14 Februari 2010

» Home » Republika » Spiritualisasi Politik

Spiritualisasi Politik

Drs H Achmad Rubaie SH MH
(Anggota DPR RI Fraksi PAN)

Perilaku politik kalangan pejabat negara dewasa ini kian mencemaskan. Mulai dari berbagai penyalahgunaan wewenang/kekuasaan atau korupsi, berbagai bentuk perilaku kriminal lainnya, hingga yang paling naif adalah keluarnya kata-kata kotor, seperti kata 'bangsat' oleh salah satu anggota Pansus Skandal Bank Century dalam rapat terbuka yang disiarkan stasiun televisi secara langsung, beberapa waktu yang lalu.

Bukan sekadar naif secara moral, tetapi jelas ini melanggar etika jabatan yang sama sekali tidak memberi pelajaran politik yang baik bagi generasi masa depan bangsa. Sebagai anggota dewan, sejujurnya penulis merasa malu tatkala ditanya publik soal keluarnya kata 'bangsat' dalam rapat secara terbuka itu. Namun, biarlah sejarah mencatat dan masyarakat luas yang menilai. Karena, faktanya, tidak semua pejabat negara berwatak buruk dan jahat.

Betapapun, dalam skala luas, kita sudah melihat perilaku politik para pejabat negara yang tidak elok dipandang mata. Misalnya, mencuatnya kasus kriminalisasi, mafia hukum dan peradilan, makelar kasus, penyuapan, atau korupsi, seperti dalam drama cicak versus buaya, sel tahanan berbintang lima, dan seterusnya. Ironisnya, ini justru terjadi dalam lingkaran institusi penegak hukum.

Inilah sejatinya tantangan pembangunan bangsa yang amat besar di masa depan. Betapa tidak, jika pejabat negara saja bisa mencaci maki dengan kata 'bangsat' dalam ruang rapat dan secara terbuka disiarkan media massa, lalu mafia hukum dan peradilan terjadi dalam institusi penegak hukam itu sendiri; dapat dibayangkan betapa rusaknya sistem tatanan politik kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini.

Oleh karena itu, berpijak pada fakta sosial ini, saya melihat perlu ada upaya untuk membangun dan mengembangkan nilai-nilai spiritualitas dalam politik. Spiritualisasi politik sebagai antitesis kian melebarnya sayap sekularisme yang cenderung memisahkan secara diametral nilai-nilai spiritualitas (baca:agama) dan politik yang telah mendorong perilaku politik kalangan pejabat negara kian tidak bermoral dan cenderung materialistis.

Dalam konteks inilah, sejatinya perilaku korupsi di kalangan para pejabat negara itu kian tumbuh subur bagaikan jamur pada musim penghujan, tanpa mengabaikan variabel-variabel lain yang turut membentuk karakter pejabat negara itu memiliki mental korup. Salah satu di antaranya adalah sistem ketatanegaraan kita, khususnya supremasi hukum yang masih rapuh, kuatnya budaya feodalistik, dan tidak adanya kesadaran teologis bahwa korupsi dan berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan lainnya itu haram dan dosa.

Sekularisme, dalam terminologi sederhana, adalah materialisme yang sangat mengedepankan dimensi kehidupan duniawi dan meniadakan seluruh dimensi kehidupan yang bersifat eskatologis. Berpijak pada kerangka pemikiran inilah, secara epistemologis praktik politik kalangan pejabat negara tidak lagi bersandar pada dimensi-dimensi yang bersifat ketuhanan. Oleh karena itu, mereka cenderung mengabaikan sisi kemanusiaan universal.

Krisis modernisme
Matinya spiritualitas dalam politik adalah konsekuensi logis krisis modernisme. Modernisme yang semata mengagungkan rasionalitas positivistik ternyata tidak menjamin manusia hidup secara damai, tenteram, dan sejahtera. Salah satu faktor penting ciri khas masyarakat modern yang amat prestisius adalah sikap hidupnya yang sangat agresif dan begitu progresif atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Prestasi yang dicapai melalui ilmu pengetahuan dan teknologi ini telah mengantarkan dirinya pada pola pikir rasionalitas positivistik dan gaya hidup individualistik.

Akibatnya, pola hubungan umat manusia tidak lagi didasarkan atas cinta kasih, tetapi lebih pada asas manfaat dan kepentingan. Dalam pola hubungan seperti ini, manusia tidak lagi memedulikan kesejahteraan manusia lainnya. Oleh karena itu, acapkali terjadi eksploitasi antara manusia yang satu dengan manusia lainnya hanya demi keuntungan bersifat materi. Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk Tuhan yang harus dimuliakan sehingga eksploitasi manusia atas manusia lainnya sulit dihindari.

Bahwasanya Tuhan telah mati, God is dead , kata Nietzsche, menurut hemat saya, hanyalah emosi kekecewaan Nietzsche terhadap realitas sosial kehidupan umat beragama yang selalu melahirkan kekacauan-kekacauan. Hal ini terjadi karena terlalu kuat dan dominannya kekuasaan dan politik yang ditopang modernisme yang sangat positivistik yang cenderung mengabaikan aspek spiritualitas sehingga manusia acapkali terjebak pada kesalehan simbolik yang hampa nilai dan cinta kasih.

Oleh sebab itu, John Naisbitt dan Particia Aburdene dalam  Megatrend 2000 (1991: 295) menegaskan bahwa  Spirituality Yes! Organized Religion No! sebagai bentuk penolakan karena formalisme agama cenderung membelenggu kreativitas dan kebebasan kemanusiaan yang sejati sehingga manusia menjadi mandul, hampa kasih sayang, dan sangat egois.

Namun demikian, kata Albert Einstein,  Science without religion is lame, religion without science is blind . Ilmu pengetahuan tanpa agama akan lumpuh dan agama tanpa ilmu pengetahuan akan buta. Penegasan Einstein ini menunjukkan adanya hubungan signifikan dan paralel antara agama dan ilmu pengetahuan, demikian sebaliknya.

Dalam arti kata, manakala agama tidak disertai ilmu pengetahuan (modern), ia akan terjebak pada pemahaman sempit, parsial, ekslusif, dan konservatif. Begitu juga dengan ilmu pengetahuan, jika tidak diimbangi dengan agama, akan terjadi kehampaan spiritual.

Memang, konstruksi pemikiran dikotomis yang cenderung memisahkan antara aspek religiositas (keagamaan) dan ilmu pengetahuan modern akan melahirkan ketidakseimbangan pola hidup yang pada gilirannya akan menjadikan manusia teralienasi. Alexiz Correl (1987) mengatakan bahwa semenjak lahirnya industrialisasi, manusia dipaksa berada dalam wilayah-wilayah yang terbatas. Dalam konteks ini, menurut Correl, manusia teralienasi dari masyarakatnya, bahkan dirinya sendiri.

Erich Fromm mengatakan, manusia modern kini menjadi masyarakat teknokratis yang terkoordinasi dan cenderung bergerak pada penyatuan kesadaran individu. Rasa cinta dan kasih sayang hilang ditelan hiruk pikuknya modernisme dan globalisasi yang terasa 'kejam'. Hubungan sesama manusia sebatas keakraban dangkal yang selalu didasarkan atas kepentingan-kepentingan egoistis, bukan oleh rasa solidaritas dan cinta kasih untuk sesamanya. Salah satu ciri manusia modern adalah menginginkan segala sesuatu serta kesenangan dan kebahagiaan tanpa harus bekerja secara aktif dan produktif.

Dalam konstelasi pemikiran ini, perlu ada spiritualisasi dalam politik guna tercipta mekanisme politik yang lebih manusiawi. Artinya, nilai-nilai spiritualitas bagi proses pembangunan kesalehan individual penting agar terjadi transformasi kesalehan sosial yang melampaui batas komunalitas dalam politik yang dewasa ini cenderung eksploitatif dan tidak beradab.  Wallahualam .

Opini Republika 12 Februari 2010