maju sebagai penyebab perubahan iklimlah yang seharusnya lebih bertanggung jawab menurunkan emisi GRK di dalam negerinya masing-masing.

Dipinggirkannya kegiatan adaptasi terhadap perubahan iklim itu tak lepas dari pergerakan modal yang lebih berpihak kepada kegiatan mitigasi. Direktur Lingkungan Hidup Bappenas Dr Ir Edi Effendi Tedjakusuma, MA, dalam sebuah sarasehan tentang perubahan iklim di Jakarta pada November 2009, mengatakan kegiatan mitigasi lebih banyak mendapat dukungan dana, baik berupa hibah maupun utang, dari negara dan lembaga bisnis bantuan internasional dibandingkan dengan kegiatan adaptasi.

Dari pernyataan Direktur Lingkungan Hidup Bappenas itu jelas terlihat bahwa besar-kecilnya dukungan dana dari luar negeri ikut mempengaruhi fokus kegiatan pemerintah dalam menangani isu perubahan iklim di dalam negeri. Lantas, mengapa negara-negara maju dan lembaga bisnis bantuan internasional lebih suka mengucurkan dananya untuk kegiatan mitigasi ketimbang adaptasi di Indonesia?

Hal itu ternyata terkait erat dengan proyek carbon offset atau tukar guling emisi karbon, yang memang diperbolehkan dalam kesepakatan internasional mengenai perubahan iklim. Carbon offset adalah salah satu mekanisme untuk membantu negara-negara maju memenuhi kewajibannya mengurangi GRK.
Dengan mekanisme carbon offset, negara maju dapat mengurangi GRK di luar negaranya. Hal itu dilakukan karena biaya untuk mengurangi GRK di negaranya dinilai jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan mengurangi GRK di luar negaranya.

Di Indonesia, 26,6 juta hektare lahan pun telah direncanakan akan diperdagangkan dalam proyek carbon offset. Uang yang beredar dalam proyek ini diperkirakan mencapai Rp 63 triliun. Melihat banyaknya uang yang beredar dalam proyek carbon offset itu, tak mengherankan bila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ingin Indonesia menjadi pemimpin dalam hal penurunan emisi GRK ini. Bahkan SBY mematok target ikut menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen pada 2020.

Target Indonesia dalam penurunan emisi GRK sebesar itu pun mendapat pujian dari negara-negara maju. Pujian itu antara lain datang dari Perdana Menteri Inggris Gordon Brown. Menurut Brown, target yang ditetapkan pemerintah Indonesia tergolong berani, di saat negara lain masih berwacana dan menjaga jarak. Tuluskah pujian Brown? Pujian itu sejatinya lebih karena Indonesia membuka diri untuk proyek carbon offset guna membantu negara-negara maju menurunkan emisi GRK.

Celakanya, pesta-pora proyek mitigasi GRK melalui skema carbon offset itu tidak berkaitan sama sekali dengan kehidupan masyarakat bawah yang semakin rentan terkena dampak perubahan iklim. Bahkan proyek carbon offset, khususnya di sektor kehutanan, justru berpotensi mengusir petani dan penduduk di sekitar hutan yang telah sekian lama memanfaatkan hasil sumber daya hutan secara lestari.

Di Ulu Masen, Nanggroe Aceh Darussalam, misalnya, sekitar 750 ribu hektare tanah rakyat sudah tidak boleh ditinggali dan digarap lagi. Di Muara Jambi, para petani harus berjuang melindungi tanah pertanian mereka seluas 101 ribu hektare tanah yang diklaim menjadi kawasan konservasi dalam proyek carbon offset.

Maraknya proyek carbon offset dan minimnya program adaptasi di negeri ini memang bertentangan dengan rasa keadilan. Bagaimana tidak, masyarakat dibiarkan sendirian dalam beradaptasi dengan perubahan iklim, bahkan sebagian di antara mereka diusir dari tanah garapannya. Sedangkan para petinggi di negeri ini justru asyik berpesta dengan proyek carbon offset untuk membantu negara-negara maju dalam menurunkan emisinya.

Bukan merupakan dosa besar jika pemerintah Indonesia ingin membantu negara maju menurunkan emisi karbon seraya berebut uang dalam berbagai proyek perubahan iklim. Namun, menjadi sebuah dosa besar jika kegiatan membantu negara maju dan berebut uang tersebut membuat pemerintah melupakan kewajibannya membantu warganya untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim.

Negara-negara berkembang adalah korban perubahan iklim yang dipicu oleh keserakahan negara-negara maju dalam mengkonsumsi energi fosil. Adalah sebuah ketidakadilan yang diperlihatkan secara telanjang bila negara-negara berkembang dibiarkan dengan kemampuan pendanaan terbatas untuk beradaptasi, sementara di sisi lain mereka dibujuk dengan proyek-proyek carbon offset untuk ikut membantu negara-negara maju menurunkan emisi karbon. *Firdaus Cahyadi, Knowledge Sharing Officer for Sustainable Development, OneWorld-Indonesia

Opini Tempo Interaktif 16 Desember 2009