Henry Bergson, filsuf Prancis modern, membagi cara seseorang memperoleh  pengetahuan ke dalam dua jenis (Kattsoff, 1992). Pertama, pengetahuan  yang diperoleh melalui simbol-simbol.
Itulah yang disebut dengan  pengetahuan diskursif. Di sini simbol- simbol––yakni lambang-lambang  bahasa––dipakai untuk menerjemahkan suatu objek pengetahuan ke dalam  sebuah uraian (wacana, diskursus). Pengetahuan diskursif tak pernah  lengkap karena sebuah uraian dengan bahasa tak bisa menggambarkan  keseluruhan objek. Sudut pandang atau kerangka acuan yang dipakai tiap  penerjemah sangat menentukan hasil pengetahuan diskursif yang  dimilikinya. Karena hanya melukiskan sebuah objek dari satu sudut  penglihatan tertentu serta tidak bersentuhan dengan objek tersebut  secara langsung, pengetahuan diskursif tidak pernah mengalami totalitas.
Kelemahan  inilah yang diatasi oleh jenis pengetahuan yang kedua, pengetahuan  intuitif. Titik tolak pengetahuan intuitif adalah pengalaman, bukan  indera belaka. Intuisi adalah sebuah sarana untuk mengetahui secara  langsung dan seketika (real time). Intuisi mengatasi sifat lahiriah  pengetahuan diskursif dan memberikan kepada kita keseluruhan realitas  secara bersahaja, tanpa sesuatu ungkapan, terjemahan atau penggambaran  secara simbolis. Pengetahuan intuitif menjanjikan totalitas.
Sayangnya,  pengetahuan intuitif cenderung dimiliki hanya oleh orang yang  mengalaminya karena ia sukar atau tidak dapat diberitahukan kepada orang  lain. Begitu ia diterjemahkan ke dalam sebuah paparan, seketika itu  pula berubah bentuk menjadi pengetahuan diskursif. Walaupun begitu,  kejujuran merupakan jembatan emas untuk mengantarkan pengetahuan  intuitif kepada pengetahuan intuitif.
Politik Diskursif
Dengan  sedikit modifikasi, kiranya penjelasan jenis pengetahuan diskursif dan  intuitif tersebut dapat kita terapkan untuk melihat perilaku politik  elite dan massa kita akhir-akhir ini. Terutama sejak bergulirnya  pelaksanaan hak angket oleh Pansus Bank Century, praktik politik  diskursif tersebut meningkat tajam. Pusat arenanya adalah panggung  sidang Pansus di Gedung DPR RI.
Objek diskursifnya adalah  pengambilan keputusan oleh para pejabat BI dan KSSK untuk menyelamatkan  Bank Century. Melalui laporan media, termasuk siaran langsung TV, kita  dapat menyaksikan para politikus kita, baik selaku pemeriksa maupun yang  terperiksa, mempraktikkan politik diskursif ini. Kedua pihak dengan  latar belakang politik yang berbeda-beda mencoba dengan sekuat tenaga  mengonstruksikan pesan politiknya yang dianggapnya paling layak demi  kepentingan politik masing-masing. Ada tiga strategi yang digunakan  mereka manakala mempraktikkan politik diskursif tersebut.
Pertama,  signing strategy, yaitu strategi menggunakan bahasa verbal maupun  nonverbal mulai dari kata-kata, idiom, kalimat, paragraf, ilustrasi  hingga bahasa tubuh. Kedua,  framing strategy, yaitu upaya memilih fakta  yang akan disampaikan atau disembunyikan kepada publik. Ketiga, priming  strategy, yaitu strategi mengatur waktu dan tempat untuk menyampaikan  pesan politik yang telah disusunnya. Pada tahap pemeriksaan, telah kita  saksikan pemeriksa dari pihak oposisi (anggota Pansus dari PDIP, Hanura,  Gerindra) menggunakan ketiga strategi itu untuk menelanjangi kasus.  Bahasa verbal dan nonverbal yang dipakai serta fakta yang diungkapkan  diarahkan untuk membuka tabir kasus. Mereka juga tampak mengatur waktu  dalam mengungkapkan pesan politik, mana yang didahulukan dan mana yang  dibelakangkan.
Pemeriksa yang berada dalam barisan koalisi  cenderung terbelah dua. Anggota Pansus dari Partai Golkar, PKS, PAN, PPP  dalam banyak hal menggunakan tiga strategi itu secara menyengat dan  anggota Pansus dari Partai Demokrat dan PKB lebih banyak mengatur tiga  strategi itu untuk membela pihak yang terperiksa. Adapun pihak  terperiksa, jika berada dalam posisi dimintai konfirmasi alias  dikonfrontasi, secara karikatural dapat dilihat dari cara mantan  Gubernur BI menjelaskan kasus. Konstruksi pesan politiknya serba  tersamar. Adapun jika berada dalam posisi dimintai klarifikasi atau  keterangan, secara karikatural pula dapat dilihat dari cara mantan Wakil  Presiden Jusuf Kalla menjelaskan kasus.
Konstruksi pesan  politiknya terbuka. Menjelang berakhirnya Pansus, dengan kesimpulan  sementaranya kita kembali disuguhi politik diskursif yang kontras antara  yang setuju dan tidak setuju bailout Bank Century. Dalam signing  strategy-nya, kubu yang setuju––diwakili oleh Partai Demokrat dan  PKB––menyatakan bahwa kebijakan bailout itu sudah sesuai dengan aturan.  Framing strategy-nya adalah mengungkapkan potensi krisis yang mengancam  saat bailout itu dilaksanakan. Alasan “menyelamatkan kepentingan ekonomi  yang lebih besar” menjadi priming strategy kubu ini. Inilah signing  strategy dari kubu yang tidak setuju–– diwakili PDIP, Hanura, PAN,  Golkar, Gerindra, PPP, dan PKS––bahwa kebijakan bailoutitu menyalahi  prosedur dan ada indikasi tindak pidana.
Dalam framing  strategy-nya PDIP mengurai 70 penyimpangan, Hanura 62, PAN 60, PG 59,  Gerindra 34, PPP 27, dan PKS 18. Tampaknya, harga diri partailah yang  menjadi priming strategy mereka. Di luar gedung Dewan kita juga  menyaksikan praktik politik diskursif ini. Dalam sebuah diskusi, kubu  Demokrat membangun diskursus reshuffle kabinet. Sementara para pemrotes  melakukan politik diskursif secara nyeleneh: membawa kerbau yang memuat  pesan politik saat berdemonstrasi. Respons Presiden SBY terhadap beragam  peristiwa politik akhir-akhir ini sesungguhnya juga adalah politik  diskursif.
Politik Intuitif: Menanti Kejujuran Para  Pelaku
Seperti sudah kita saksikan terkait kasus bailout  Bank Century itu, praktik politik diskursif melalui tiga strateginya  bisa digunakan untuk hal-hal yang positif jika dipakai untuk  mengungkapkan kebenaran. Namun, hal itu akan negatif bila digunakan  untuk persekongkolan. Andai didorong oleh sikap idealisme, politik  diskursif bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan good government dan clean  governance karena pesan politiknya dipenuhi dengan kejujuran,  keterusterangan, dan berorientasi pada pemecahan masalah.
Namun  jika syahwat berkuasa yang merasuki, sudah pasti politik diskursif akan  disalahgunakan demi mempertahankan tahta dan jabatan. Karena itulah,  dalam menyikapi penyelesaian kasus-kasus seperti kasus bailout Bank  Century itu, semua pihak mesti legawa. Adalah para pihak yang terlibat  langsung dalam pengambilan keputusan yang pertama-tama harus terbuka,  jujur, dan berkata apa adanya. Hendaknya mereka tidak terjebak ke dalam  politik diskursif yang defensif. Adalah mereka pula yang sebetulnya  paling berpeluang untuk berpolitik intuitif karena merekalah yang  mengalami kejadian yang sebenarnya, termasuk ke mana saja uang itu  mengalir.
Dalam kejaran waktu ke akhir kerja Pansus, kita sangat  menantikan kejujuran politik intuitif mereka ini, sebab kita ingin  banyak belajar dari peristiwa yang sesungguhnya, bukan dari peristiwa  yang sudah dipermak melalui politik diskursus yang kadung membuahkan  sikap saling curiga.(*)
Ibnu Hamad
Profesor Ilmu  Komunikasi FISIP Universitas Indonesia
Opini Okezone 11 Februari 2010 
14 Februari 2010
Politik Diskursif vs Politik Intuitif
Thank You!