14 Februari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Perspektif Politik Hukum

Perspektif Politik Hukum

Roda pemerintahan yang dikonstruksi dengan bangunan demokrasi, hasil Pemilu 2009, awalnya menjadi harapan banyak orang. Akan tetapi, kini, geliat kediriannya seakan-akan berada di luar kehendak pemilik kedaulatan. Entah apa yang menyebabkan problem dalam mengelola negara ini, seakan menjadi permasalahan yang tak pernah tuntas terselesaikan. Selalu ada reinkarnasi problem bangsa. Penyelesaian politik sering lebih mengemuka. Padahal, kalau merenungi dan menghikmati keberdirian negara ini, founding fathers tidak mengonstruksi bangunan negara Indonesia berdasarkan kekuasaan, melainkan justru dengan sadar dan visioner disandarkan pada hukum.


Persoalannya, dalam titik singgung antara kekuasaan (politik) dan hukum, apakah sudah ditopang oleh kesadaran budaya seluruh anasir bangsa? Kalau, memang negara ini dibangun berdasarkan hukum, lalu, kenapa hukum terus-menerus berada dalam ketimpangan yang menganga dalam setiap praktiknya di lapangan? Apakah hukum yang berlaku (positif) untuk sekelompok/lapisan tertentu saja yang tegak? Lalu, punyakah kita kepercayaan terhadap sistem hukum yang berlaku?

Negara ini, mestinya berjalan berdasarkan hukum, tetapi ambisi kekuasaan dalam penyelenggaraan negara ini, acapkali menjauh dari tujuannya. Sosok negara yang mestinya adalah ”pertemuan harapan” dengan rakyatnya, justru berbanding terbalik, ketika hukum pun mencekam bagi rakyat (kecil). Padahal, pertemuan harapan itu dapat berjalan melalui hukum. Hukum sepatutnya menjadi tempat yang aman bagi rakyat dan kehidupan politik negara bangsa ini, bukan untuk membunuh rakyatnya atau lawan politiknya, karena semata-mata kekuasaan. Jangan sampai terjadi ”perselingkuhan” berdasarkan hukum untuk menekan kritisisme rakyat terhadap kebobrokan penyelenggaraan negara.

Memang, fakta sosialnya, kepastian hukum menjadi ”barang” mahal di republik ini. Ia ada, tetapi kerap kali singgah di singgasana ketidakpastian dan belantara kesesatan dalam merumuskan dan merealisasikannya. Bahkan tidak sedikit produk perundang-undangan, satu sama lainnya pun, terjadi tumpang tindih. Produk-produk hukum yang dihasilkan lembaga negara (politik) seyogianya dijalankan dengan konsisten. Akan tetapi, persoalan berikutnya, apakah produk-produk hukum tersebut, sudah benar-benar berada dalam kapasitas merealisasikan tujuan negara/nasional? Atau, jangan-jangan produk-produk hukum tersebut justru jauh dari harapan keinginan tujuan negara ini? Oleh karena itu, hukum yang tadinya ditempatkan sebagai penjamin pengaturan pelaksanaan pemerintahan, justru terbalik dengan segala produknya berupa perundang-undangan yang hanya untuk kepentingan penguasa, atau hukum tersebut hanya untuk memfasilitasi kepentingan beberapa orang yang berkuasa.

Pertautan bahwa hukum sebagai tata aturan yang menjamin kehidupan semua warga negara dalam setiap gerak langkah konstitusionalnya, maka pelaksanaan politik hukum berupa produk legislasi hukum (UU) yang blue print-nya digagas oleh DPR dan pemerintah diarahkan dalam kerangka pelaksanaan konstitusi (UUD 45) untuk pencapaian tujuan nasional.

Bersamaan dengan itu, politik hukum Indonesia, pertama, produk-produk hukum yang dihasilkan oleh DPR, secara vertikal tidak bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945), justru harus dipastikan selaras dengan UUD 1945, sebagai perwujudan implementasinya.

Kedua, secara horizontal, produk hukum juga tidak bertentangan yang satu dengan yang lainnya dan bersifat nasional. Artinya, hukum sebagai kesatuan hierarki dalam implementasi kehidupan bernegara dan berbangsa, menjadi kepastian gerak langkahnya pemerintahan. Di samping itu, produk-produk hukum tersebut mestinya minim tafsir untuk menghindari kelalaian pelaksana pemerintahan.

Ketiga, dengan produk hukum yang secara vertikal selaras atau tidak bertentangan dengan konstitusi dan secara horizontal tidak tumpang tindih, ini berarti harus tumbuh harmonisasi dan unifikasi hukum, agar efisien. Secara faktual banyak produk hukum (perundang-undangan) yang secara konstitusi terjadi tabrakan satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, produk-produk hukum itu acapkali mudah di-review atau dibatalkan melalui Mahkamah Konstitusi (MK), di antaranya untuk menyebutkan beberapa saja, adalah UU Ketenagalistrikan, UU Pemerintahan Daerah, UU Komisi Yudisial, UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan UU KPK, serta UU Pemilu, padahal berapa banyak uang yang telah dikeluarkan untuk memproses produk hukum tersebut.

Tampaknya, dalam perspektif politik hukum itulah, unifikasi perundang-undangan sebagai energi atau bahan bakar positif dalam merealisasikan cita-cita negara, harus ditingkatkan melalui fungsi legislasi DPR untuk mengonstruksi grand design politik hukum nasional. Dan dalam perspektif politik hukum Indonesia ini, tidak bisa tidak membutuhkan adanya skala prioritas yang harus dibangun dalam menggodok perundang-undangan.

Lalu, bagaimana memacu lembaga-lembaga penegak hukum, dalam hal penegakan hukum tidak terpisah atau berdiri sendiri dengan keadilan masyarakat? Kemudian, mengupayakan payung hukumnya yang sama serta tidak terpisah-pisah antarlembaga penegak hukum. Hal itu untuk menghindari adanya ketidakharmonisan antarlembaga penegak hukum. Jadi, penegakan hukum bukan berdasar atau tergantung kepada dukungan (seperti kasus Bibit-Chandra), akhir-akhir ini. Sehingga, aparat penyelenggara hukum tidak bermain-main dengan rasa keadilan masyarakat, atau masyarakat tidak skeptis terhadap penegak hukum.

Memang, kualitas demokrasi kita dengan seperangkat produknya berupa perundang-undangan, masih asimetris atau jauh dari rasa adil bagi masyarakatnya. Hukum masih sering kali dibelokkan oleh kekuasaan untuk membunuh lawan-lawan politiknya. Akibatnya, konstelasi politik pun senantiasa tidak sehat. Dengan demikian, hierarki hukum yang masih compang-camping dari pusat hingga daerah, atau produk-produk legislasi sangat jauh dari cita-cita negara, perlu segera dibenahi kembali oleh politik hukum yang makin berkait erat dengan semangat membangun martabat dan karakter bangsa sekaligus untuk mewujudkan (sebagai kehidupan keseharian) seluruh cita-cita kemerdekaan bangsa. Dalam arti, dinamikanya dalam ukuran penggodokan produk perundang-undangan itu tidak ditentukan oleh siapa mendapatkan apa, melainkan, sebagai rule of the game menjamin nilai-nilai keadilan dalam kehidupan bernegara dengan mendapatkan hak-haknya untuk sejahtera, merdeka, dan berdaulat.***

Penulis, anggota Komisi III DPR RI.
Opini PIkiran Rakyat 15 Februari 2010