01 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » Pemandirian Teater Masyarakat

Pemandirian Teater Masyarakat

KEGIATAN dunia teater di Salatiga dalam satu dasawarsa terakhir belum tergarap dengan baik. Walau ada beberapa teater yang masih aktif, seperti Getar (grup di Sekolah Tinggi Agama Islam Neger/ STAIN Salatiga) dan Komunitas Kalangan, keberadaan keduanya nyaris kembang-kempis.


Sebenarnya ada Jurusan Pertunjukan (termasuk mewadahi pertunjukan teater) di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga namun jarang menampilkan kegiatan teater.

 Hal itu juga menjadi butir “kesimpulan” pada diskusi bertema Teater sebagai Strategi Pemberdayaan Masyarakat di kantor Yayasan Lingkar Studi Kesetaraan Aksi dan Refleksi (YLSKAR) Salatiga, beberapa waktu lalu.

Peserta diskusi adalah semua staf YLSKAR dan pegiat teater Salatiga. Pembicara tunggal Ketua Persatuan Seniman Indonesia (PSI) Andi K Yuwono. Diskusi sederhana namun menarik yang dimoderatori Ahmad Badawi, Direktur YLSKAR, ini cukup menyentak peserta sehingga tersadar betapa Kota Salatiga sebagai Kota Perdikan; mengapa budaya teaternya sepi-sepi saja? 
Memang ada kelompok teater dari Komunitas Kalangan yang sedikit menawar perteateran Salatiga. Yaitu pementasan teater yang berbasis partisipatif dari warga desa dampingan.

Menurut Didik Harimurti (Didot), Koordinator Kalangan, muatan pentas teater Kalangan di beberapa desa dampingan sekitar Salatiga, sedikit banyak membantu dalam menyampaikan pesan pembangunan desa.

Hal ini sesuai dengan konsep teater dalam konteks pemberdayaan terhadap pemandirian masyarakat desa. Sayangnya nuansa kerja  penguatan teater di Salatiga baru letupan-letupan kecil yang nyaris tidak terdengar.

Sementara menurut Andi, yang asli kelahiran Salatiga, penajaman teater di kota itu dapat dipantik dengan mencari terlebih dahulu akar budaya yang dimiliki daerah tersebut.

Karena Salatiga sebagai Kota Perdikan, diyakni mempunyai ciri khas budaya yang dapat menjadi acuan pengembangan seni teater.

Aktivis seni dan Pemerintah Kota (Pemkot) Salatiga juga perlu mengusahakan ruang publik untuk aktivitas komunitas seni (termasuk teater).

Pasalnya, selama ini belum ada ruang berekspresi seni yang disediakan secara gratis dan representatif agar kota yang berjuluk Indonesia Mini itu tidak selalu dilewati oleh kegiatan-kegiatan besar seni, baik regional maupun nasional.
Bergerak Kreatif Pemkot Salatiga bersama Dewan Kesenian dapat mengusahakan tempat untuk mewadahi seniman dan penikmatnya dalam sebuah komunitas. Komunitas ini yang membuat mereka bergerak kreatif sehingga mampu berkembang dengan alur yang tepat.

Mengapa komunitas penting?! Karena dengan komunitas, seni di Salatiga yang sedikit dan berpencar itu tidak menjadi liar. Kelompok seni yang menyebar liar tanpa wadah akan menjadi pergerakan yang kurang mengena pesannya kepada masyarakat. Lebih-lebih keberadaannya tidak didengar dan akan cepat hangus.

Kiranya menarik seandainya kita menyaksikan kegiatan seni Festival Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Pegunungan Menoreh) Ke-8 yang dilaksanakan 26 Juli 2009 di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Dalam penyelenggaraannya selain sudah kompak di tataran komunitas seni Lima Gunung, baik dalam pendanaan maupun pengorganisasian, juga menjalin kerja sama dengan pemerintah.

Misalnya, ada seorang tukang batu (warga komunitas Lima Gunung) yang mengikuti acara seni  itu berani membeli kaos kegiatan tersebut seharga Rp 750 ribu.

Gerak masyarakat seperti itu, di-back up Pemerintah Daerah Magelang dengan dukungan dan pendanaan.

Dari situ dapat disimak, bahwa untuk mengembangkan seni, memang dibutuhkan kepedulian masyarakat. Karena mereka adalah penjaga sejati seni daerah.

 Sedangkan pemerintah, selain memberikan dukungan moral, tentu harus diikuti material yang bersifat reguler bagi kegiatan-kegiatan seni.

Ini juga berlaku pada pengembangan teater (seni secara umum) di Kota Perdikan Salatiga. Misalnya di antara elemen masyarakat, LSM, Pemkot Salatiga-Dewan Kesenian, pekerja seni, mahasiswa, duduk bersama untuk membicarakan keberlangsungan teater dan seni lain di Salatiga. (10)

— Siswanto, peneliti di  Yayasan Lingkar Studi Kesetaraan Aksi dan Refleksi (YLSKAR) Salatiga dan alumnus magister IAIN Walisongo
Wacana Suara Merdeka 02 Maret 2010