14 Februari 2010

» Home » Republika » Melindungi Agama

Melindungi Agama

Surahman Hidayat
Anggota DPR RI Fraksi PKS

Akhir-akhir ini, umat beragama di Indonesia umumnya dan umat Muslim khususnya disibukkan dengan gugatan terhadap Undang-Undang Perlindungan Agama di Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh sebagian Lembaga Swadaya Masyarakat. Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 itu digugat oleh mereka karena dianggap melanggar hak asasi manusia sehingga tidak konstitusional.

Perlu disepakati tentang apa yang konstitusional dan yang tidak. Definisi yang tidak boleh ditolak bahwa setiap yang dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 adalah konstitusional, baik dalam batang tubuh maupun dalam pembukaannya, yang tidak boleh diubah sama sekali. Turunannya kemudian bahwa apa yang diatur dengan undang-undang atas perintah UUD 1945 adalah konstitusional. Demikian halnya yang diatur dalam undang-undang sepanjang sesuai dengan jiwa dan makna konotatif ketentuan dalam UUD 1945.

Muatan UUD Negara Republik Indonesia (NRI) 1945 dapat dikategorisasi kepada tiga hal. Pertama, konstitusional dan final secara politis dan agama, yaitu isi pembukaan yang tidak boleh diubah, baik dengan konsensus politik maupun dalam keyakinan agama. 1) Bahwa kemerdekaan NKRI dicapai dan diproklamasikan melalui perjuangan kemerdekaan sebagai ikhtiar manusia adalah Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa. 2) Bahwa NRI disusun sebagai negara yang berkedaulatan rakyat (melalui permusyawaratan perwakilan) dengan berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari Pancasila.

Kedua, konstitusional dan final secara politis, yaitu isi Pembukaan UUD NRI 1945 yang disepakati secara politik untuk tidak akan diubah (diamendemen). Dengan demikian, ada lima perkara yang disepakati untuk tidak diubah. 1) Sumpah Pemuda. 2) Proklamasi Kemerdekaan NRI pada 17 Agustus 1945. 3) Pembukaan UUD NRI 1945. 4) Pancasila. 5) Bhinneka Tunggal Ika. 6) NKRI.

Ketiga, konstitusional, tapi belum final dalam pengertian masih terbuka untuk diubah oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, yaitu yang dimuat dalam batang tubuh UUD NRI 1945.

Kita nukil satu paragraf dari pembukaan tersebut, yaitu paragrap ketiga. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Suatu korelasi logis adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, rakyat dan bangsa Indonesia berjuang mencapai kemerdekaan Indonesia yang--Alhamdulillah--diproklamasikan pada bulan suci Ramadhan dan hari Jumat oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. Proklamasi 17 Agustus 1945 itu dimaksudkan supaya terwujud suatu kehidupan kebangsaan yang bebas.

Bebas dalam mencapai keinginan luhur yang diformulasikan dalam tujuan nasional, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tentu saja, juga bebas dalam mensyukuri rahmat Allah Yang Maha Kuasa dengan pengamalan keberagamaan yang benar dan legal.

Adalah logis dan wajar apabila bangsa dan negara Indonesia sungguh-sungguh dalam menganut serta mempertahankan ajaran/konsepsi tentang dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dan untuk mensyukuri rahmat Allah yang dikaruniakan kepada bangsa Indonesia. Itu adalah konstitusional serta final, baik secara politis sehingga tidak boleh diamendemen maupun secara agama tidak boleh dirusak/dinodai atau digantikan.

Sikap menghormati serta melindungi agama itu dilakukan oleh Orde Lama dengan ditandatanganinya Penetapan Presiden RI Nomor 1/PNPS/1965 oleh Soekarno pada 27 Januari 1965. Kemudian, dilanjutkan oleh Orde Baru dengan menambah poin keputusan politik, yaitu melarang ajaran ateisme di Indonesia. Orde Reformasi tentu sepenuhnya mendukung. Sebab, hakikat reformasi adalah menegaskan komitmen dengan nilai-nilai kebenaran dan mengoreksi hal-hal yang menyimpang dengan kembali ke jalan yang benar.
Setiap kebebasan yang menyimpang dari semangat berketuhanan Yang Maha Esa dan mensyukuri rahmat Allah Yang Maha Kuasa adalah kebebasan yang anarkis.

Kebebasan untuk menentang ajaran Tuhan dalam agama adalah kebebasan syaitani/iblisi yang punya watak membangkang. Sedangkan, kebebasan yang dilakukan tidak selaras dengan kesyukuran atas rahmat Allah Yang Maha Kuasa adalah kebebasan syahwati yang hedonistik.

Dengan demikian, upaya segelintir orang melalui LSM untuk menolak perlindungan bagi ajaran agama di Indonesia adalah lebih buruk dari keburukan Orde Lama dan lebih sesat dari penyimpangan Orde Baru serta di luar koridor Orde Reformasi.

Maka, hanya ada satu sikap dan pilihan untuknya, yaitu menolak dengan satu kata serta mengenyahkannya jauh-jauh dari ranah kehidupan berkebangsaan kita yang religius berketuhanan Yang Maha Esa serta mensyukuri rahmat Allah Yang Maha Kuasa.

OPini Republika 15 Februari 2010