21 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » RPP Penyadapan dan HAM

RPP Penyadapan dan HAM

KEHADIRAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menumbuhkan secercah harapan dan kepercayaan masyarakat, yang semula pesimistis terhadap pemberantasan korupsi.

Keberhasilan komisi itu antara lain karena SDM-nya memiliki integritas moral yang baik, dan adanya kewenangan yang lebih, antara lain kewenangan menyadap untuk memperoleh informasi dari pihak terkait.


Keberhasilan KPK dalam mengungkap kasus sebagian besar  ditopang dari hasil penyadapan. Penyadapan pada dasarnya merupakan salah satu teknik audit  untuk mendapatkan informasi dalam upaya mengungkap kasus ataupun sebagai dasar menetapkan langkah audit/ penyelidikan selanjutnya.

Rekaman hasil penyadapan tidak serta merta dapat menjadi alat bukti hukum, namun informasi pada rekaman hasil penyadapan terbukti sangat efektif untuk dapat memperoleh alat bukti menurut KUHAP sehingga mampu mengungkap terjadinya tindak pidana korupsi. Misalnya pada kasus penyuapan yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalita Suryani, terkait kasus suap BLBI.

Hasil penyadapan, baru mempunyai nilai atau manfaat jika memenuhi dua syarat. Pertama, informasi yang diperoleh  harus alami (natural evidence). Kedua, substansi dari informasi tersebut relevan dengan kasus yang sedang atau akan ditangani.

Informasi bersifat alami adalah pada saat dilakukan penyadapan, pihak yang disadap benar-benar tidak tahu kalau pembicaraannya disadap. Sebagai contoh, dalam rekaman hasil penyadapan KPK yang diungkap di Mahkamah Konstitusi (MK), antara lain ada pembicaraan antara Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) I Ketut Sudiarsa dengan Anggodo Widjojo. Waktu itu Ketut antara lain berkata, ”Wah jangan-jangan pembicaraan kita ini disadap”, dan Anggodo menjawab bahwa nomor HP nya telah diganti dengan nomor baru.

Andaikata mereka tahu pembicaraannya disadap, kemungkinannya tidak akan ada rekaman tersebut. Kemungkinan lain mereka mungkin sengaja membuat skenario pembicaraan yang arahnya menyesatkan.

Syarat untuk dapat memperoleh informasi yang alami adalah bahwa penyadapan harus independen, terjamin kerahasiaannya. Independensi yang dimaksud adalah auditor atau penyelidik KPK harus bebas dari intervensi pihak lain.

Dalam audit investigafif, auditor dengan intuisi atau nalurinya, seharusnya diberikan kebebasan menetapkan siapa yang harus disadap dan kapan penyadapan dilakukan. Hal inilah yang mungkin bagi pihak-pihak tertentu dianggap sebagai pelanggaran HAM.

Walaupun diberikan kebebasan dalam melakukan penyadapan, risiko kegagalan tetap ada. Perolehan informasi yang bersifat alami tersebut, bila substansinya berkaitan dengan kasus yang akan/ sedang ditangani, akan sangat berguna untuk proses penyelidikan atau penyidikan selanjutnya.

Sebaliknya, kalau substansinya tidak relevan dengan kasus yang akan atau sedang ditangani, maka hasil sadapan tersebut tidak bermanfaat. Rekaman hasil penyadapan yang gagal, tetap disimpan dalam file dan tidak akan muncul ke permukaan.   

Dengan alasan untuk penertiban dan perlindungan HAM, pemerintah melalui Menkominfo menyatakan perlunya regulasi terkait penyadapan yang akan diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Rancangan itu mendapat reaksi keras, utamanya dari KPK dan ICW, termasuk masyarakat yang peduli terhadap pemberantasan korupsi. Penentangan itu khususnya terkait dengan ketentuan adanya keharusan  ”meminta izin” lebih dulu kepada Pengadilan Negeri dan ”penyadapan dilakukan dalam tahap penyidikan”.

Di Indonesia, keharusan meminta izin tersebut bisa membuka peluang bocornya rencana penyadapan sehingga KPK tidak dapat memperoleh informasi yang natural. Hal itu juga  menguntungkan mafia hukum karena kejahatannya sulit diungkap.

Demikian pula terhadap penyadapan yang baru boleh dilakukan pada tahap penyidikan, akan menyulitkan KPK untuk memperoleh hasil penyadapan yang diharapkan. Seharusnya penyadapan sangat berguna kalau dilakukan  sejak dini, dalam hal ini adalah tahap penyelidikan.

Bertentangan

Ketentuan tersebut cenderung bertentangan dengan UU KPK yang juga mengatur kewenangan penyadapan yang dilakukan KPK, yakni penyadapan dilakukan sejak tahap penyelidikan. Kalau ketentuan yang baru nanti diberlakukan, sudah barang tentu sangat melemahkan KPK karena kalau penyadapan dilakukan pada tahap penyelidikan, dianggap ilegal. Padahal bukti yang diperoleh secara ilegal, tidak dapat diterima menurut hukum.

Dengan demikian, materi dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Penyadapan merupakan langkah mundur dan dapat menimbulkan kecurigaan atau setidaknya menimbulkan pertanyaan ada apa di balik rancangan regulasi tersebut.

Sangat disayangkan bahwa penyadapan telah terbukti efektif mendukung keberhasilan KPK dalam memperoleh informasi yang mengarah kepada perolehan alat bukti, diintervensi dengan alasan melangar  HAM.

Pemerintah melalui Menkominfo seharusnya tidak perlu membuang energi dengan menyusun RPP yang substansinya justru dapat menghambat atau memandulkan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi. Ironis, di satu sisi pemerintahan SBY telah mengumandangkan slogan basmi mafia hukum, tetapi di sisi lain ada pelemahan terhadap KPK melalui regulasi baru yang berkaitan dengan penyadapan.

Kabinet Indonesia Bersatu II diharapkan berani membuat terobosan-terobosan baru dalam membenahi peraturan perundangan, untuk mendukung  KPK dan institusi penegak hukum lainnya dalam upaya memberantas korupsi.
Sekarang saat yang tepat bagi pemerintah dan wakil rakyat di DPR untuk membuktikan slogan ganyang mafia hukum menjadi kenyataan.

Pemerintah harus jeli terhadap upaya-upaya pelemahan produk hukum melalui isu pelanggaran HAM. Sebagai contoh,  saat penyusunan draft UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, ada wacana untuk memasukkan asas pembuktian terbalik, namun sebagian pakar hukum pidana waktu itu justru tidak setuju dengan alasan melanggar HAM.  Memang benar, ada kalanya HAM dijadikan alasan pembenaran (rationalization) untuk tujuan lain yang tersembunyi.

Kepada KPK diharapkan untuk terus mengembangkan teknik dan strategi dalam upayanya memperoleh alat bukti hukum. Kalau selama ini  teknik penyadapan dianggap efektif membongkar kasus korupsi, mungkin ke depan perlu diperbaiki lagi karena calon koruptor juga akan memperbarui strategi dalam melakukan permufakatan jahatnya agar tidak terdeteksi oleh penyadapan yang dilakukan KPK. (10)

— Mentis Harjanto, auditor di BPKP tahun 1970-1998, instruktur di Yayasan Pendidikan Internal Audit di Jakarta, untuk mata ajaran fraud auditing (audit investigatif)
Wacana Suara Merdeka 22 Desember 2009