01 Maret 2010

» Home » Kompas » Agenda Pasca-Pansus Century

Agenda Pasca-Pansus Century

Pandangan akhir fraksi dalam Pansus Bank Century di DPR terbelah tiga. Partai Demokrat dan PKB memandang tidak ada masalah dalam pemberian dana talangan ke bank itu. Di lain pihak, Golkar, PDI Perjuangan, PKS, dan Hanura menyarankan agar Boediono, Sri Mulyani Indrawati, serta para pejabat lain yang bertanggung jawab supaya diproses secara hukum. Di tengah kedua kubu ini tentu ada PPP, Gerindra, dan PAN yang hanya mengungkap berbagai permasalahan tanpa menyebut siapa yang harus bertanggung jawab.
Pendapat partai politik mengenai kasus Bank Century tentunya tak bisa lepas dari tarik menarik kepentingan dan formasi kekuasaan. Saya sebagai ekonom tentu mempunyai perspektif yang jauh berbeda dengan para politisi.


Yang selalu menjadi pertanyaan besar para ekonom adalah apakah kita sebagai bangsa bisa mengambil hikmah dari kasus ini dan selanjutnya membuat perbaikan- perbaikan yang mendasar agar kasus serupa tidak terulang lagi pada masa yang akan datang. Hal seperti ini tentunya membutuhkan kejujuran kita untuk mengakui setiap kesalahan yang terjadi dan kemudian melakukan koreksi secara besar-besaran. Tanpa itu, bangsa ini mungkin hanya akan berkutat dalam kubangan yang sama.
Karena itu, kasus Century seyogianya dijadikan sebagai momentum untuk menggali akar permasalahan yang sebenarnya. Dalam kaitan itu, ada dua pertanyaan yang mendasar yang harus dijawab oleh Pansus. Pertama, apakah gagalnya Bank Century merupakan peristiwa yang unik ataukah merupakan pengulangan kasus-kasus serupa sebelumnya? Kedua, apakah kasus tersebut timbul karena lemahnya peraturan perundang-undangan ataukah karena kesalahan dalam pengambilan kebijakan? Jawaban atas pertanyaan tersebut tentunya akan sangat menentukan apa yang harus diperbaiki.
Pertanyaan pertama penting untuk kita jawab karena di negeri ini terlalu sering terjadi bank gagal. Setelah Century, Bank IFI juga dinyatakan sebagai bank gagal dan akhirnya dilikuidasi. Beberapa tahun sebelumnya, Bank Global, Bank Dagang Bali, dan Bank Asiatic juga ditutup. Walaupun modus operandinya berbeda, kegagalan bank-bank tersebut diakibatkan oleh hal yang mirip, yaitu pemiliknya melakukan penjarahan atau praktik tidak sehat terhadap bank-nya sendiri. Hal yang sama juga menimpa 76 bank yang ditutup selama krisis moneter 1997-1999. Pada waktu itu, banyak bank yang dimiliki oleh para konglomerat dan menyalurkan kredit secara tidak hati-hati kepada grupnya sendiri.
Intinya, kita sebagai bangsa telah gagal dalam mencegah terjadinya kegagalan secara berulang-ulang. Apabila kasus Century ini tidak secara jujur kita ungkap habis-habisan, bukan tidak mungkin kasus yang sama akan terulang lagi.
Lalu, apa yang harus kita perbaiki? Jawabannya terletak pada pertanyaan yang kedua. Gagalnya sebuah bank tidak bisa merupakan kesalahan murni para pengelolanya karena bank selalu diawasi oleh regulator. Sepanjang pengetahuan saya, berbagai jenis aturan perbankan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI) selalu mengacu pada international best practices, di antaranya Basel II Accord.
Pembiaran
Pelanggaran aturan mengenai merger, batas maksimum pemberian kredit, kredit bermasalah (NPL), giro wajib minimum, rasio kecukupan modal, dan posisi devisa neto yang terjadi secara berulang-ulang bukan terletak pada kelemahan peraturan. Yang terjadi adalah pemberian kelonggaran atau pembiaran terhadap pelanggaran peraturan. Dengan demikian, yang salah adalah pihak yang melakukan pembiaran atau yang memberi kelonggaran, dan itu hanya bisa dilakukan oleh para pengambil keputusan di BI.
Begitu pun dalam pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century bukan karena kurang prudent-nya aturan yang diterbitkan BI. Bank Century yang tidak memenuhi syarat mendapatkan FPJP dipaksakan untuk ditalangi dengan cara mengubah aturan. Sekali lagi, itu hanya bisa dilakukan oleh pucuk pimpinan BI.
Bahkan, ketika dana FPJP disalurkan BI, hampir tak ada langkah-langkah untuk mengamankan dana itu. Sementara itu, Century dalam status pengawasan khusus, para pemiliknya masih secara bebas melakukan penarikan dana. Padahal, aturan BI secara tegas melarang hal tersebut kecuali atas izin BI. Sekali lagi, bukan karena lemahnya aturan, tetapi karena pejabat teras BI melakukan pembiaran.
Yang terjadi di Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) mungkin agak unik, tetapi juga kurang lebih sama dengan yang terjadi di BI. Sebagaimana tercantum dalam Perppu tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, KSSK diwajibkan melakukan perhitungan mengenai biaya penanganan krisis. Namun, itu tidak pernah dilakukan sehingga pembengkakan alokasi penyertaan modal sementara (PMS) oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) praktis kurang terkontrol dengan baik. Akibatnya, biaya penanganan Century menggelembung menjadi Rp 6,76 triliun, atau membengkak sebesar 1.000 persen lebih.
Di LPS juga idem dito. Agar pembengkakan penyaluran PMS dapat dilakukan, LPS mengubah peraturan LPS sendiri. Tadinya, kebutuhan penyaluran PMS hanya didasarkan pada pemenuhan rasio modal minimum. Namun, aturannya diubah dengan menambahkan untuk pemenuhan kebutuhan likuiditas. Komite Koordinasi juga tidak pernah secara resmi menetapkan berapa seharunya kebutuhan PMS yang sewajarnya. Padahal, hal itu diamanatkan secara jelas oleh UU LPS.
Dari berbagai contoh di atas, adalah jelas, masalah penyimpangan bukan terjadi karena lemahnya peraturan perundang- undangan dalam bidang pengawasan perbankan dan penanganan bank gagal. Yang masalah justru adalah tidak taatnya para pengambil keputusan di level teratas terhadap peraturan perundang-undangan. Lebih berat lagi, berbagai peraturan dengan sengaja diubah atau dibengkokkan.
Bila kesimpulan di atas benar, solusinya menjadi sangat sederhana, yakni harus ada sanksi terhadap para pejabat yang tidak taat pada hukum dan melakukan pembengkokan pada peraturan. Karena itu, agenda pasca-Pansus adalah merumuskan langkah-langkah agar para pejabat menjadi jera. Biarlah ahli hukum dan politik yang merumuskannya.
Iman Sugema Ekonom Moneter dan Perbankan
Opini Kompas 1 Maret 2010