01 Maret 2010

» Home » Kompas » Rumah Demokrasi

Rumah Demokrasi

Ketika hendak menerima gelar doktor kehormatan dari Universitas Toulouse, Václav Havel, seorang mantan pembangkang politik, menyiapkan pidato bertajuk ”Politik dan Nurani” (1984). Presiden pertama Ceko pasca-komunisme di Cekoslowakia itu membandingkan antara Francis Bacon (1561-1626) dan Niccolo Machiavelli (1469-1527).

Bacon menjadi bapak sains modern karena memelopori sains empiris. Machiavelli menjadi bapak politik modern karena menjadikan politik sebagai tek- nik meraih kekuasaan secara rasional, memelopori politik dalam spirit sains modern. Politik Machiavellian bersifat pragmatis dan berorientasi kekuasaan. Politik jadi terukur. Sementara itu, nurani tak berbatas dan mengawal politik di rel keutamaannya.
Penyelidikan kasus Century oleh Pansus DPR memperlihatkan banyak hal. Tidak hanya moral hazard di jajaran otoritas perbankan, tetapi juga kolusi birokrasi dan swasta, serta politisi minus kenegarawanan. Di balik hiruk-pikuk pengungkapan kebenaran, tersembunyi agenda po- litik jangka pendek ataupun untuk tahun 2014.
Politik tanpa polis
Dalam kata sambutan saat menerima Penghargaan Akademi Jakarta (1975), WS Rendra memakai tubuh-roh sebagai metafora negara. Ada penjaga tubuh, penjaga roh, dan penjaga nilai-nilai rohani. Peran masing-masing tak tergantikan dan tidak dapat dirangkap.
Penjaga tubuh melayani kesejahteraan masyarakat. Mereka yang berumah di keraton mewujudkan demokrasi ekonomi dan demokrasi pendidikan. Mereka mendongkrak daya saing bangsa, terutama saat pasar dalam negeri diserbu produk impor. Mereka melapangkan jalan menuju keadilan sosial guna mengangkat harkat bangsa.
Cendekiawan dan seniman berada di luar struktur kekuasaan. Mereka berumah di angin. Mereka memberi inspirasi dan daya hidup kepada masyarakat. Penjaga tubuh membutuhkan suara kritis penjaga roh. Besar ongkos mengabaikan dan menyingkirkan penjaga roh, yang semasa Orde Lama mendapat label antirevolusi atau antipembangunan semasa Orde Baru. Korupsi kekuasaan merusak negara dari dalam.
Mereka yang berumah di dewan ibarat penjaga nilai-nilai rohani, memberikan diri untuk dilembagakan, tetapi tidak sepenuhnya terkooptasi kekuasaan (lembaga setengah tubuh/roh). Mereka harus menjaga perasaan dan perkataannya agar pertentangan antara roh dan tubuh tidak menjelma menjadi perang, agar terjalin komunikasi yang baik antara roh dan tubuh. Hubungan pemerintah dan rakyat tidak searah dari atas ke bawah, tetapi saling memengaruhi. Pemerintah dan rakyat tidak dalam hubungan menindas ataupun memberontak sebab tidak ada pembangunan yang berhasil dalam suasana permusuhan.
Demokrasi tanpa ”demos”
Politik seharusnya berorientasi kesejahteraan rakyat (polis). Namun, pragmatisme politik hanya mengatasnamakan kesejahteraan rakyat. Rakyat sejahtera hanya tinggal angan-angan dengan politik (bukan hukum) menjadi panglima. Hiperaktivisme politik cenderung memecah belah rakyat dan melelahkan. Tampaklah tidak penting lagi apakah penyelidikan Pansus Century berhasil membongkar korupsi politik sebagaimana tujuan awal pembentukannya.
Yang penting, melengserkan pejabat yang dimaksud. Itu sebabnya selama ini politisi mudah melempar isu sensitif untuk disantap publik. Legislatif pun berumah di yudikatif, menjatuhkan vonis dan menggiring opini publik dengan massa sebagai kelompok penekan. Alih-alih mengungkap kebenaran, silang pendapatlah yang muncul. Ketika mereka yang di rumah angin menjadi bagian dari pertarungan kekuasaan, politik kehilangan intelektualitasnya.
Demokrasi kita belum menyentuh layanan publik (demos). Demokrasi masih berkutat di Senayan, kadang berpindah di jalan. Demokrasi elitis tidak menjawab persoalan nyata masyarakat yang pada hari-hari ini rentan menjadi korban banjir dan tanah longsor. Demokrasi jalanan juga tidak menjawab persoalan mengapa realitas kemiskinan dan korupsi masih terang benderang.
Betapa tidak berdayanya penegakan hukum kita diperhadapkan dengan pelanggaran lalu lintas yang dilakukan beramai-ramai, yang membuat lalu lintas menjadi semrawut, kemacetan menjadi-jadi, korban kecelakaan bertambah banyak. Praktik mengutip bayaran saat mengurus KTP yang katanya gratis tetap berlangsung. Kita masih belum beranjak dari persoalan mendasar, seperti penciptaan lapangan kerja, pengangguran, kepastian hukum, serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Tidak berlebihan rakyat berharap kepada Presiden untuk menjadi pemimpin koalisi, bukan pemimpin kolusi dan juga bukan pemimpin kerumunan politisi. Indonesia membutuhkan kepemimpinan demokrasi. Bukan demokrasi terpimpin yang melegitimasi kepemimpinan otoriter dan juga bukan demokrasi yang melanggengkan status quo. Namun, kepemimpinan yang bersih dan tegas, yang pertama-tama berani membersihkan rumahnya sendiri yang kotor. Presiden seperti itu adalah pemimpin visioner yang bertumpu pada moralitas dan akuntabilitas, pemimpin yang menjadi lokomotif (bukan penghambat) pembaruan.
Rakyat membutuhkan rumah (bukan gudang) demokrasi yang pilar-pilarnya adalah amanat penderitaan rakyat. Rakyat merindukan rumah demokrasi yang memberi rasa aman, bukan demokrasi jalanan dan juga bukan demokrasi politainment. Demokrasi yang berbanding lurus dengan politik tulus dan efektif.
Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Opini Kompas 02 Maret 2010