Ridwan Saifuddin
Pengajar di STAIN Metro
MAAF, jika tulisan ini dibuka dengan pertanyaan: Perlukah marketing  dalam pilkada? Adakah hubungan antara tingkat partisipasi pemilih dalam  pemilu/pilkada, dengan penerapan konsep pemasaran politik selama ini?
Konsep pemasaran nonkomersial (politik, sosial, budaya), belakangan  kembali menarik perhatian banyak kalangan, terutama terkait digelarnya  pemilu dengan sistem daftar calon terbuka, dan pilkada secara langsung.  Metode survei juga semakin digemari, sebagai acuan "membaca"  kecenderungan pilihan konstituen, dan bahan menyusun strategi pemasaran  kandidat kepada rakyat.
Lalu, apa yang membedakan konsep pemasaran komersial dengan pemasaran  politik? Memahami konsep pemasaran secara sederhana sebagai aktivitas  jual-beli, secara nyata telah mewarnai praksis kompetisi politik dewasa  ini. Tengoklah persaingan antarcaleg dalam Pemilu 2009; lihat juga  kecederungan apa yang dilakukan para kandidat menjelang Pilkada 2010 di  beberapa kabupaten/kota.
Menjelang pilkada di Kota Metro, sekadar contoh kasus, pagi-pagi  sudah berhembus isu ada kandidat yang sudah menyiapkan Rp200 ribu untuk  per kepala pemilih. Dengan mata pilih yang "cuma" sekitar seratus ribu,  dengan menargetkan 51 person suara, maka kandidat cukup menyiapkan  Rp10,2 miliar untuk menang pilkada. Maka, dengan hitungan ala pedagang,  untuk break event point, maka setelah kandidat tersebut jadi wali  kota, setiap tahun targetnya ia harus mengantongi uang Rp2,04 miliar;  atau per bulannya Rp170 juta. Terserah dari mana sumbernya.
Casetersebut menunjukkan satu bentuk praktek pemasaran politik, yang  mengadopsi pemasaran sekadar jual-beli; untung-rugi. Tujuan akhirnya  hanya pada kesejahteraan "para pemegang saham" (shareholders  objectives), yaitu kandidat sendiri berikut kelompok kepentingan  dalam
lingkarannya. Seharusnya yang menjadi tujuan akhir pemasaran (sosial)  politik, adalah peningkatan kualitas hidup rakyat sebagai stakeholders  kekuasaan.
Pertanyaannya, mungkinkah tujuan untuk menyejateraan rakyat akan  tercapai, jika kekuasaan diperoleh dengan cara jual-beli ala pedagang  seperti itu?
"Penyimpangan" kaidah pemasaran dalam persaingan politik akhir-akhir  ini adalah tercecernya orientasi dalam menarik, memelihara, dan  mempertahankan "konsumen", sampai menjadi "pelanggan setia" (customer  loyality). Sementara konsep pemasaran komersil semakin  menitikberatkan upaya memelihara dan mempertahankan loyalitas pelanggan,  aksi pemasaran politik justru kental dengan nuansa "pengkhianatan"  terhadap kepercayaan konstituen (baca: konsumen).
Para politisi yang begitu manis dan baik hatinya pada saat kampanye  demi menarik hati konstituen, serta-merta berubah total ketika sudah  berkuasa. Indikasi dominan adalah mayoritas mereka gagal dalam  memelihara dan mempertahankan kepercayaan (dukungan) konsituennya,  alih-alih menjadi konstituen loyal.
Pemasaran politik atau kampanye yang padat modal itu, condong  melahirkan kekuasaan yang abai dan mudah melupakan konstituennya. Dari  sinilah kita dapat memahami salah satu faktor yang memengaruhi tingkat  partisipasi pemilih dalam pemilu/pilkada, serta kecenderungan perilaku  pemilih. Pemasaran politik yang seharusnya berorientasi pada  kesejahtearan stakeholders masyarakat, diselewengkan untuk kesejahteraan  shareholders kekuasaan semata.
Ketika konstituen diperlakukan sekadar objek pemasaran politik,  kecenderungan yang terjadi adalah disorientasi preferensi. Muncul  apatisme publik yang dipicu anggapan pemilu atau pilkada tidak  berpengaruh apa-apa terhadap kualitas kehidupan mereka. Konsituen tidak  merasa diperlakukan layaknya pelanggan yang dipahami dan dimengerti,  seperti lazimnya dalam pemasaran komersial.
Kondisi tersebut memicu motivasi aksi profit taking di  kalangan pemilih. Mereka rela menjual suara kepada yang sanggup membayar  lebih. Pasar politik pun berkembang, muncul makelar politik sebagai  "agen suara" pemilih. Yang terjadi kemudian, bukan konsep pemasaran yang  berjalan, tetapi "demonstrasi jual kecap" yang berlangsung secara  massal, dan tak ada relevansi sama sekali dengan strategi pemasaran yang  dipahami secara akademis.
Maka, dalam pasar politik semacam itu, iklan artifisial yang gencar  dan testimoni dukungan yang dipaksakan dalam skala yang massif dalam  ruang publik, akan bisa memanipulasi citra penjahat layaknya ustad,  meski hanya sementara sifatnya. Apakah itu yang kita butuhkan dari para  kontestan pilkada: canggih memanipulasi citra, atau tega menghargai  suara rakyat secara tidak selayaknya?
Mengadopsi konsep pemasaran dalam politik seharusnya adalah dengan  mengakomodasi semua kaidah marketing secara utuh. Selain  berorientasi pada inovasi, efisiensi, dan pelayanan, juga harus  ditekankan pada responsibilitas. Responsibilitas pemasaran politik harus  meliputi seluruh stakeholders masyarakat, pemerintah, alam lingkungan,  dan keberlanjutan pembangunan bagi generasi penerus, termasuk segala  aspek interaksi moral dan budaya di dalamnya.
Makna responsibilitas, meliputi kesadaran bahwa aksi dan capaian  politik berupa kekuasaan tidak akan lepas dari pertanggungjawaban  terhadap manusia (publik) maupun terhadap Tuhan. Sebab, meski sang  kandidat berhasil meraih kekuasaan, tetapi dengan cara yang merendahkan  harkat kemanusiaan, maka sejatinya ia telah gagal dalam menjalankan  misinya. Paradigma pemasaran politik mengajarkan bahwa responsibilitas  seorang aktor politik belum akan selesai, sebelum ia  mempertanggungjawabkan seluruh proses serta segenap hasil yang  dicapainya, baik selama di dunia maupun di alam sana. Dengan begitu,  diharapkan kompetisi politik dalam pilkada mendatang tidak menghasilkan  "produk gagal" berupa pemimpin yang tak bertanggung jawab.
Opini Lampung Post 15 Februari 2010
14 Februari 2010
» Home » 
Suara Merdeka » 'Profit Taking' di Pasar Pilkada
'Profit Taking' di Pasar Pilkada
Thank You!