01 Maret 2010

» Home » Media Indonesia » Kaji Ulang Pembangunan PLTN

Kaji Ulang Pembangunan PLTN

RENCANA pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) menimbulkan pro dan kontra. Pihak yang pro berdalih, tumbuh dan pesatnya ketergantungan manusia pada energi menjadikan nuklir sebagai alternatif pembangkit. Bagi yang kontra, ancaman kebocoran reaktor nuklir dan bahaya terhadap lingkungan membuat mereka menentang keras pembangunan PLTN, khususnya di Indonesia.
Indonesia tidak seharusnya menjadikan PLTN sebagai alternatif untuk mengatasi krisis listrik. Ada sejumlah alasan rasional, untuk menolak hadirnya PLTN di Tanah Air, meski pemerintah merasa pembangkit nuklir sudah sangat diperlukan.
Pertama, risiko lingkungan dan sosial PLTN sangat besar. Kebocoran radioaktif merupakan ancaman terbesar terhadap keselamatan manusia dan lingkungan. Apa yang terjadi di Chernobyl, Rusia, telah menjadi pelajaran berharga bagi seluruh dunia. Untuk risiko sosial, masyarakat yang hidup di sekitar PLTN akan terus dihantui rasa takut.


Alasan kedua, jika nuklir dijadikan energi alternatif, itu bisa dialihkan. Dengan kekayaan sumber daya alam yang ada, Indonesia mampu memanfaatkan sumber-sumber tersebut yang nonnuklir sebagai energi pembangkit untuk menutup defisit listrik.
Yang terpenting, kebijakan pemenuhan energi dalam negeri (DMO) harus diutamakan. Jangan sampai, pemerintah dan perusahaan migas lebih mengutamakan penjualan gas, sebagai contoh, ke Jepang atau Korea Selatan, daripada memenuhi kebutuhan domestik. Daerah seperti Kalimantan dan Sumatra sangat cocok menggunakan pembangkit listrik dari gas dan batu bara. Tapi, di sana malah terjadi krisis listrik meski mereka memiliki kekayaan besar atas sumber-sumber energi.
Alasan lainnya secara teknologi, Indonesia belum mampu dalam pengayaan uranium. Bagi negara berkembang, jelasnya, akan sangat sulit mendapat dukungan untuk mendapatkan teknologi pengayaan uranium, seperti yang terjadi pada Iran. Bagi pemerintah, pembangunan PLTN merupakan keharusan. Karena defisit listrik yang terjadi di Indonesia dan demi menyokong pertumbuhan ekonomi, diperlukan pembangkit nuklir. Pada sisi lain, banyak negara di dunia juga menggunakan teknologi itu untuk menerangi rumah-rumah mereka dan menjalankan industri.
Pemerintah beralasan, negara seperti Prancis tidak terlalu mengalami krisis energi hebat ketika ekonomi global turun karena pembangkitnya menggunakan nuklir. Begitu juga yang terjadi di banyak negara di Eropa yang mayoritas pembangkitnya menggunakan nuklir.
Persoalannya, saat ini ada tren penurunan penggunaan nuklir sebagai pembangkit secara global. Banyak negara sudah melirik energi ramah sebagai pengganti pembangkit BBM dan nuklir mereka, termasuk yang dilakukan di Amerika Serikat (AS) saat ini. Apalagi, komunitas global juga dipastikan akan menolak pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir.

Energi nonfosil
Potensi itu adalah dengan memanfaatkan energi nonfosil yang terbukti ramah lingkungan dan senantiasa tersedia di berbagai daerah. Desa yang berada di kawasan pesisir, misalnya, bisa memanfaatkan tenaga angin, pasang surut, gelombang, arus laut, OTEC (ocean thermal energy convertion), dan panas matahari. Begitu juga dengan daerah yang jauh dari laut. Mereka bisa memanfaatkan energi biodisel yang berasal dari biji jarak, singkong, atau tanaman lainnya. Jenis bahan baku yang dipakai tentu saja disesuaikan dengan potensi lokal.
Ke depan penggunaan energi ramah lingkungan ini bakal semakin berkembang. Apalagi kita tidak dapat bertahan sepenuhnya dari bahan bakar fosil yang terus menyusut persediaannya. Di samping itu, pembakaran bahan bakar minyak ini juga berdampak buruk terhadap kualitas atmosfer bumi. Ya, dunia kini dihantui perubahan iklim dengan berbagai efeknya seperti suhu rata-rata udara yang kian tinggi, kenaikan paras muka air laut, dan lain-lain akibat pesatnya era industrialisasi belakangan ini.
Laut Indonesia yang membentang begitu luas (sekitar 5,9 juta km2) dan mengelilingi 17.508 pulau dengan panjang pantai hampir 8.100 km, terpanjang kedua setelah Kanada, jelas menyimpan potensi energi sangat besar. Kita optimistis bermodalkan keunggulan komparatif itu dan dipadukan dengan keunggulan kompetitif melalui sentuhan teknologi, kita bisa terhindar dari krisis energi. Mari kita lihat faktanya.
Berdasarkan riset yang pernah digarap, laut Indonesia memiliki potensi energi gelombang laut, terutama di selatan Pulau Jawa dan Sumatra. Pembangkit listrik itu dapat dibangun di daerah perairan yang memiliki angin cukup kuat dan dasar perairan pesisir yang memungkinkan gelombang dapat mencapai pantai secara paralel (sejajar). Sistem itu sudah sukses dicoba di Norwegia. Dari berbagai uraian itu jelas bahwa sumber energi ramah lingkungan yang berasal dari pesisir dan laut Indonesia sangat berlimpah. Kini, saatnya para peneliti, pemerintah, swasta, dan masyarakat bersatu padu menggarap potensi tersebut. Dengan demikian, semua saudara kita yang berada di kawasan terpencil ikut menikmati aliran listrik.

Oleh Okky K Setiawan, Pengamat kelistrikan

Opini Media Indonesia 02 Maret 2010