Roda pemerintahan yang dikonstruksi dengan bangunan demokrasi, hasil  Pemilu 2009, awalnya menjadi harapan banyak orang. Akan tetapi, kini,  geliat kediriannya seakan-akan berada di luar kehendak pemilik  kedaulatan. Entah apa yang menyebabkan problem dalam mengelola negara  ini, seakan menjadi permasalahan yang tak pernah tuntas terselesaikan.  Selalu ada reinkarnasi problem bangsa. Penyelesaian politik sering lebih  mengemuka. Padahal, kalau merenungi dan menghikmati keberdirian negara  ini, founding fathers tidak mengonstruksi bangunan negara Indonesia  berdasarkan kekuasaan, melainkan justru dengan sadar dan visioner  disandarkan pada hukum.
Persoalannya, dalam titik singgung antara kekuasaan (politik) dan hukum,  apakah sudah ditopang oleh kesadaran budaya seluruh anasir bangsa?  Kalau, memang negara ini dibangun berdasarkan hukum, lalu, kenapa hukum  terus-menerus berada dalam ketimpangan yang menganga dalam setiap  praktiknya di lapangan? Apakah hukum yang berlaku (positif) untuk  sekelompok/lapisan tertentu saja yang tegak? Lalu, punyakah kita  kepercayaan terhadap sistem hukum yang berlaku?
Negara ini, mestinya berjalan berdasarkan hukum, tetapi ambisi kekuasaan  dalam penyelenggaraan negara ini, acapkali menjauh dari tujuannya.  Sosok negara yang mestinya adalah ”pertemuan harapan” dengan rakyatnya,  justru berbanding terbalik, ketika hukum pun mencekam bagi rakyat  (kecil). Padahal, pertemuan harapan itu dapat berjalan melalui hukum.  Hukum sepatutnya menjadi tempat yang aman bagi rakyat dan kehidupan  politik negara bangsa ini, bukan untuk membunuh rakyatnya atau lawan  politiknya, karena semata-mata kekuasaan. Jangan sampai terjadi  ”perselingkuhan” berdasarkan hukum untuk menekan kritisisme rakyat  terhadap kebobrokan penyelenggaraan negara.
Memang, fakta sosialnya, kepastian hukum menjadi ”barang” mahal di  republik ini. Ia ada, tetapi kerap kali singgah di singgasana  ketidakpastian dan belantara kesesatan dalam merumuskan dan  merealisasikannya. Bahkan tidak sedikit produk perundang-undangan, satu  sama lainnya pun, terjadi tumpang tindih. Produk-produk hukum yang  dihasilkan lembaga negara (politik) seyogianya dijalankan dengan  konsisten. Akan tetapi, persoalan berikutnya, apakah produk-produk hukum  tersebut, sudah benar-benar berada dalam kapasitas merealisasikan  tujuan negara/nasional? Atau, jangan-jangan produk-produk hukum tersebut  justru jauh dari harapan keinginan tujuan negara ini? Oleh karena itu,  hukum yang tadinya ditempatkan sebagai penjamin pengaturan pelaksanaan  pemerintahan, justru terbalik dengan segala produknya berupa  perundang-undangan yang hanya untuk kepentingan penguasa, atau hukum  tersebut hanya untuk memfasilitasi kepentingan beberapa orang yang  berkuasa.
Pertautan bahwa hukum sebagai tata aturan yang menjamin kehidupan semua  warga negara dalam setiap gerak langkah konstitusionalnya, maka  pelaksanaan politik hukum berupa produk legislasi hukum (UU) yang blue  print-nya digagas oleh DPR dan pemerintah diarahkan dalam kerangka  pelaksanaan konstitusi (UUD 45) untuk pencapaian tujuan nasional.
Bersamaan dengan itu, politik hukum Indonesia, pertama, produk-produk  hukum yang dihasilkan oleh DPR, secara vertikal tidak bertentangan  dengan konstitusi (UUD 1945), justru harus dipastikan selaras dengan UUD  1945, sebagai perwujudan implementasinya. 
Kedua, secara horizontal, produk hukum juga tidak bertentangan yang satu  dengan yang lainnya dan bersifat nasional. Artinya, hukum sebagai  kesatuan hierarki dalam implementasi kehidupan bernegara dan berbangsa,  menjadi kepastian gerak langkahnya pemerintahan. Di samping itu,  produk-produk hukum tersebut mestinya minim tafsir untuk menghindari  kelalaian pelaksana pemerintahan.
Ketiga, dengan produk hukum yang secara vertikal selaras atau tidak  bertentangan dengan konstitusi dan secara horizontal tidak tumpang  tindih, ini berarti harus tumbuh harmonisasi dan unifikasi hukum, agar  efisien. Secara faktual banyak produk hukum (perundang-undangan) yang  secara konstitusi terjadi tabrakan satu dengan yang lainnya. Oleh karena  itu, produk-produk hukum itu acapkali mudah di-review atau dibatalkan  melalui Mahkamah Konstitusi (MK), di antaranya untuk menyebutkan  beberapa saja, adalah UU Ketenagalistrikan, UU Pemerintahan Daerah, UU  Komisi Yudisial, UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan UU KPK, serta  UU Pemilu, padahal berapa banyak uang yang telah dikeluarkan untuk  memproses produk hukum tersebut.
Tampaknya, dalam perspektif politik hukum itulah, unifikasi  perundang-undangan sebagai energi atau bahan bakar positif dalam  merealisasikan cita-cita negara, harus ditingkatkan melalui fungsi  legislasi DPR untuk mengonstruksi grand design politik hukum nasional.  Dan dalam perspektif politik hukum Indonesia ini, tidak bisa tidak  membutuhkan adanya skala prioritas yang harus dibangun dalam menggodok  perundang-undangan.
Lalu, bagaimana memacu lembaga-lembaga penegak hukum, dalam hal  penegakan hukum tidak terpisah atau berdiri sendiri dengan keadilan  masyarakat? Kemudian, mengupayakan payung hukumnya yang sama serta tidak  terpisah-pisah antarlembaga penegak hukum. Hal itu untuk menghindari  adanya ketidakharmonisan antarlembaga penegak hukum. Jadi, penegakan  hukum bukan berdasar atau tergantung kepada dukungan (seperti kasus  Bibit-Chandra), akhir-akhir ini. Sehingga, aparat penyelenggara hukum  tidak bermain-main dengan rasa keadilan masyarakat, atau masyarakat  tidak skeptis terhadap penegak hukum.
Memang, kualitas demokrasi kita dengan seperangkat produknya berupa  perundang-undangan, masih asimetris atau jauh dari rasa adil bagi  masyarakatnya. Hukum masih sering kali dibelokkan oleh kekuasaan untuk  membunuh lawan-lawan politiknya. Akibatnya, konstelasi politik pun  senantiasa tidak sehat. Dengan demikian, hierarki hukum yang masih  compang-camping dari pusat hingga daerah, atau produk-produk legislasi  sangat jauh dari cita-cita negara, perlu segera dibenahi kembali oleh  politik hukum yang makin berkait erat dengan semangat membangun martabat  dan karakter bangsa sekaligus untuk mewujudkan (sebagai kehidupan  keseharian) seluruh cita-cita kemerdekaan bangsa. Dalam arti,  dinamikanya dalam ukuran penggodokan produk perundang-undangan itu tidak  ditentukan oleh siapa mendapatkan apa, melainkan, sebagai rule of the  game menjamin nilai-nilai keadilan dalam kehidupan bernegara dengan  mendapatkan hak-haknya untuk sejahtera, merdeka, dan berdaulat.***
Penulis, anggota Komisi III DPR RI.
Opini PIkiran Rakyat 15 Februari 2010