Oleh Asmar Oemar Saleh(Advokat)
Indeks  Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2009 yang dirilis oleh  Transparency International masih cukup tinggi. Pada IPK 2008, Indonesia  mendapat skor 2,6 atau berada di urutan ke-126. Sedangkan pada 2009 naik  menjadi 2,8. Kenaikan itu tidak signifikan jika melihat bahwa Indonesia  masih berada pada urutan ke-111 dari 180 negara. IPK Indonesia masih di  bawah negara-negara tetangga, seperti Brunei Darussalam (5,5), Malaysia  (4,5), dan Thailand (3,3).
Penyebab kenaikan IPK Indonesia boleh  jadi berkat kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang didirikan  pada 2003 lalu. Sejak itu, IPK Indonesia memang terus meningkat secara  gradual. Dari 1,9 pada 2003, menjadi 2,0 pada 2004, dan terus meningkat  menjadi 2,2 pada 2005. Lalu, 2,4 pada 2006. Meski sempat merosot menjadi  2,3 pada 2007, namun meningkat lagi menjadi 2,6 pada 2008.
Mengingat  tantangan yang dihadapi oleh pemerintah pascareformasi, kenaikan IPK  yang cukup pelan dapat dimengerti. Korupsi telah mengakar: membudaya  dalam struktur pemerintahan, mulai yang terendah sampai yang paling  tinggi, dan melibatkan jaringan mafia hukum dari para oknum penegak  hukum.
Tapi, jika mempertimbangkan keberadaan KPK yang usianya  kini menjelang tujuh tahun, kenaikan itu tentu jauh dari memuaskan.  Dengan adanya lembaga negara khusus yang bertujuan meningkatkan upaya  pemberantasan korupsi, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya  bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun,  pemberantasan korupsi di Indonesia selayaknya bisa berjalan lebih cepat  dan optimum.
Faktanya, prestasi KPK baru mengungkap  korupsi-korupsi pada tingkat permukaan, belum menyentuh ke akar penyebab  maraknya korupsi di negeri ini. Artinya, keberadaan KPK sesungguhnya  patut dipertanyakan. Mengapa hingga detik ini KPK masih tak mampu  menggenjot kinerjanya ke arah, katakanlah, perubahan yang radikal dan  revolusioner dalam pemberantasan korupsi?
Belajar dari  Hong Kong
Korupsi yang merajalela di Hong Kong pada 1970-an,  mendorong lahirnya Independent Commission Against Corruption (ICAC)  pada 15 Februari 1974. Akarnya adalah tradisi 'uang pelicin' yang  mengakar di birokrasi, khususnya di tubuh kepolisian. Akibatnya,  institusi kepolisian saat itu bisa 'dibeli' oleh mafia Triad.  Terbongkarnya keterlibatan Kepala Kepolisian Hong Kong, Peter Godber,  yang menyimpan rekening sebesar 4,3 juta dolar Hong Kong dan 600.000  dolar AS di luar negeri, adalah puncak gunung es korupsi kronis di  negara tersebut.
ICAC segera bertindak. Lembaga ini berhasil  menyeret Godber yang bersembunyi di London kembali ke Hong Kong dan  mengadilinya. ICAC juga tak segan-segan membabat polisi di tingkat  bawah. Tentu saja, gebrakan ICAC itu membuat polisi di Hong Kong marah.  Kerusuhan berhasil diredam setelah ICAC mengumumkan pengampunan bagi  korupsi kecil yang dilakukan sebelum 1977.
ICAC mengukir prestasi  yang spektakuler dengan mengadili 119 pimpinan polisi Hong Kong,  mengenai tuduhan konspirasi pada 24 polisi, serta menangkap ratusan  aparat pemerintah yang korup. Sejak itu, korupsi di tubuh polisi turun  hingga 70 persen. Dari 1.443 laporan pada 1974, menjadi 446 laporan pada  2007. Hong Kong menjelma menjadi negara terbersih kedua di Asia dan  berhasil menarik minat investor asing agar menanam modalnya di negara  itu.
Kembali ke khitah
Berdasarkan Pasal 6  Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan  Tindak Pidana Korupsi, tugas KPK adalah: (a) koordinasi dengan instansi  yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (b)  supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan  tindak pidana korupsi; (c) melakukan penyelidikan, penyidikan, dan  penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; (d) melakukan  tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; (e) melakukan  monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Bercermin  dari Hong Kong dan mengacu pada UU di atas, agar pemberantasan korupsi  di Indonesia dapat menangkap tuntas para koruptor kelas kakap serta  melibas jaringan mafia hukum, KPK harus kembali ke khitahnya.  Berdasarkan UU, seharusnya fokus penanganan korupsi KPK diarahkan pada:  (1) aparat dan lembaga penegak hukum; serta (2) pangkal munculnya  korupsi, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Rute  yang mesti dilalui KPK meliputi tiga hal. Pertama, melakukan pembersihan  di instansi-instansi yang potensial menjadi sarang korupsi dan mafia  hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan (Pengadilan Negeri,  Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung), dan advokat.
Ini juga  dalam rangka memberdayakan institusi-institusi tersebut agar bisa  berfungsi seperti yang diharapkan. Jamak dimafhumi, sebagai warisan Orde  Baru, instansi-instansi penegakan hukum di Indonesia tak lepas dari  infeksi korupsi. Adalah tugas KPK untuk membersihkan institusi-institusi  penegak hukum itu. Jika institusi-institusi tersebut sudah berjalan  normal, sejatinya KPK telah menyelesaikan tugasnya secara paripurna dan  boleh dilikuidasi.
Kedua, dari sisi penindakan, KPK seharusnya  hanya fokus pada penanganan kasus-kasus korupsi yang membuat negara  mengalami kerugian yang sangat besar, seperti kasus BLBI. Sementara,  kasus-kasus korupsi di bawahnya lebih baik diserahkan kepada kejaksaan  dan kepolisian, tapi tetap dalam pengawasan KPK. Tujuannya agar KPK tak  kehilangan fokus dan tak terpecah konsentrasinya.
Ketiga, dalam  upaya pencegahan, sasaran utama KPK adalah birokrasi pemerintahan tempat  dibuatnya kebijakan-kebijakan penting negara. Sebab, birokrasi inilah  yang menjadi pangkal bagi munculnya korupsi, kolusi, dan nepotisme.  Tanpa upaya ini, korupsi akan terus berlanjut dan koruptor-koruptor  tetap berpeluang merampok uang negara.
Manusia setengah  dewa
Untuk menjalankan misi suci tersebut di atas, memang  diperlukan aparat penegak hukum yang siap menjadi 'manusia setengah  dewa': profesional, berpihak pada kebenaran, berintegritas tinggi,  bahkan bila perlu harus siap mewakafkan dirinya (martir) bagi penegakan  hukum. Apa boleh buat, Indonesia telah menjadi negeri para koruptor,  penanganannya pun membutuhkan para penegak hukum kelas satu.
Mengembalikan  khitah KPK, dan memperkuat orang-orang di dalamnya, adalah kunci  pemberantasan korupsi di negeri ini. Menambah lembaga, seperti membentuk  Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum pada 30 Desember 2009  lalu, hanya menjanjikan harapan yang tak mudah ditepati. Apalagi, satgas  tak punya kewenangan eksekutorial penyidikan dan penuntutan seperti  yang dimiliki KPK.
Terlalu berorientasi pada pemenuhan kepuasan  publik akan jadi bumerang bagi KPK. Target dan misi di balik dasar  pembentukannya, itulah yang harus menjadi konsentrasinya. Sehingga,  ketika saatnya KPK harus bubar, lembaga-lembaga penegak hukum lain yang  telah disterilisasi oleh KPK siap melanjutkan tugas pemberantasan  korupsi yang semula diembannya. Saya kira, inilah ukuran sesungguhnya  keberhasilan KPK.
(-)      
Opini Republika 13 Februari 2010
                               
14 Februari 2010
Mengembalikan Khitah KPK
Thank You!