21 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Mewaspadai Ekspansi Tembakau

Mewaspadai Ekspansi Tembakau

JATENG merupakan provinsi penghasil tembakau terbesar ke-2 di Indonesia, setelah Jawa Timur. Mengingat luas areal tanam dan produksi setiap tahunnya maka peranannya cukup penting dalam industri hasil pengolahan tembakau di Indonesia.

Sebutan tembakau rakyat (Nicotiana tabacum Linn) ini merupakan salah satu tanaman semusim yang mempunyai kaitan erat dengan perkembangan industri rokok di Indonesia. Hasil produksi tembakau rakyat merupakan bahan baku industri rokok kretek dan rokok putih (sigaret).


Dari industri rokok inilah tembakau memberikan sumbangan yang besar bagi devisa negara. Sumbangan untuk devisa dari ekspor rokok dan tembakau (terutama cerutu) dari tahun 2000-2004 rata-rata 209,38 juta dolar AS (Direktorat Cukai, 2005).

Besarnya sumbangan devisa ini menjadikan tanaman tembakau sebagai salah satu tanaman budi daya yang relatif cukup penting dan menjadi andalan saat ini. Namun dalam perkembangannya produksi tembakau belum memenuhi kebutuhan tembakau dalam negeri untuk bahan baku rokok nasional ataupun pasar ekspor.

Oleh sebab itu banyak wilayah penghasil tembakau di Jawa Tengah melakukan ekspansi dengan memperluas areal produksi termasuk di Temanggung. Bertambahnya luas areal   tidak hanya membawa dampak positif, tetapi juga menimbulkan dampak negatif terkait lingkungan.

Mayoritas masyarakat Temanggung mengandalkan budi daya tanaman tembakau, dengan luas lahan pada tahun 2007  13.039,9 ha, produksi 8.019,44 ton, produktivitas 457 kg/ha dengan 40.992 petani. Lahan yang potensial ditanami mencapai 21.000 ha.

Dalam perkembangannya, petani memanfaatkan lahan yang memiliki tingkat risiko cukup tinggi bagi kelestarian lingkungan.

Mereka memperluas areal tanam dari lereng sampai puncak Gunung Sumbing dan Sindoro, yang oleh sebagian kalangan disebut Susi. Upaya itu berdampak kepada perubahan tata guna lahan.

Petani bahkan memanfaatkan tanah yang mendekati puncak, yang memiliki kemiringan sampai 40 derajat. Ekspansi itu mengakibatkan kritisnya 14 ribu ha di wilayah Gunung Susi.

Perubahan tata guna lahan terjadi akibat perubahan jenis tananam yang tadinya berjenis tanaman keras sebagai penyangga tanah di lereng dan puncak gunung berubah menjadi tanaman tembakau.

Padahal tembakau merupakan tanaman semusim yang bisa mengubah kondisi struktur tanah.
Perubahan terjadi karena jenis akar tanaman tembakau berbeda dari tanaman berkayu yang berakar kuat.

Apabila pola tanam tidak menggunakan cara-cara yang ramah lingkungan dan memperhatikan konservasi lingkungan, maka bisa menyebabkan terjadinya pengikisan struktur tanah atau erosi tanah.

Menurut Bupati Temanggung Hasyim Afandi, tingkat erosi di kawasan Susi setiap tahun telah mencapai 60 ton/ha. Jumlah tersebut telah melampaui ambang batas dan membahayakan lingkungan.

Bahkan menurut penelitian mahasiswa pascasarjana UGM, kalau tidak ada upaya apapun untuk melakukan konservasi lahan, kawasan Susi akan tandus seperti pegunungan di Gunungkidul.

Kenyataannya petani tembakau di Temanggung umumnya masih menggunakan pola tanam yang tidak sinergis dengan lingkungan.

Sehingga saat tanaman tembakau dipanen, struktur atau permukaan tanah sangat rawan terhadap terjadinya erosi. Hal ini disebabkan tidak adanya tanaman yang dijadikan sebagai penyangga atau penahan dan pola tanam yang tidak memperhatikan konservasi lingkungan.

Upaya konservasi di Temanggung sebenarnya telah lama dilakukan tetapi belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Belum berhasilnya upaya itu antara lain karena desakan kebutuhan ekonomi menjadikan warga  merusak tanaman konservasi.

Sebelumnya pernah dikembangkan tanaman resede (gliricidia) tetapi karena tuntutan kebutuhan, daunnya dipangkas untuk pakan ternak dan batang pohonnya dijual sebagai kayu bakar.

Masih rendahnya pemahaman petani terhadap konservasi lingkungan menyebabkan semakin jauhnya pola tanam tembakau yang sinergis dengan kelestarian lingkungan.

Umumnya petani tidak memahami secara teknis opersional tentang pentingnya pemulihan lingkungan pascapanen dan pola tanam yang mengarah pada kegiatan yang berwawasan lingkungan. Pemahaman petani masih turun-temurun dari orang tuanya dulu. (10)

— RM Bagus Irawan ST MS IPP, pemerhati lingkungan dan dosen FT Unimus]
Wacna Suara Merdeka 22 Desember 2009