01 Maret 2010

» Home » Solo Pos » Rahasia bank bukan mitos tak tertembus

Rahasia bank bukan mitos tak tertembus

Rapat paripurna Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Century pada 2-3 maret nampaknya hanya akan melahirkan dua pilihan riil yaitu klimaks bagi kubu prooposisi dan antiklimaks bagi kubu prokoalisi. Bagi yang klimaks maka tendensi ke arah pemakzulan mungkin semakin terbuka dan di sisi lain bagi yang antiklimaks maka periodeisasi tahun tahun pemerintah terbuka lebar.


Ironisnya, nasabah Century justru gigit jari karena dana mereka tetap saja menguap entah kemana seperti yang dialami oleh Gayatri dan sejumlah nasabah Century lainnya. Lepas dari hasil paripurna Pansus, yang pasti kerja Pansus telah bisa membuka tabir kejahatan sistemik berkedok bailout. Bahkan, Pansus juga sukses menelusuri sejumlah rekening fiktif dan kloning rekening meskipun hal ini kemudian dianggap melanggar kerahasiaan bank. Apakah kerahasiaan bank menjadi harga mati, sekalipun itu untuk mengungkap kebenaran di balik skandal seperti bailout Bank Century? Tentu tidak. Kerahasiaan bank bukan satu-satunya pintu untuk membuka tabir kebenaran.

Meski demikian, kerja Pansus nampaknya mendapat reaksi keras dari Perbanas dan Ikatan Bankir Indonesia (IBI) terkait proses penelusuran sejumlah rekening yang diduga fiktif. Hal ini terutama mengacu pada regulasi perbankan tentang kerahasiaan bank seperti yang tertuang pada UU No 10/1998 tentang Perbankan.

Argumen yang mendasari sikap Perbanas dan IBI terkait kekhawatiran nasabah lari karena takut terhadap keberlangsungan operasional perbankan sebenarnya tidak benar seratus persen. Jika diruntut ke belakang, sebenarnya filosofi kerahasiaan bank sudah berakhir sejak 3 Maret 2009 tepatnya ketika KTT G-20 di London sepakat mengakhiri model kerahasiaan bank dengan alasan untuk meminimalisasi praktik pencucian uang. Tantangan utamanya adalah merevisi UU No 25/2003 mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang karena dipandang belum memenuhi prinsip internasional.

Orientasi terhadap jaminan keamanan nasabah sebagai subjek-objek perbankan diikuti dengan regulasi untuk menjamin rasa aman. Salah satunya peraturan Bank Indonesia (BI) No 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia No 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. BI juga pernah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No 7/6/PBI/2005 tanggal 20 Januari tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah yang bertujuan melindungi nasabah dari perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan nasabah.



Rasa aman

Regulasi dan kebijakan kerahasiaan bank sebenarnya baik, meski dalam praktiknya ternyata kasus-kasus kejahatan perbankan tetap saja ada. Di satu sisi, perbankan sebenarnya juga berkepentingan untuk memberikan edukasi kepada nasabah dan juga publik. Di sisi lain, penerapan Peraturan BI No 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah ditujukan untuk melindungi nasabah dari berbagai penyimpangan-penyimpangan yang ditimbulkan akibat kesalahan operasional bank. Ini ternyata juga tidak terbukti ampuh untuk melindungi nasabah. Paling tidak, kasus-kasus pembobolan rekening bank via internet dan ATM seperti yang marak beberapa hari lalu ternyata juga melibatkan orang dalam.

Yang justru menjadi pertanyaan mengapa kemudian tetap mengedepankan kerahasiaan bank untuk berdalih menjaga kepercayaan nasabah dibalik kerja Pansus untuk memburu ke mana aliran dana bailout itu sendiri? Tentu sulit untuk mencari titik temu ini, meski muara dari itu semua yaitu agar nasabah tidak semakin dirugikan dari setiap terjadinya kasus kejahatan perbankan.

Kerahasiaan bank pada intinya mencakup bagaimana para bankir menjaga kerahasiaan dana masyarakat yang tersimpan, kerahasiaan dana, kredit dan perusahaan nasabah, menjaga kebijakan pemerintah yang perlu untuk dirahasiakan, kerahasiaan kekayaan pemilik saham dan menjaga rahasia berkas dan arsip mengenai posisi dan situasi karyawannya.

Dari pemahaman ini memang kerahasiaan bank sangat penting. Namun sekali lagi ada juga yang lebih penting yaitu agar kejahatan perbankan seperti kasus Bank Century tidak terulang dan pembuktiaan ini akan dilakukan Pansus lewat penelusuran aliran dana sehingga mereka perlu melihat data-data nasabah.

Selain itu, sebenarnya kerahasiaan bank bisa ditembus melalui pengadilan atau seizin BI yang selama ini berperan menjadi pengawas dari operasional perbankan. Yang menjadi persoalan bahwa terkuaknya skandal Bank Century ternyata juga melibatkan alur informasi yang tidak benar dari peran otoritas perbankan terutama terkait dengan aspek pengawasan sehat dan tidaknya suatu bank selama rentang pengawasan yang dilakukan. Artinya, ketika pengawasan itu lemah, maka cacat sejak lahir seperti yang terjadi pada kasus Bank Century bisa dengan mudah diabaikan sampai akhirnya meletus dan dengan dalih berdampak sistemik maka pengucuran bailout dilakukan.

Kini, bailout telah mengalir dan aliran itu sangat perlu ditelusur oleh Pansus untuk bisa menangkal kasus serupa di kemudian hari. Upaya ini sesuai dengan Pasal 17 dan 19 UU No 6/1954 tentang Penetapan Hak Angket. Artinya, Pansus memang mempunyai wewenang untuk melakuka itu dan jika tidak maka Pansus bisa memanfaatkan lembaga peradilan untuk membongkar semua aliran dana itu tanpa harus tertekan oleh tembok tebal berdalih kerahasiaan bank.

Sekali lagi, kerahasiaan bank bukan mitos yang tidak bisa ditembus terutama demi membuka tabir kejahatan perbankan yang lebih sistemik. Jadi, yang sistemik itu dampaknya atau justru praktik kejahatannya? Entahlah. Dan hasil akhir Pansus harus menunggu rapat paripurna, apapun hasilnya. - Oleh : Edy Purwo Saputro Dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Opini Solo Pos 02 Maret 2010