01 Maret 2010

» Home » Kompas » Kekuasaan yang Merapuh

Kekuasaan yang Merapuh

Sebenarnya tidaklah elok bagi perjalanan demokrasi yang sedang dibangun dengan susah payah, mengapa tiba-tiba kemudian salah satu pilarnya dalam format lembaga kepresidenan melalui pilihan langsung merapuh dalam tempo relatif singkat.


Jusuf Kalla (JK) yang saya temui pada 30 November 2009 juga merasa kaget, kenapa tidak menunggu dulu sampai enam bulan, misalnya. Bahwa pada satu saat akan meledak juga, JK tampaknya telah memperkirakan. Apa alasannya tidak perlu saya jelaskan di sini, tetapi sama sekali tidak ada kaitannya dengan kekalahan dalam pemilihan presiden, sesuatu yang diterimanya dengan legowo.
Adalah undang-undang alam, kalah dan menang dalam pertandingan sebagai lumrah belaka. Jika takut kalah, jangan coba-coba ikut pertandingan, lebih baik tidur mendengkur di rumah. Sekarang pertandingan telah usai: pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono muncul sebagai pemenang dengan meraih suara 60,8 persen, menyisihkan secara telak pasangan Megawati-Prabowo dan pasangan JK-Wiranto. Partai Demokrat (PD) yang juga menang telak atas saingan-saingannya bersorak-sorai atas kemenangan yang fenomenal itu, melompat hampir 300 persen dibandingkan dengan perolehan suaranya dalam Pemilihan Legislatif 2004. PD sekarang mempunyai 148 dari 560 kursi dalam parlemen.
Karena SBY paham peta politik kepartaian di negeri ini, upaya penjinakan perlu cepat dilakukan, apalagi jumlah kursi PD di DPR di bawah 30 persen. Golkar yang semula tidak ikut berkeringat memenangkan pasangan SBY-Boediono malah terpukau untuk masuk ke dalam sistem kekuasaan. Alasannya tentu cukup manis, ”demi kepentingan bangsa dan negara”, sebuah ungkapan politik yang sebenarnya sudah basi. Namun, sudahlah, koalisi telah terbentuk, tak perlu ditanyakan, solid atau rapuh.
Dengan merapatnya Golkar, SBY tentu berharap akan dapat tidur nyenyak memasuki periode kedua kekuasaannya sampai tahun 2014. Suara paraunya selama kampanye sedikit terobati, dengan bekal 75 persen kekuatan di parlemen sekarang tergenggam sudah di tangan. Bagi pemenang, perasaan mantap dan senang serupa ini adalah wajar belaka, asal tidak lupa daratan, lupa lautan.
Kotak pandora
Sewaktu Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar ditangkap, reaksi publik tak pernah menggelombang, antara lain karena dikaitkan dengan nama Rhani Yuliani yang bertemu dengannya di Hotel Grand Mahakam, sekalipun itu tak lain dari sebuah umpanan yang menjebak. Namun, saat Bibit-Chandra ditahan dengan cara yang sangat kasar dan sarat rekayasa, protes rakyat tak bisa dibendung, membesar dari hari ke hari. Siapa mengira bahwa penangkapan ini akan menjadi pembuka tutup kotak pandora yang kemudian berekor panjang, panjang sekali, bahkan sampai detik ini.
Jika kotak ini dibiarkan tertutup rapat, setidaknya buat sementara, kita tentu masih merasa aman-aman saja. Program 100 hari pemerintah tidak akan banyak menuai kritik. DPR mungkin belum perlu membentuk Pansus Bank Century yang hari-hari ini sedang memasuki momentum yang paling kritikal. Demikian juga sekiranya Mahkamah Konstitusi (MK) tidak berinisiatif menggelar drama Anggodo Widjojo secara terbuka sebelumnya, publik boleh jadi masih mau menahan diri sebab petanya tak jelas. Posisi Boediono-Sri Mulyani Indrawati belum akan terusik terlalu jauh. Maka, itulah sebabnya mengapa seorang menteri perlu berkomentar bahwa drama Anggodo itu tidak relevan untuk dibuka. Komentar ini harus dibaca dari perspektif sistem kekuasaan yang gamang yang baru saja menggalang kekuatan di DPR agar pemerintah ini dapat melenggang sampai 2014.
Mengikuti kultur MK, Pansus telah membuka diri sejak awal pembentukannya. Publik dibiarkan menilai proses kerja Pansus ini secara bebas, terbuka, tanpa sedikit pun ditutupi. Untuk apa ditutupi, karena kotak pandora telanjur dibuka akibat penangkapan Bibit-Chandra pada 29 Oktober 2009, hanya dalam bilangan hari setelah kabinet SBY-Boediono terbentuk. Saya dukung SBY ketika mengatakan agar berpolitik dan perdebatan dalam Pansus dilakukan secara sopan dan beretika. Bagus sekali seruan itu. Namun, makna seruan itu menjadi sirna seketika karena terhadap seorang anggota Pansus (yang kebetulan dari partai SBY) yang mengeluarkan perkataan ”bangsat” dan nada kasar untuk memukul lawan politiknya, tidak dilakukan tindakan korektif. Untung saja tidak dihebohi oleh adu fisik dalam sidang- sidang Pansus ini, sesuatu yang sebenarnya nyaris saja menjadi kenyataan, seperti yang pernah terlihat dulu di Korea Selatan dan Taiwan. Dengan demikian, anggota DPR Indonesia dalam perkara ini lebih dewasa dibandingkan dengan mitra mereka di kawasan Asia Timur itu.
Masuk angin
Kini, Pansus yang dibentuk berdasarkan praktik konstitusi itu telah sampai di ujung tugas mandatnya setelah dua bulan bekerja. Rencananya, pada 2 Maret ini akan digelar sidang pleno DPR untuk menentukan sikap: apakah penalangan BI/pemerintah atas Century dapat dibenarkan atau tidak. Pansus tampaknya akan gagal merumuskan kata sepakat, seperti telah terbaca dalam laporan akhir sikap fraksi-fraksi beberapa hari yang lalu. Dengan demikian, solusi yang masih tersisa dalam sidang pleno DPR adalah tunggal: voting!
Ketika publik sudah mulai bosan dan lelah mengikuti sidang- sidang Pansus, semangat mereka sekarang menggebu kembali, demi menyaksikan leading dongeng macam apa yang akan berlaku. Jika pembacaan saya atas peta politik yang sedang berjalan tepat, hasil voting tidak akan banyak berbeda dengan kecenderungan fraksi-fraksi yang telah disampaikan secara terbuka itu. Dalam pembicaraan saya dengan sementara anggota Pansus, saya semakin percaya bahwa cara-cara bujuk, rayu, lobi, ancaman, janji, dan yang sejenis itu tidak akan mempan mengubah sikap mereka yang telah direnungkan dengan masak bersandarkan fakta yang tersedia.
Namun, harus diingat, dalam proses politik kekuasaan di mana pun di muka Bumi, tidak ada yang mustahil. Bisa saja terjadi, anggota-anggota DPR yang semula telah kukuh dan bulat dalam pendiriannya tiba-tiba masuk angin, berubah seketika karena hitung-hitungan pragmatis. Dalam perkiraan saya, kemungkinan serupa ini sangat kecil, kecuali DPR siap menggali kuburnya sendiri.
Kita tidak bisa membayangkan jika cerita buruk yang mencederai bangunan demokrasi ini akan menjadi kenyataan saat Pansus menyudahi tugasnya. Bagi saya, selama semuanya berjalan di atas koridor konstitusi, tidak ada yang patut dicemaskan. Biarlah semua proses politik berlangsung secara wajar, konstitusional, dan terbuka.
Jika pun ada demonstrasi, lakukan semua itu dengan cara-cara damai, aman, dan bertanggung jawab. Hindari tindakan anarkis, brutal, dan semena-mena sebab akan dapat melumpuhkan sistem demokrasi jilid dua di Indonesia yang baru saja berumur 12 tahun. Kepercayaan (trust) rakyat pada demokrasi dapat menjadi hilang manakala sistem ini dibiarkan liar tak terkendali. Eman-eman bangsa yang tengah menderita ini dikorbankan untuk sekian kali. Mari kita berdemokrasi secara dewasa, ceria, dan cerdas.
Ahmad Syafii Maarif Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
Opini Kompas 02 Maret 2010