14 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Jembatan Layang dan Blok Cepu

Jembatan Layang dan Blok Cepu

KONSTELASI ekonomi dan kebijakan sosial di mana pekerjaan sosial dan pengembangan masyarakat beroperasi telah berubah secara signifikan sejak tahun 1970-an. Menurut Mayo (1998), perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi oleh proses globalisasi: sebuah ekspresi yang sangat populer sejak tahun 1980-an.

Globalisasi menggantikan kata internasionalisasi, istilah yang oleh Dominelly dan Hoogvelts (1996:46) disebut sebagai pengintensifan jaringan-jaringan hubungan sosial dan ekonomi yang luar biasa.


Dalam kajian Taylor-Gooby (1994), Dominelly dan Hoogvelts (1996), dan Penna dan O-Brien (1996), perubahan sosial dan ekonomi tersebut juga sejalan dengan munculnya sejumlah terma yang ditandai dengan awalan post-fordism, post-structuralism, dan post- modernism, Terlepas dari adanya perbedaan-perbedaan dalam wilayah nasional dan lokal, perubahan-perubahan sosial berlangsung secara global dan universal.

Secara ringkas, kecenderungan-kecenderungan yang tengah terjadi di berbagai belahan bumi menyangkut peningkatan ekonomi pasar bebas, privatisasi, fragmentasi pelayanan sosial, serta teknokrasi pekerjaan sosial dalam budaya kontrak (Dominelli dan Hoogvelt, 1996). Pergeseran-pergeseran tersebut selain menimbulkan ancaman-ancaman serius, juga melahirkan kontradiksi-kontradiksi baru.

Jika kita geser pada posisi kebutuhan masyarakat yang lebih spesifik, maka akan nampak sekali jika banyak variabel yang menunjukkan kondisi kebutuhan masyarakat yang secara umum merupakan bentuk akumulasi bagian yang tidak terpisahkan di era globalisasi. Namun terkadang hal tersebut walaupun disadari akan tetapi banyak yang dimungkiri.

Salah satu bentuk yang spesifik sangat perlu dibicarakan adalah kebutuhan atas jembatan layang (fly over) merupakan suatu ornamen peradaban yang hadir di tengah masyarakat yang ingin memenuhi kebutuhan secara lebih cepat dan praktis.

Selain itu kebutuhan atas jembatan layang juga merupakan suatu pranata untuk menggeser persoalan-persoalan yang  muncul dalam memenuhi kebutuhan seperti kemacetan dan lain sebagainya.

Jembatan Layang adalah titian besar dari besi dan aspal atau beton yang terbentang di atas jalan yang menghubungkan jalan yang satu dengan jalan yang lainnya. Pada tahun 1966 di Indonesia, jalan-jalan umumnya masih sempit dan kurang terpelihara, di samping itu panjang jalan yang ada tidak dapat lagi menampung lalu lintas kendaraan.
Kemacetan Panjang jalan kurang lebih 800 km, sedangkan jumlah kendaraan telah mencapai 157.619 buah. Ini berarti bahwa setiap kilometer jalan dipenuhi kurang lebih 200 kendaraan. Kondisi ini tentu saja rawan kemacetan di dalam kota diperkirakan bergerak hanya 20 km/jam.

Hal lain yang turut menambah kemacetan lalu lintas adalah adanya persimpangan-persimpangan jalan, baik antara jalan utama maupun jalan sekunder, belum lagi banyaknya persimpangan-persimpangan jalan kereta api mempunyai frekuensi yang cukup tinggi, betul-betul memicu terjadinya kemacetan-kemacetan. Setiap kali terjadi penutupan jalan, maka tidak jarang hal tersebut mengakibatkan kemacetan bahkan terhentinya lalu lintas.

Salah satu upaya untuk peningkatan kelancaran lalu lintas adalah dengan menghilangkan persimpangan sebidang di antara jalan utama ataupun jalan utama dengan jalan kereta api adalah melalui pembangunan jalan layang. Selain mengurangi angka kemacetan lalu lintas, jembatan layang mempunyai fungsi untuk meningkatkan kelancaran lalu lintas dan untuk meningkatkan kemampuan simpang-simpang. Namun seiring majunya peradaban zaman, ternyata jembatan layang juga mampu mengatasi persoalan lain semisal mengatasi banjir. Hal tersebut sangat nampak ketika banjir melanda Jalan Trans Kalimantan, poros selatan yang menghubungkan Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.

Banyak manfaat penting yang didapatkan dari adanya jembatan layang. Namun yang pastinya penempatan perencanaan pembangunan yang ada harus sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu dengan tidak mengesampingkan aspek-aspek lain dalam pembangunan yang akan dijalankan sebagaimana mestinya.

Penulis sebagai salah satu dari pengguna jalan Semarang-Purwodadi, dan bertahun tahun lajo mempunyai masalah setiap hari dengan kemacetan dari Subterminal Penggaron, PT Sai Apparel, Pasar Mranggen, Pasar Ganefo, sampai rel kereta api yang melintang di Jalan Raya Kembang Arum, mendambakan kehadiran jalan layang.

Seandainya jembatan atau jalan layang atau fly over dibuat di atas rel Jalan Kembang Arum Mranggen Kabupaten Demak tentu akan menjadikan perjalanan lebih lancar menuju tujuan. Perlu kita ingat pula jalan ini adalah jalan vital dari arah semarang yang menyambungkan dengan Cepu, Kabupaten Blora di mana ada sebagian wilayah Blok Cepu, dan pengguna jalan tidak hanya pekerja yang melintasi jalan ini, tetapi investor mancanegara.

Percepatan laju pembangunan jembatan layang inipun di samping mengurangi kepadatan arus lalu lintas juga menyukseskan hubungan face to face, berhadap-hadapannya dengan negara lain. (10)

— Rr Noer Indah Aprianti, guru SMP Negeri 1 Mranggen, Kabupaten Demak
Wacana Suara Merdeka 15 Februari 2010