14 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Syirik Intelektual Itu Plagiarisme

Syirik Intelektual Itu Plagiarisme

PLAGIARISME yang dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan penjiplakan sengaja saya sejajarkan dengan syirik dalam terminologi agama (Islam) terkait dengan dosa besar konsekuensinya. Yakni, jika merujuk kepada arti literal sebuah ayat dalam Alquran, tidak terampuni.

Selebihnya dosa sebesar apapun, Dia menjanjikan pengampunan.
Dosa dalam dunia akademik terdapat pada sebuah perbuatan yang jika seorang intelektual melakukannya berakibat ’’sama’’ dengan syirik, yaitu hilangnya kredibelitas diri bersangkutan baik dari segi intelektual ataupun moral. Dosa tersebut adalah plagiarisme.


Mengingat krusialitasnya masalah plagiarisme, sebuah perguruan tinggi di Jakarta merasa perlu memberikan pengumuman besar-besar agar mahasiswa yang akan menulis disertasi dan tesis tidak terlibat dosa besar akademik itu. Berdasarkan peringatan itu, plagiarisme tidak hanya menjiplak karya orang lain tanpa keterangan, tapi juga meliput pemindahan karya dirinya tanpa tafsir dan analisis lanjutan terkait tesis dan disertasinya.

Selain itu, praktik mengutip meskipun dengan keterangan namun tanpa disertai analisis dan terlalu banyak mengutip satu buku juga dianggap plagiarisme. Jadi seandainya penulis tesis dan disertasi dalam verifikasi akhir ditemukan melakukan tindakan seperti itu dipastikan kena ’’azab’’ akibat dosa akademik tersebut.

Berkaitan dengan masalah itu, jika seorang intelektual, tidak hanya dosen tapi juga semua orang yang bergiat dengan ilmu seperti guru, melakukan tindakan yang amat tercela itu akibatnya sungguh buruk. Tidak hanya intelektualitas bersangkutan yang diragukan, tapi moralitas dirinya. Hal itu penting, mengingat seorang intelektual selain harus membuktikan kapabilitas dirinya melalui karya yang bebas dari plagiarisme, harus membuktikan bahwa dirinya bermoral sesuai standar tertentu.

Moral dirasa sangat penting mengingat lembaga pendidikan dan tempat pengembangan ilmu sampai sekarang masih diyakini sebagai benteng moral. Bagaimana tempat yang diyakini sebagai benteng moral itu bisa menebarkan ilmu pengetahuan berbasis moral jika orang-orang yang menjadi pelaku justru melakukan tindakan tidak terpuji, baik dari segi moral maupun intelektual.

Sebagian dari kita mungkin sangat terkejut dengan kasus 1.820 guru di sebuah provinsi di Indonesia terkena sanksi pencabutan kelulusan sertifikasi mereka serta dikenai kewajiban mengembalikan urang tunjangan profesional guru. Menurut saya, semestinya itu belum cukup. Mereka semestinya dipidana dan dipecat. Dua sanksi terakhir sangat pantas diberikan, karena praktik terpuji tersebut dilakukan oleh orang-orang yang semestinya menebarkan moral dan intelektualitas.

Jadi, menurut saya sanksi kepada mereka tidak hanya dicabut sertifikasi keguruannya dan diwajibkan mengembalikan tunjangan, tapi juga semestinya diproses secara pidana dan dipecat. Hal itu perlu dilakukan dalam rangka memberikan efek jera kepada mereka.

Para guru yang berjumlah 1.820 orang itu bisa jadi hanya yang tertimpa sial saja. Lebih banyak dari jumlah itu, masih menikmati hidup meskipun bisa jadi dalam hati kecil mereka ketar-ketir juga, khawatir mengikuti jejak yang seribuan orang lebih itu.

Sportivitas

Praktik tidak terpuji seperti memalsukan kaya ilmiah juga tidak hanya monopoli guru yang biasanya sebelum ada Undang-Undang Dosen dan Guru justru banyak kerja sambilan di luar konteks keguruan seperti tukang ojek dan lain-lain. Seorang dosen yang semestinya jauh lebih berkemampuan dari seorang guru juga tergoda untuk melakukan hal serupa. Bahkan, seorang dosen yang sudah berpangkat guru besar pun kena getahnya, karena ketahuan melakukan plagiarisme. Dan, bersangkutan pun dipecat dengan tidak hormat.

Pemecatan secara tidak hormat lantaran plagiarisme sebagaimana dialami oleh seorang guru besar di Universitas Parahyangan Bandung bisa jadi masih menimbulkan kritik, karena dianggap terlalu keras. Namun, menurut saya, selaku seoorang yang harus menjunjung tinggi moral, sportivitas, dan intelektualitas, dia pantas mendapat sanksi seperti itu.

Sebab, selaku guru besar sesuai citranya sudah tentu karena karya orisinalitasnya dan moral yang tinggi. Sehingga, jika ia melakukan plagiarisme label intelektualnya sirna dengan sendirinya dan sudah barang tentu berdampak pada moralitasnya.

Sebenarnya, jika dicermati lebih jauh tindakan plagiarisme didasari rendahnya moral, karena seseorang yang bermoral tentu tidak akan melakukan tindakan tercela tersebut selain  tentunya, karena bersangkutan tidak mempunyai kemampuan intelektual yang memadai namun mempunyai nafsu besar untuk menjadi seorang intelektual.

Bagi seorang dosen yang bernafsu menjadi intelektual sementara kemampuan dirinya tidak mendukung, banyak kesempatan yang bisa digunakan untuk pencitraan dirinya selaku intelektual.

Hal yang paling mudah adalah memanfaatkan karya mahasiswanya baik dengan mengambil alih penuh atau memberikan sedikit polesan agar bersangkutan mempunyai karya ilmiah. Tujuan dari hal itu adalah dalam rangka naik pangkat dan mendapat jabatan fungsional yang tinggi di lingkungan akademik.

Di samping itu, sudah bukan rahasia lagi apabila seorang dosen ingin menulis tugas akhir kuliahnya seperti disertasi menggunakan jasa orang lain termasuk menuliskannya sekaligus. Praktik
semacam ini sebenarnya bisa ditemui dengan mudah, karena pemberi jasa biasanya secara terang-terangan menawarkan diri.

Seorang kawan yang sedang menulis disertasi sempat mendatangi seseorang guna meminta bantuan untuk menerjemahkan tulisan Jawa. Si penerjemah tanpa ragu, menawarkan jasa dengan imbalan Rp 5 juta sampai selesai.

Apa yang diceritakan kawan saya itu bisa saja sudah menjadi fenomena umum mengingat banyak di negeri ini orang-orang yang jika dilihat dari pekerjaannya tidak akan bisa menyelesaikan kuliah doktor dalam jangka dua tahun. Sementara sejumlah orang pintar, paling tidak membutuhkan dua tahun setelah kuliah untuk melakukan riset secara sungguh-sungguh.

Penyelesaian disertasi yang sangat singkat itu terlebih hampir bersamaan waktunya dengan masa kuliah patut dipertanyakan, kapan menulisnya sementara mereka selain menyelesaikan tugas kuliah juga harus bekerja pada siang harinya.

Tindakan tidak terpuji tersebut tidak bisa dipisahkan dari tujuan pragmatis jangka pendek, yaitu jabatan fungsional dan sertifikasi. Terlebih pemerintah menjanjikan tunjangan besar bagi mereka yang lulus sertifikasi dan guru besar sehingga banyak orang yang tadinya tidak hirau dengan pangkat berlomba mengejar hal itu.

Maka tidaklah mengherankan jika semua cara ditempuh termasuk memalsukan karya, menjiplak, dan meminta orang lain untuk menuliskan karya ilmiah, termasuk yang berbentuk tesis dan disertasi. Jika para punggawa intelektual dan moral tersebut melakukan hal itu, masihkah mereka berlindung sebagai orang intelek dan bermoral? Karena itu, jika dari mereka ada yang melakukan tindakan seperti itu, pemecatan memang pantas dikenakan agar lembaga pendidikan sebagai benteng moral dan intelektual tetap bersih dan berwibawa. (10)

—Doktor Mahmudi Asyari, staf pengajar UIN Jakarta, tinggal di Semarang
Wacana Suara Merdeka 15 Februari 2010