”Karnaval dalam acara haul mengajari manusia menggalang kerja sama, kebersamaan, dan kekompakan”
BULAN Muharam adalah momentum kebangkitan umat Islam di dunia. Spirit perjuangan Nabi Muhammad SAW adalah sumber inspirasi dan motivasi untuk bangkit mengejar ketertinggalan dan kemunduran segala bidang. Dalam konteks ini, ulama adalah sosok pewaris para nabi dalam membumikan visi dan misi perjuangannya di tengah umat sampai akhir zaman.
Perjuangan para ulama perlu diteladani oleh umat Islam. Salah satu ulama yang patut diteladani adalah Syekh KH Ahmad Mutamakkin, yang biasa disebut Mbah Mutamakkin, asal Kajen Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati. Dia sosok penuh ’’misteri’’, eksistensinya dibenci oleh pusat kekuasaan dan ulama yang prokekuasaan.
Tapi bagi masyarakat, kehadirannya laksana mata air yang tidak pernah kering. Dia terasa mengayomi, melindungi, dan memancarkan aura kebeningan hati. Doktrin agama dimaknai secara evolusioner dan transformatif, tidak membebek pada kemauan penguasa sehingga dia dijuluki protagonis (Bizawie, 2002). Ia lebih suka bahasa simbol dan menggunakan jalur budaya untuk memudahkan pemahaman agama kepada masyarakat.
Pendekatan sosio kultural inilah efektif untuk melakukan perubahan substansial di tengah masyarakat. Dua pendekatan lainnya adalah formal (kekuasaan) dan kultural (murni budaya) (Wahid, 1997). Mbah Mutamakkin dikenal sebagai salah satu waliyullah (kekasih Allah) yang memiliki banyak kekeramatan sehingga hingga kini banyak umat Islam menziarahi makamnya.
Menurut Prof Dr Mudjahirin Thohir (2011:2), yang disebut waliyullah dalam bangunan pemikiran orang Jawa adalah sosok yang berhasil mengambil jarak dari kepentingan duniawi. Hidup sepenuhnya untuk ibadah kepada Allah.
Tingkah lakunya pun mungkin bisa dikatakan nyleneh (khorijul adat). Ketika ke-nyeleneh-an dan kewaskitaannya lebih dilihat sebagai karomah maka untuk memahami perilaku wali, tidak bisa dengan rasio atau fakta empirik historik tetapi suprarasionalitas, yakni percaya dan yakin.
Terkait dengan Mbah Mutamakkin, haul dilaksanakan pada 1-10 Muharam. Banyak kegiatan dilakukan dan semuanya sarat makna. Acara dibuka dengan tahlil mukadimah dilanjutkan tahtimul Quran bil ghaib dan bi al-nadhar. Setelah doa khataman Alquran dilanjutkan dengan tahlil dan mauidhah hasanah.
Acara yang juga ditunggu masyarakat adalah prosesi buka kelambu (selambu) dan lelang kelambu cungkup makam, serta karnaval yang menampilkan marching band. Rangkaian acara dipuncaki dengan manakib penutup.
Banyak Makna
Sudah waktunya umat Islam bangkit dalam bidang ekonomi untuk menggerakkan perubahan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan. Ekonomi menjadi kunci utamanya, dan di sinilah makna strategis acara lelang kelambu untuk mendorong umat Islam mengembangkan jiwa kewirausahaannya.
Dalam kebangkitan ekonomi, kita harus lebih memperhatikan nasib orang miskin dan mereka yang hidupnya sengsara. Jangan sampai terus-menerus menindas mereka.
Lelang kelambu dengan harga terjangkau oleh kalangan umum yang sedikit modalnya membuktikan hebatnya ekonomi Islam yang dipraktikkan dalam acara haul Mbah Mutamakkin.
Kebangkitan ekonomi menjadi sumber kesejahteraan bagi semua kalangan, baik yang kaya maupun miskin. Karnaval adalah pesta rakyat yang bernilai persatuan dan kesatuan dari seluruh lapisan masyarakat. Ia juga bernilai pluralitas dan toleransi terhadap bermacam warna manusia.
Karnaval dalam acara haul mengajari manusia menggalang kerja sama, kebersamaan, dan kekompakan dengan menyingkirkan fanatisme eksklusif dan primordial yang bisa menghancurkan bangunan agung bangsa ini. Manakib penutup menjadi acara terakhir yang bermakna pentingnya memohon pertolongan kepada orang lain.
Haul yang sarat makna ini membuktikan efektivitas perjuangan tokoh besar itu dalam membumikan pesan agama Allah di muka bumi, sekaligus mampu menjadi perekat komunitas sosial lintas sektoral. (10)
— Jamal Ma’mur Asmani, dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah (Staimafa) Pati, mahasiswa S-3 Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang
Wacana Suara Merdeka 6 Desember 2011