PLAGIARISME yang dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan penjiplakan  sengaja saya sejajarkan dengan syirik dalam terminologi agama (Islam)  terkait dengan dosa besar konsekuensinya. Yakni, jika merujuk kepada  arti literal sebuah ayat dalam Alquran, tidak terampuni. 
Selebihnya dosa sebesar apapun, Dia menjanjikan pengampunan. 
Dosa dalam dunia akademik terdapat pada sebuah perbuatan yang jika  seorang intelektual melakukannya berakibat ’’sama’’ dengan syirik, yaitu  hilangnya kredibelitas diri bersangkutan baik dari segi intelektual  ataupun moral. Dosa tersebut adalah plagiarisme. 
Mengingat krusialitasnya masalah plagiarisme, sebuah perguruan tinggi di  Jakarta merasa perlu memberikan pengumuman besar-besar agar mahasiswa  yang akan menulis disertasi dan tesis tidak terlibat dosa besar akademik  itu. Berdasarkan peringatan itu, plagiarisme tidak hanya menjiplak  karya orang lain tanpa keterangan, tapi juga meliput pemindahan karya  dirinya tanpa tafsir dan analisis lanjutan terkait tesis dan  disertasinya. 
Selain itu, praktik mengutip meskipun dengan keterangan namun tanpa  disertai analisis dan terlalu banyak mengutip satu buku juga dianggap  plagiarisme. Jadi seandainya penulis tesis dan disertasi dalam  verifikasi akhir ditemukan melakukan tindakan seperti itu dipastikan  kena ’’azab’’ akibat dosa akademik tersebut.
Berkaitan dengan masalah itu, jika seorang intelektual, tidak hanya  dosen tapi juga semua orang yang bergiat dengan ilmu seperti guru,  melakukan tindakan yang amat tercela itu akibatnya sungguh buruk. Tidak  hanya intelektualitas bersangkutan yang diragukan, tapi moralitas  dirinya. Hal itu penting, mengingat seorang intelektual selain harus  membuktikan kapabilitas dirinya melalui karya yang bebas dari  plagiarisme, harus membuktikan bahwa dirinya bermoral sesuai standar  tertentu. 
Moral dirasa sangat penting mengingat lembaga pendidikan dan tempat  pengembangan ilmu sampai sekarang masih diyakini sebagai benteng moral.  Bagaimana tempat yang diyakini sebagai benteng moral itu bisa menebarkan  ilmu pengetahuan berbasis moral jika orang-orang yang menjadi pelaku  justru melakukan tindakan tidak terpuji, baik dari segi moral maupun  intelektual.
Sebagian dari kita mungkin sangat terkejut dengan kasus 1.820 guru di  sebuah provinsi di Indonesia terkena sanksi pencabutan kelulusan  sertifikasi mereka serta dikenai kewajiban mengembalikan urang tunjangan  profesional guru. Menurut saya, semestinya itu belum cukup. Mereka  semestinya dipidana dan dipecat. Dua sanksi terakhir sangat pantas  diberikan, karena praktik terpuji tersebut dilakukan oleh orang-orang  yang semestinya menebarkan moral dan intelektualitas. 
Jadi, menurut saya sanksi kepada mereka tidak hanya dicabut sertifikasi  keguruannya dan diwajibkan mengembalikan tunjangan, tapi juga semestinya  diproses secara pidana dan dipecat. Hal itu perlu dilakukan dalam  rangka memberikan efek jera kepada mereka.
Para guru yang berjumlah 1.820 orang itu bisa jadi hanya yang tertimpa  sial saja. Lebih banyak dari jumlah itu, masih menikmati hidup meskipun  bisa jadi dalam hati kecil mereka ketar-ketir juga, khawatir mengikuti  jejak yang seribuan orang lebih itu.
Sportivitas
Praktik tidak terpuji seperti memalsukan kaya ilmiah juga tidak hanya  monopoli guru yang biasanya sebelum ada Undang-Undang Dosen dan Guru  justru banyak kerja sambilan di luar konteks keguruan seperti tukang  ojek dan lain-lain. Seorang dosen yang semestinya jauh lebih  berkemampuan dari seorang guru juga tergoda untuk melakukan hal serupa.  Bahkan, seorang dosen yang sudah berpangkat guru besar pun kena  getahnya, karena ketahuan melakukan plagiarisme. Dan, bersangkutan pun  dipecat dengan tidak hormat.
Pemecatan secara tidak hormat lantaran plagiarisme sebagaimana dialami  oleh seorang guru besar di Universitas Parahyangan Bandung bisa jadi  masih menimbulkan kritik, karena dianggap terlalu keras. Namun, menurut  saya, selaku seoorang yang harus menjunjung tinggi moral, sportivitas,  dan intelektualitas, dia pantas mendapat sanksi seperti itu. 
Sebab, selaku guru besar sesuai citranya sudah tentu karena karya  orisinalitasnya dan moral yang tinggi. Sehingga, jika ia melakukan  plagiarisme label intelektualnya sirna dengan sendirinya dan sudah  barang tentu berdampak pada moralitasnya.
Sebenarnya, jika dicermati lebih jauh tindakan plagiarisme didasari  rendahnya moral, karena seseorang yang bermoral tentu tidak akan  melakukan tindakan tercela tersebut selain  tentunya, karena  bersangkutan tidak mempunyai kemampuan intelektual yang memadai namun  mempunyai nafsu besar untuk menjadi seorang intelektual.
Bagi seorang dosen yang bernafsu menjadi intelektual sementara kemampuan  dirinya tidak mendukung, banyak kesempatan yang bisa digunakan untuk  pencitraan dirinya selaku intelektual. 
Hal yang paling mudah adalah memanfaatkan karya mahasiswanya baik dengan  mengambil alih penuh atau memberikan sedikit polesan agar bersangkutan  mempunyai karya ilmiah. Tujuan dari hal itu adalah dalam rangka naik  pangkat dan mendapat jabatan fungsional yang tinggi di lingkungan  akademik.
Di samping itu, sudah bukan rahasia lagi apabila seorang dosen ingin  menulis tugas akhir kuliahnya seperti disertasi menggunakan jasa orang  lain termasuk menuliskannya sekaligus. Praktik 
semacam ini sebenarnya bisa ditemui dengan mudah, karena pemberi jasa  biasanya secara terang-terangan menawarkan diri. 
Seorang kawan yang sedang menulis disertasi sempat mendatangi seseorang  guna meminta bantuan untuk menerjemahkan tulisan Jawa. Si penerjemah  tanpa ragu, menawarkan jasa dengan imbalan Rp 5 juta sampai selesai. 
Apa yang diceritakan kawan saya itu bisa saja sudah menjadi fenomena  umum mengingat banyak di negeri ini orang-orang yang jika dilihat dari  pekerjaannya tidak akan bisa menyelesaikan kuliah doktor dalam jangka  dua tahun. Sementara sejumlah orang pintar, paling tidak membutuhkan dua  tahun setelah kuliah untuk melakukan riset secara sungguh-sungguh.
Penyelesaian disertasi yang sangat singkat itu terlebih hampir bersamaan  waktunya dengan masa kuliah patut dipertanyakan, kapan menulisnya  sementara mereka selain menyelesaikan tugas kuliah juga harus bekerja  pada siang harinya. 
Tindakan tidak terpuji tersebut tidak bisa dipisahkan dari tujuan  pragmatis jangka pendek, yaitu jabatan fungsional dan sertifikasi.  Terlebih pemerintah menjanjikan tunjangan besar bagi mereka yang lulus  sertifikasi dan guru besar sehingga banyak orang yang tadinya tidak  hirau dengan pangkat berlomba mengejar hal itu. 
Maka tidaklah mengherankan jika semua cara ditempuh termasuk memalsukan  karya, menjiplak, dan meminta orang lain untuk menuliskan karya ilmiah,  termasuk yang berbentuk tesis dan disertasi. Jika para punggawa  intelektual dan moral tersebut melakukan hal itu, masihkah mereka  berlindung sebagai orang intelek dan bermoral? Karena itu, jika dari  mereka ada yang melakukan tindakan seperti itu, pemecatan memang pantas  dikenakan agar lembaga pendidikan sebagai benteng moral dan intelektual  tetap bersih dan berwibawa. (10)
—Doktor Mahmudi Asyari, staf pengajar UIN Jakarta, tinggal di Semarang
Wacana Suara Merdeka 15 Februari 2010
14 Februari 2010
» Home » 
Suara Merdeka » Syirik Intelektual Itu Plagiarisme
Syirik Intelektual Itu Plagiarisme
Thank You!