21 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Pengerdilan Makna Hari Ibu

Pengerdilan Makna Hari Ibu

HARI Ibu di Indonesia diperingati pada 22 Desember. Mother’s Day di Amerika Serikat dan Kanada diperingati pada minggu kedua Mei. Adapun Mother’s Day di Eropa diperingati pada Maret. Mengapa berbeda-beda? Karena sejarah kelahirannya tidak sama.

Di Amerika atau di Eropa ia lebih berfungsi untuk mengekspresikan penghargaan terhadap peran ibu di ranah domestik seperti memuji keibuan para ibu. Di Eropa ia terpengaruh oleh pemujaan Dewi Rhea, istri Dewa Kronus dan ibu para dewa di Yunani, sedangkan di Amerika diilhami oleh Julia Ward, aktivis sosial yang mencanangkan pentingnya perempuan bersatu untuk melawan perang saudara. Tetapi dalam perjalanan Mother’s Day juga diperingati untuk mengekspresikan peran ibu di ranah domestik.


Makna Hari Ibu di Indonesia sangat berbeda dari Mother’s Day di Barat. Mother’ Day mengokohkan posisi perempuan sebagai makhluk domestik (mengasuh, memelihara, dan mencintai anak dan suami), sebaliknya Hari Ibu di Indonesia mengokohkan posisi perempuan di ranah publik bersama-sama dengan laki-laki.

Hari Ibu lahir pada 1928 dalam Kongres Perempuan 22-25 Desember yang dihadiri 30 organisasi perempuan seluruh Indonesia, bertujuan memperkuat perjuangan dan eksistensi perempuan di ranah publik. Perjuangan itu ditempuh dengan mempersatukan seluruh organisasi perempuan di Indonesia (yang sudah ada sejak 1912 yang diilhami oleh perjuangan perempuan abad ke-19 seperti Christina Tiahahu, Cut Nya’ Dhien, Kartini dan lain-lain).

Agenda utamanya: penentangan terhadap perkawinan anak, kawin paksa bagi anak perempuan, tuntutan syarat-syarat perceraian yang tidak merugikan istri, beasiswa dan sekolah untuk anak perempuan. Kongres juga bertekad mempersatukan organisasi perempuan dengan komitmen menyelenggarakan kongres setiap tahun. Agenda itu masih relevan sampai saat ini.

Pasang Surut

Perjuangan perempuan memang mengalami pasang surut tergantung dari kebijakan penguasa terhadap perempuan. Pada saat Orde Baru ketika roh perjuangan ini terpecah-pecah karena ikut campurnya pemerintah dalam pembentukan organisasi perempuan seperti organisasi untuk istri-istri pegawai negri (Dharma Wanita), organisasi istri-istri ABRI (Dharma Pertiwi) dan PKK.

Organisasi-organisasi ini menjadi tangan panjang pemerintah di bidang sosial kemasyarakatan, politik, dan ekonomi. Kebijakan yang sangat merugikan perempuan adalah KB yang yang merupakan pengendalian penduduk dan bukan pengendalian kelahiran.

Artinya kalau pengendalian kelahiran adalah hak pribadi atau pasangan dalam mengendalikan anak (waktu, jarak, dan jumlah), sedangkan pengendalian penduduk merujuk pada tindakan aparatus negara untuk menjadikan pengendalian kelahiran di bawah kekuasaannya. Karena merupakan pengendalian penduduk maka harus ada target jumlah akseptor KB.

Dari sinilah penderitaan para aseptor dimulai. Pasangan usia subur (PUS) 20-29 tahun, jumlah anak tidak boleh lebih dari dua. Pasangan usia lebih 30 tahun tidak boleh menambah anak, remaja menunda perkawinan, anak pertama lahir harus sudah berumur  20 tahun. Aturan ini diterapkan di pedesaan dengan ketat dan menjadi tanggung jawab tenaga kesehatan puskesmas.

Yang terjadi kemudian ada tekan-menekan antara Dinas Kesehatan dan dokter puskesmas untuk mencapai target. Akhirnya yang menjadi korban adalah pasangan usia subur sebagai akseptor. Mereka tidak diharuskan tetapi karena yang safari adalah ibu-ibu pembina dari pusat ataupun daerah (Dharma Wanita, PKK, Dharma Pertiwi) biasanya juga para pejabat daerah ‘’membujuk’’ jadi akseptor dan ada kecenderungan memaksa maka para perempuan desa mengiakan.

Sayang tidak dibarengi dengan perbaikan taraf hidup dan jaminan kesehatan yang memadai. Organisasi perempuan mengkritik; (1) ketidakberdayaan perempuan dihubungkan dengan masalah pertumbuhan penduduk, (2) sebetulnya kalau posisi perempuan diperbaiki dan dominasi laki-laki dikurangi fertilitas akan menurun secara otomatis, (3) BKKBN hanya berkepentingan menekan angka kependudukan dan kurang perhatian terhadap peningkatan kualitas perempuan KB.

Angka Kematian Ibu (AKI) Indonesia 307 per 100.000. Ini menduduki peringkat pertama tertinggi di Asia. Keberhasilan KB selama Orde Baru mendapat pujian pakar asing secara Internasional karena dalam waktu relatif cepat dapat menurunkan fertilitas penduduk. Yang diharapkan pakar asing dengan penurunan jumlah penduduk adalah kualitas hidup rakyat meningkat, angka kematian ibu menurun, dan dapat mencegah dampak negatif terhadap pelestarian lingkungan hidup, kemiskinan dan keadaan buruk lain.

Kenyataan keberhasilan KB tidak signifikan dengan harapan  pakar asing terutama juga tidak menurunkan AKI. Demikian juga pada saat Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi sebelum tahun 1998, seharusnya AKI menurun seperti yang terjadi di Vietnam.

Apa sebetulnya yang menjadi masalah utama? Ternyata kuncinya adalah komitmen pemerintah. Pemerintah tidak serius dalam meningkatkan kualitas hidup separo warganegaranya. Di samping itu juga tidak tersedianya data yang memadai mengenai pelanggaran hak reproduksi perempuan antara lain seperti data tentang berapa orang perempuan yang dipaksa nikah dini, dipaksa kehamilan tidak diinginkan (KTD), hubungan seks paksa, banyaknya aborsi gelap dan lain-lain.

Masih banyak masalah yang dihadapi perempuan di ranah publik seperti perempuan yang tersingkir dan menjadi korban arogansi yang berkuasa dan tanpa perlindungan hukum seperti kasus Prita Mulyasari, kasus Pujiono, TKW, korban trafficking, korban kekerasan, angka kematian ibu yang masih tinggi, kondisi buruh perempuan yang tetap mengalami diskriminasi di ranah publik dan lain-lain. Karena berdasarkan kajian Feminis Kritis (Dragan) mengatakan bahwa hukum menunjukkan sejumlah keterbatasan atau keterikatan pada realitas nilai-nilai sosial.

Keterbatasan-keterbatasan tersebut adalah, pertama dalam kenyataan rumusan hukum adalah phallocentric (dominasi laki-laki); begitu juga kalau sampai di pengadilan mengalami hambatan dan tidak bergaung. Kedua, keterbatasan yang berkaitan dengan proses kerja dalam struktur hukum menjadi masalah bagi feminis dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Ketiga, batasan yang berkaitan dengan batasan pengadilan yang mengfokuskan pada yang rasional dan logis saja.

Karena itu jangan sampai peringatan Hari Ibu dibelokkan seperti Mother’s Day misalnya memberi libur ibu tidak mengerjakan pekerjaan rumah selama satu hari, memberi bunga untuk mengekspresikan cinta kasih kepada ibu dan lain-lain yang seharusnya sudah dilakukan setiap hari, tetapi memantapkan kembali perjuangan untuk perempuan yang tersingkir dan menjadi korban arogansi dan kebijakan berkuasa. Jangan sampai terjadi pengerdilan makna Hari Ibu. (10)

—Prof Dr Agnes Widanti, Koordinator Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA ) Jateng
Wacana Suara Merdeka 22 Desember 2009