Drs H Achmad Rubaie SH MH
(Anggota DPR RI Fraksi PAN)
Perilaku  politik kalangan pejabat negara dewasa ini kian mencemaskan. Mulai dari  berbagai penyalahgunaan wewenang/kekuasaan atau korupsi, berbagai  bentuk perilaku kriminal lainnya, hingga yang paling naif adalah  keluarnya kata-kata kotor, seperti kata 'bangsat' oleh salah satu  anggota Pansus Skandal Bank Century dalam rapat terbuka yang disiarkan  stasiun televisi secara langsung, beberapa waktu yang lalu.
Bukan  sekadar naif secara moral, tetapi jelas ini melanggar etika jabatan  yang sama sekali tidak memberi pelajaran politik yang baik bagi generasi  masa depan bangsa. Sebagai anggota dewan, sejujurnya penulis merasa  malu tatkala ditanya publik soal keluarnya kata 'bangsat' dalam rapat  secara terbuka itu. Namun, biarlah sejarah mencatat dan masyarakat luas  yang menilai. Karena, faktanya, tidak semua pejabat negara berwatak  buruk dan jahat. 
Betapapun, dalam skala luas, kita sudah melihat  perilaku politik para pejabat negara yang tidak elok dipandang mata.  Misalnya, mencuatnya kasus kriminalisasi, mafia hukum dan peradilan,  makelar kasus, penyuapan, atau korupsi, seperti dalam drama cicak versus  buaya, sel tahanan berbintang lima, dan seterusnya. Ironisnya, ini  justru terjadi dalam lingkaran institusi penegak hukum. 
Inilah  sejatinya tantangan pembangunan bangsa yang amat besar di masa depan.  Betapa tidak, jika pejabat negara saja bisa mencaci maki dengan kata  'bangsat' dalam ruang rapat dan secara terbuka disiarkan media massa,  lalu mafia hukum dan peradilan terjadi dalam institusi penegak hukam itu  sendiri; dapat dibayangkan betapa rusaknya sistem tatanan politik  kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini.
Oleh karena itu,  berpijak pada fakta sosial ini, saya melihat perlu ada upaya untuk  membangun dan mengembangkan nilai-nilai spiritualitas dalam politik.  Spiritualisasi politik sebagai antitesis kian melebarnya sayap  sekularisme yang cenderung memisahkan secara diametral nilai-nilai  spiritualitas (baca:agama) dan politik yang telah mendorong perilaku  politik kalangan pejabat negara kian tidak bermoral dan cenderung  materialistis. 
Dalam konteks inilah, sejatinya perilaku korupsi  di kalangan para pejabat negara itu kian tumbuh subur bagaikan jamur  pada musim penghujan, tanpa mengabaikan variabel-variabel lain yang  turut membentuk karakter pejabat negara itu memiliki mental korup. Salah  satu di antaranya adalah sistem ketatanegaraan kita, khususnya  supremasi hukum yang masih rapuh, kuatnya budaya feodalistik, dan tidak  adanya kesadaran teologis bahwa korupsi dan berbagai bentuk  penyalahgunaan kekuasaan lainnya itu haram dan dosa.
Sekularisme,  dalam terminologi sederhana, adalah materialisme yang sangat  mengedepankan dimensi kehidupan duniawi dan meniadakan seluruh dimensi  kehidupan yang bersifat eskatologis. Berpijak pada kerangka pemikiran  inilah, secara epistemologis praktik politik kalangan pejabat negara  tidak lagi bersandar pada dimensi-dimensi yang bersifat ketuhanan. Oleh  karena itu, mereka cenderung mengabaikan sisi kemanusiaan universal. 
Krisis  modernisme
Matinya spiritualitas dalam politik adalah  konsekuensi logis krisis modernisme. Modernisme yang semata mengagungkan  rasionalitas positivistik ternyata tidak menjamin manusia hidup secara  damai, tenteram, dan sejahtera. Salah satu faktor penting ciri khas  masyarakat modern yang amat prestisius adalah sikap hidupnya yang sangat  agresif dan begitu progresif atas kemajuan ilmu pengetahuan dan  teknologi. Prestasi yang dicapai melalui ilmu pengetahuan dan teknologi  ini telah mengantarkan dirinya pada pola pikir rasionalitas positivistik  dan gaya hidup individualistik.
Akibatnya, pola hubungan umat  manusia tidak lagi didasarkan atas cinta kasih, tetapi lebih pada asas  manfaat dan kepentingan. Dalam pola hubungan seperti ini, manusia tidak  lagi memedulikan kesejahteraan manusia lainnya. Oleh karena itu,  acapkali terjadi eksploitasi antara manusia yang satu dengan manusia  lainnya hanya demi keuntungan bersifat materi. Manusia tidak lagi  dipandang sebagai makhluk Tuhan yang harus dimuliakan sehingga  eksploitasi manusia atas manusia lainnya sulit dihindari.
Bahwasanya  Tuhan telah mati, God is dead , kata Nietzsche, menurut hemat  saya, hanyalah emosi kekecewaan Nietzsche terhadap realitas sosial  kehidupan umat beragama yang selalu melahirkan kekacauan-kekacauan. Hal  ini terjadi karena terlalu kuat dan dominannya kekuasaan dan politik  yang ditopang modernisme yang sangat positivistik yang cenderung  mengabaikan aspek spiritualitas sehingga manusia acapkali terjebak pada  kesalehan simbolik yang hampa nilai dan cinta kasih.
Oleh sebab  itu, John Naisbitt dan Particia Aburdene dalam  Megatrend 2000  (1991: 295) menegaskan bahwa  Spirituality Yes! Organized Religion  No! sebagai bentuk penolakan karena formalisme agama cenderung  membelenggu kreativitas dan kebebasan kemanusiaan yang sejati sehingga  manusia menjadi mandul, hampa kasih sayang, dan sangat egois. 
Namun  demikian, kata Albert Einstein,  Science without religion is lame,  religion without science is blind . Ilmu pengetahuan tanpa agama  akan lumpuh dan agama tanpa ilmu pengetahuan akan buta. Penegasan  Einstein ini menunjukkan adanya hubungan signifikan dan paralel antara  agama dan ilmu pengetahuan, demikian sebaliknya.
Dalam arti kata,  manakala agama tidak disertai ilmu pengetahuan (modern), ia akan  terjebak pada pemahaman sempit, parsial, ekslusif, dan konservatif.  Begitu juga dengan ilmu pengetahuan, jika tidak diimbangi dengan agama,  akan terjadi kehampaan spiritual.
Memang, konstruksi pemikiran  dikotomis yang cenderung memisahkan antara aspek religiositas  (keagamaan) dan ilmu pengetahuan modern akan melahirkan  ketidakseimbangan pola hidup yang pada gilirannya akan menjadikan  manusia teralienasi. Alexiz Correl (1987) mengatakan bahwa semenjak  lahirnya industrialisasi, manusia dipaksa berada dalam wilayah-wilayah  yang terbatas. Dalam konteks ini, menurut Correl, manusia teralienasi  dari masyarakatnya, bahkan dirinya sendiri.
Erich Fromm  mengatakan, manusia modern kini menjadi masyarakat teknokratis yang  terkoordinasi dan cenderung bergerak pada penyatuan kesadaran individu.  Rasa cinta dan kasih sayang hilang ditelan hiruk pikuknya modernisme dan  globalisasi yang terasa 'kejam'. Hubungan sesama manusia sebatas  keakraban dangkal yang selalu didasarkan atas kepentingan-kepentingan  egoistis, bukan oleh rasa solidaritas dan cinta kasih untuk sesamanya.  Salah satu ciri manusia modern adalah menginginkan segala sesuatu serta  kesenangan dan kebahagiaan tanpa harus bekerja secara aktif dan  produktif.
Dalam konstelasi pemikiran ini, perlu ada  spiritualisasi dalam politik guna tercipta mekanisme politik yang lebih  manusiawi. Artinya, nilai-nilai spiritualitas bagi proses pembangunan  kesalehan individual penting agar terjadi transformasi kesalehan sosial  yang melampaui batas komunalitas dalam politik yang dewasa ini cenderung  eksploitatif dan tidak beradab.  Wallahualam .
Opini Republika 12 Februari 2010
14 Februari 2010
Spiritualisasi Politik
Thank You!