14 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Menimbang Efektivitas Smoking Area

Menimbang Efektivitas Smoking Area

ROKOK dan kebiasaan merokok  tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sebagian masyarakat. Indonesia Tak kenal strata sosial, tua atau muda, bahkan kebiasaan itu tidak hanya identik dilakukan oleh kaum adam, dewasa ini merokok juga merupakan gaya hidup sejumlah wanita muda di kota-kota besar.

Meskipun telah disadari akan bahaya merokok bagi kesehatan, baik untuk perokok aktif maupun pasif (mereka yang bukan perokok namun menghirup asap dari rokok yang diisap orang lain-Red), jumlah perokok terus meningkat tajam. Terbukti, Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia untuk  jumlah perokok, yaitu 65 juta orang atau 28 %. Hal ini berarti kaum perokok Indonesia telah membakar 225 miliar batang per tahun. (laporan WHO 2008).


Menimbang dari bahaya yang ditimbulkan dari aktivitas merokok, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Pemkot Semarang tidak berpangku tangan. Terbukti tahun ini diagendakan 18 gedung di kota Semarang akan difasilitasi dengan smoking area (SM,05/02).

Hal ini merujuk pada Peraturan Wali Kota (Perwal) Semarang Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Kawasan Terbatas Merokok (KTM) Kota Semarang.

Kawasan Tanpa Rokok (KTR) berarti tempat yang dinyatakan terlarang untuk kegiatan produksi, penjualan, iklan, promosi dan penggunaan rokok. Adapun tempat-tempat tertentu yang ditetapkan sebagai KTR di antaranya sarana kesehatan, tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum.
Sementara KTM yaitu tempat di mana kegiatan merokok hanya boleh dilakukan di tempat khusus.

Pembangunan blok smoking area ini sebagai salah satu upaya untuk mengamankan masyarakat dari bahaya merokok sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003, dengan perkantoran merupakan salah satu tempat yang dipilih. Saat ini Pemkot baru menyediakan tiga ruang khusus merokok, yakni Balai Kota, Gedung DPRD, dan Gedung Moch Ichsan yang dilengkapi alat penghisap udara dan sirkulasi udara yang memadai.

Pembuatan daerah khusus smoking area itu tanpa dibarengi dengan kedisiplinan dari perokok itu sendiri niscaya akan sia-sia. Seperti kita ketahui, sebagian masyarakat lekat dengan kebiasaan merokok di tempat umum tiap kali mereka beraktivitas atau sekadar rehat. Mereka tak sungkan bila asap rokoknya mengganggu orang-orang di sekitarnya.

Kendati telah diperingatkan akan bahaya merokok yang tercantum di bungkusnya, sikap acuh sering mereka tunjukkan saat menikmati rokok itu. Tentu hal ini sangat merugikan tak hanya untuk dirinya sendiri, namun juga untuk orang-orang yang ’’terpaksa’’ menghirup kepulan asap rokok.

Untuk mengubah perilaku yang telah membudaya di kalangan perokok tidaklah mudah. Langkah awal yang diperlukan adalah melakukan sosialisasi yang bersifat membangun awareness masyarakat tentang ditetapkannya Perwal Nomor 12 Tahun 2009. Dengan demikian masyarakat diharapkan memahami isi yang terkandung dari peraturan tersebut sehingga meminimalisasi pelanggaran yang akan terjadi.  

Di samping itu, perlunya pembinaan untuk memotivasi masyarakat terutama para perokok untuk mendisiplinkan diri tidak merokok di sembarang tempat. Dalam hal ini partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan guna mewujudkan hidup sehat tanpa asap rokok. Salah satunya dengan cara mengampanyekan KTR dan KTM, sehingga smoking area lebih efektif fungsinya.

Sanksi dan teguran perlu diberikan bagi pelanggar aturan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan efek jera pelaku sehingga tidak mengulangi pelanggaran tersebut di kemudian hari. Jangan sampai peraturan yang telah ditetapkan dengan tujuan mulia ini menjadi pepesan kosong belaka.

Kesadaran dan kedisiplinan masyarakat dituntut demi mewujudkan sebagian area atau bangunan di Semarang bebas asap rokok. Diharapkan fasilitas khusus itu yang disediakan akan menjadi ruang privat yang nyaman bagi perokok sehingga kepulan asap mereka tak sampai mampir ke hidung masyarakat yang notabene bukan perokok.   (10)

— Tafrida Tsurayya, warga Semarang
Wacana Suara Merdeka 13 Februari 2010