Oleh Entang Sastraatmadja
Ibarat pekerjaan rutin, setiap menjelang akhir tahun pemerintah selalu mengumumkan kenaikan harga gabah dan beras. Dalam beberapa tahun belakangan ini kita tidak mengenal lagi yang disebut dengan harga dasar (floor price) atau harga atap (ceilling price), tetapi yang digunakan pemerintah adalah harga pembelian pemerintah atau HPP. Perubahan dari harga dasar dan harga atap menjadi HPP masih sering diperdebatkan. Bukan saja ada sekelompok orang yang menginginkan agar Bulog kembali ke khitahnya menjadi lembaga pemerintah nondepartemen, tetapi kalau kita amati perkembangan dan perjalanan Perum Bulog sendiri, ternyata perannya sebagai public service obligation lebih mengemuka ketimbang peran bisnis atau komersialnya.
Menjelang tutup tahun 2009 dan bersiap-siap untuk menyambut 2010, kembali pemerintah mengumumkan kenaikan HPP untuk gabah kering panen sebesar 10 persen. Pemerintah tampak sangat optimistis dengan kenaikan harga gabah ini. Berdasar kajian yang dilakukan, kenaikan harga gabah ini dapat meningkatkan pendapatan petani padi Rp 1 juta per hektare dalam satu kali musim tanam. Sementara untuk kenaikan HPP gabah kering giling dan beras, biasanya akan menyesuaikan dengan kenaikan HPP GKP. Andaikan kita perhatikan Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2008 tentang Kebijakan Perberasan, di sana tertulis, HPP GKP adalah Rp 2.400,00 per kilogram. Dengan adanya pengumuman pemerintah, HPP GKP bakal naik 10 persen, dapat kita hitung HPP GKP untuk 2010 adalah Rp 2.640,00 per kilogram. Untuk gabah kering giling (GKG) dan harga beras belum ditetapkan walau pemerintah sudah melakukan perhitungan-perhitungan cerdasnya.
Bicara soal potret petani padi di negeri ini, dalam beberapa dasawarsa terakhir, memang menunjukkan perubahan yang sangat signifikan. Dari sisi kepemilikan lahan sawah misalnya, ternyata yang namanya "petani gurem" (petani yang memiliki lahan sawah rata-rata 0,25 hektare) memperlihatkan peningkatan yang berarti. Sensus pertanian terakhir menggambarkan jumlah petani gurem ini makin meningkat, dari sekitar 10,8 juta kepala keluarga menjadi 13,7 juta kepala keluarga.
Fakta semakin melemahnya "kedaulatan" petani atas lahan sawah yang digarapnya memang telah diprediksikan sejak lama. Bukan saja hal ini terjadi karena terkait dengan "budaya waris" yang menyebabkan keluarga tani menjadi semakin terbatas kepemilikan lahan sawahnya, tetapi di sisi lain, kita juga tidak dapat berbuat banyak jika ada di antara petani yang mengalihfungsikan lahan sawahnya guna keperluan tertentu. Yang pasti dengan lahirnya UU No. 14 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, kita berharap agar proses alih fungsi lahan pertanian dapat dikendalikan secara lebih terukur lagi.
Hal lain yang tak kalah pentingnya untuk dijadikan percik permenungan adalah belum jelasnya "sinergitas kelembagaan perberasan". Contohnya adalah soal kebijakan HPP. Dalam beberapa tahun terakhir ini banyak kalangan yang menilai kebijakan HPP ini masih belum realistis. Kesannya HPP terlampau hati-hati dalam melakukan pembelian dan perlindungan terhadap petani. Padahal, petani padi betul-betul mendambakan kebijakan yang dijiwai semangat untuk mengangkat harkat dan martabat mereka ke kehidupan yang lebih baik.
Keberadaan dan kehadiran lembaga parastatal pangan (regulator pangan) seperti Perum Bulog dan LUEP (Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan), pada hakikatnya dimaksudkan untuk melindungi dan membela petani jika dalam panen raya produksi yang dihasilkan melimpah ruah. Yang perlu digugat adalah apakah lembaga parastatal pangan ini sungguh-sungguh mengejawantahkan semangat tersebut? Atau masih belum, mengingat adanya berbagai kendala dan keterbatasan ukuran dalam melakukan kiprahnya di lapangan? Lalu, bagaimana pula dengan keberadaan para pedagang atau pengusaha gabah maupun beras yang cenderung memiliki keeratan hubungan emosional dengan petani padi di perdesaan?
Sejatinya, Perum Bulog, LUEP, dan pedagang beras perlu melakukan "kontrak kesetiaan" terhadap nasib dan kehidupan petani padi. Secara kelembagaan, hal yang demikian benar-benar dibutuhkan agar dalam operasional di lapangan tidak terjelma fenomena hedonism. Kita tidak ingin melihat yang kuat "memakan" yang lemah. Akan tetapi kita ingin menyaksikan yang besar dapat "bermesraan" dengan yang kecil.
Lebih tegasnya lagi, kita wajib mengumandangkan jargon "saling mencintai" antara kelembagaan parastatal pangan ini dan kaum tani. Oleh karena itu, gerakan untuk melakukan kemitraan antara Perum Bulog dan petani, LUEP dan petani, maupun antara pedagang beras dan petani; sudah sepatutnya kita dukung dengan sepenuh hati. Justru yang penting untuk dipikirkan adalah bagaimana kita melakukan perbaikan dan penyempurnaan gagasan semacam ini ke arah yang lebih baik agar dalam operasionalnya tidak ternoda oleh perilaku-perilaku yang tidak terpuji. Lebih jauh dari itu, kita berkewajiban untuk terus mengembangkan "sinergitas" sehingga nantinya terbangun jejaring yang lebih utuh dan unggul di antara petani dan kelembagaan parastatal yang ada di perdesaan.
Di balik kenaikan harga gabah dan beras, acapkali mengundang berbagai masalah baru. Selain hal-hal yang telah dikemukakan tadi, kita juga sering mendengar betapa sedihnya para petani padi ketika musim tanam tiba ternyata petani sering kesulitan memperoleh pupuk. Dilema semacam ini juga patut kita cermati. Apalagi pada 2010 nanti pemerintah berencana menaikkan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi. Mudah-mudahan segudang problema yang menyelimuti kehidupan para petani padi akan segera terselesaikan, sehingga petani akan merasa bangga dengan profesinya sebagai petani. Bangga menjadi petani adalah semangat yang harus kita tanam dalam sanubari anak-anak muda sebagai generasi penerus kaum tani di tanah merdeka.***
Penulis, Ketua Harian HKTI Jawa Barat.
Opini Pikiran Rakyat 22 Desember 2009