01 Maret 2010

» Home » Solo Pos » Menonton Century, menonton sepak bola…

Menonton Century, menonton sepak bola…

Lupakan kecamuk skandal Bank Century yang tengah heboh. Situasinya belum terang benderang dan pusaran politiknya entah mengarah ke mana. Mari sejenak kita lihat, betapa politik sebenarnya mirip-mirip sepakbola. Jadi anggap saja kasus Bank Century seperti kita nonton Liga Champions.

Bagi kawan yang tim favoritnya menang boleh tepuk tangan, sebaliknya, bagi yang timnya kalah boleh sedih. Tapi tak perlu diambil hati, jangan lama-lama sedih atau senang, segera lupakan karena itu sekadar permainan. Just for fun.



Rumus kedua hal ini, politik dan sepakbola, sebenarnya sama: tak ada lawan atau kawan abadi, yang ada adalah kepentingan. Dalam sepakbola, kepentingan mewujud dalam bentuk gelar juara, trofi, gelar pribadi, popularitas dan kekayaan yang melimpah. Dalam politik, kepentingan itu bernama kekuasaan, kursi kebesaran, jabatan baik eksekutif maupun legislatif, lengkap dengan gaji selangit dan hak istimewa baik tertulis maupun tidak tertulis.

Jika politik punya istilah koalisi, sepakbola juga punya koalisi dalam bentuk kontrak kerja sama. Kedua hal itu sifatnya sama, setiap saat jika terjadi perbedaan kepentingan, bisa saja pecah kongsi, putus hubungan. Kalau dulu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bisa seiya sekata mendukung pasangan SBY-Boediono sebagai presiden dan wakil presiden, sekarang PKS bisa saja mengarah ke pemakzulan Boediono.

Di sepakbola juga sama. Dulu David Beckham adalah pahlawan Manchester United. Stadion Old Trafford yang punya julukan ampuh, Theatre of Dream, dulu adalah tempat si David menyemai kebesarannya. Namun tengah pekan ini, dia akan datang membawa bendera AC Milan dengan misi tunggal, menggusur MU dengan selisih gol minimal dua. Hanya, dalam sepakbola, aturan koalisi alias kerja sama diatur lebih rigid, dilindungi undang-undang bentukan FIFA yang berlaku mutlak. Sifatnya juga lebih private, karena keputusan hanya menyangkut perorangan. Sedangkan di politik, koalisi hanya diatur oleh perjanjian yang bisa kapan saja berubah seiring hembusan angin politik.

Dalam kasus Century, yang pertengahan pekan ini akan mencapai klimaksnya, kita mengenal para pelobi politik entah dengan baju politisi, staf ahli, atau dengan baju lain. Mereka menyiapkan deal-deal politik yang mengarah pada penyelesaian masalah menurut versi para cukong politik. Sedangkan di sepakbola, kita juga mengenal istilah pelobi dalam bentuk agen pemain, tim pemandu bakat dan lain sebagainya. Di Eropa, agen pemain adalah profesional yang bonafid, bergaji mahal dan glamor. Di kancah politik nasional, para pelobi politik adalah para investor politik. Kelak, mereka akan menyemai hasilnya, entah untung atau buntung.



Sama-sama kisruh

Anehnya, di negeri kita tercinta ini, sepak bola dan politik sama-sama kisruh. Para politisi kita lebih sibuk mengurus kepentingannya masing-masing. Beda janji dengan kenyataan setelah bertengger di kursi kekuasaan. Kalau tragedi tanah longsor di Ciwidey terjadi sebelum Pemilu, tanggapan pemerintah dan para politisi sangat mungkin berbeda kemasannya. Tidak seperti sekarang, tragedi yang menewaskan puluhan orang itu minus perhatian para elite politik. Kondisi sepak bola kita setali tiga uang. Tim nasional kita selalu gagal. Terakhir tim Sea Games kita kalah dari Laos, negeri antah berantah yang 10 tahun lalu masih jauh di bawah kita. Klub juara liga kita juga tak mampu bersaing di level Asia, dan kisruh suporter mulai menimbulkan korban jiwa.

Kalau dipikir-pikir, akar masalah kisruh politik dan sepak bola kita sama. Para elite politik kita dan para pengurus PSSI sama-sama egois, hanya memikirkan kepentingan diri masing-masing dan menganggap sepi kepentingan rakyat, masyarakat yang lebih luas. Elite politik kita saling tunjuk kesalahan lawan, dan enggan mengakui kesalahan sendiri, jumawa, membusungkan dada seolah tanpa dosa. Harap maklum, permintaan maaf secara terbuka belum menjadi tradisi politik kita. Pengurus PSSI juga cenderung menutup diri, sulit menerima saran dan besar kepala, meski prestasi sepak bola kita terpuruk, paling jeblok sepanjang sejarah. Sudah begitu, PSSI berani mencalonkan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.

Jadi, jangan terlalu berharap akan terjadi sesuatu yang bermanfaat bagi rakyat dari kecamuk skandal Century. Semuanya tak lebih dari sekadar sepak bola. Dan bola itu bulat, bundar, bisa bergulir kemana pun juga, terserah kaki pemilik kuasa….. . - Oleh : Suwarmin Station Manager Star Jogja FM

Opini SOlo Pos 1 maret 2010