14 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » 'Profit Taking' di Pasar Pilkada

'Profit Taking' di Pasar Pilkada

Ridwan Saifuddin
Pengajar di STAIN Metro
MAAF, jika tulisan ini dibuka dengan pertanyaan: Perlukah marketing dalam pilkada? Adakah hubungan antara tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu/pilkada, dengan penerapan konsep pemasaran politik selama ini?
Konsep pemasaran nonkomersial (politik, sosial, budaya), belakangan kembali menarik perhatian banyak kalangan, terutama terkait digelarnya pemilu dengan sistem daftar calon terbuka, dan pilkada secara langsung. Metode survei juga semakin digemari, sebagai acuan "membaca" kecenderungan pilihan konstituen, dan bahan menyusun strategi pemasaran kandidat kepada rakyat.


Lalu, apa yang membedakan konsep pemasaran komersial dengan pemasaran politik? Memahami konsep pemasaran secara sederhana sebagai aktivitas jual-beli, secara nyata telah mewarnai praksis kompetisi politik dewasa ini. Tengoklah persaingan antarcaleg dalam Pemilu 2009; lihat juga kecederungan apa yang dilakukan para kandidat menjelang Pilkada 2010 di beberapa kabupaten/kota.
Menjelang pilkada di Kota Metro, sekadar contoh kasus, pagi-pagi sudah berhembus isu ada kandidat yang sudah menyiapkan Rp200 ribu untuk per kepala pemilih. Dengan mata pilih yang "cuma" sekitar seratus ribu, dengan menargetkan 51 person suara, maka kandidat cukup menyiapkan Rp10,2 miliar untuk menang pilkada. Maka, dengan hitungan ala pedagang, untuk break event point, maka setelah kandidat tersebut jadi wali kota, setiap tahun targetnya ia harus mengantongi uang Rp2,04 miliar; atau per bulannya Rp170 juta. Terserah dari mana sumbernya.
Casetersebut menunjukkan satu bentuk praktek pemasaran politik, yang mengadopsi pemasaran sekadar jual-beli; untung-rugi. Tujuan akhirnya hanya pada kesejahteraan "para pemegang saham" (shareholders objectives), yaitu kandidat sendiri berikut kelompok kepentingan dalam
lingkarannya. Seharusnya yang menjadi tujuan akhir pemasaran (sosial) politik, adalah peningkatan kualitas hidup rakyat sebagai stakeholders kekuasaan.
Pertanyaannya, mungkinkah tujuan untuk menyejateraan rakyat akan tercapai, jika kekuasaan diperoleh dengan cara jual-beli ala pedagang seperti itu?
"Penyimpangan" kaidah pemasaran dalam persaingan politik akhir-akhir ini adalah tercecernya orientasi dalam menarik, memelihara, dan mempertahankan "konsumen", sampai menjadi "pelanggan setia" (customer loyality). Sementara konsep pemasaran komersil semakin menitikberatkan upaya memelihara dan mempertahankan loyalitas pelanggan, aksi pemasaran politik justru kental dengan nuansa "pengkhianatan" terhadap kepercayaan konstituen (baca: konsumen).
Para politisi yang begitu manis dan baik hatinya pada saat kampanye demi menarik hati konstituen, serta-merta berubah total ketika sudah berkuasa. Indikasi dominan adalah mayoritas mereka gagal dalam memelihara dan mempertahankan kepercayaan (dukungan) konsituennya, alih-alih menjadi konstituen loyal.
Pemasaran politik atau kampanye yang padat modal itu, condong melahirkan kekuasaan yang abai dan mudah melupakan konstituennya. Dari sinilah kita dapat memahami salah satu faktor yang memengaruhi tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu/pilkada, serta kecenderungan perilaku pemilih. Pemasaran politik yang seharusnya berorientasi pada kesejahtearan stakeholders masyarakat, diselewengkan untuk kesejahteraan shareholders kekuasaan semata.
Ketika konstituen diperlakukan sekadar objek pemasaran politik, kecenderungan yang terjadi adalah disorientasi preferensi. Muncul apatisme publik yang dipicu anggapan pemilu atau pilkada tidak berpengaruh apa-apa terhadap kualitas kehidupan mereka. Konsituen tidak merasa diperlakukan layaknya pelanggan yang dipahami dan dimengerti, seperti lazimnya dalam pemasaran komersial.
Kondisi tersebut memicu motivasi aksi profit taking di kalangan pemilih. Mereka rela menjual suara kepada yang sanggup membayar lebih. Pasar politik pun berkembang, muncul makelar politik sebagai "agen suara" pemilih. Yang terjadi kemudian, bukan konsep pemasaran yang berjalan, tetapi "demonstrasi jual kecap" yang berlangsung secara massal, dan tak ada relevansi sama sekali dengan strategi pemasaran yang dipahami secara akademis.
Maka, dalam pasar politik semacam itu, iklan artifisial yang gencar dan testimoni dukungan yang dipaksakan dalam skala yang massif dalam ruang publik, akan bisa memanipulasi citra penjahat layaknya ustad, meski hanya sementara sifatnya. Apakah itu yang kita butuhkan dari para kontestan pilkada: canggih memanipulasi citra, atau tega menghargai suara rakyat secara tidak selayaknya?
Mengadopsi konsep pemasaran dalam politik seharusnya adalah dengan mengakomodasi semua kaidah marketing secara utuh. Selain berorientasi pada inovasi, efisiensi, dan pelayanan, juga harus ditekankan pada responsibilitas. Responsibilitas pemasaran politik harus meliputi seluruh stakeholders masyarakat, pemerintah, alam lingkungan, dan keberlanjutan pembangunan bagi generasi penerus, termasuk segala aspek interaksi moral dan budaya di dalamnya.
Makna responsibilitas, meliputi kesadaran bahwa aksi dan capaian politik berupa kekuasaan tidak akan lepas dari pertanggungjawaban terhadap manusia (publik) maupun terhadap Tuhan. Sebab, meski sang kandidat berhasil meraih kekuasaan, tetapi dengan cara yang merendahkan harkat kemanusiaan, maka sejatinya ia telah gagal dalam menjalankan misinya. Paradigma pemasaran politik mengajarkan bahwa responsibilitas seorang aktor politik belum akan selesai, sebelum ia mempertanggungjawabkan seluruh proses serta segenap hasil yang dicapainya, baik selama di dunia maupun di alam sana. Dengan begitu, diharapkan kompetisi politik dalam pilkada mendatang tidak menghasilkan "produk gagal" berupa pemimpin yang tak bertanggung jawab.

Opini Lampung Post 15 Februari 2010