11 Desember 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Harmonisasi Menyikapi UMK

Harmonisasi Menyikapi UMK

”Sebagian besar buruh di Jateng sudah berkeluarga sehingga KHL bagi mereka harus mendasarkan pada ukuran keluarga”
UPAH minimum kabupaten/ kota (UMK) 2012 di Jateng sudah ditetapkan Gubernur Bibit Waluyo, dan beberapa direvisi (SM, 01/12/11). Besaran upah di 35 kabupaten/ kota rata-rata Rp 834.255,30. Kenaikan upah terendah di Kota Semarang, hanya naik 3,14% atau Rp 30.177. Tahun 2011, upah minimum Kota Semarang Rp 961.323 dan 2012 menjadi Rp 991.500. Kenaikan tertinggi di Kabupaten Temanggung, yaitu  11,17% atau Rp 87 ribu, karena tahun 2011 Rp 779 ribu dan tahun depan menjadi Rp 866 ribu (SM, 19/11/11).
Kebijakan soal upah sampai kapan pun menjadi persoalan. Walaupun penentuannya sudah mengacu parameter kebutuhan hidup layak (KHL) serta bermusyawarah dengan perwakilan buruh, pengusaha, pemerintah, dan perguruan tinggi, faktanya masih saja muncul persoalan terkait besaran ataupun ketaatan melaksanakan pembayaran.  
Persoalan UMK bisa muncul dari pihak buruh atau pengusaha. Buruh merasa selama ini besarnya upah masih jauh dari kebutuhan, sedangkan pengusaha merasa tidak semua mampu membayar upah sebesar yang diputuskan nominalnya itu. Semua alasan itu cukup realistis.
Buruh beranggapan besaran upah belum sama dengan KHL, bahkan umumnya di bawahnya. Terlebih komponen KHL yang jadi pedoman adalah daftar kebutuhan hidup layak bagi buruh lajang. Bila ia sudah berkeluarga maka perhitungan yang mendasarkan pada KHL itu tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan sekeluarga.
Sebagian pengusaha berdalih bahwa kemampuan membayar upah tidak sama antara pengusaha yang satu dan lainnya. Ada pengusaha berpendapat besarnya upah itu cukup realistis sehingga ia mampu membayar, bahkan menambahnya dengan tunjangan atau insentif lainnya.
Sebagian merasa ketentuan baru mengenai upah itu sangat memberatkan sehingga ia tak mampu membayarnya secara penuh.
Secara ekonomi, upah tenaga kerja pada sektor swasta ditentukan oleh mekanisme pasar tenaga kerja. Dalam pasar tenaga kerja ada dua kekuatan, yakni permintaan dan penawaran, yang saling tarik menarik sesuai kepentingan masing-masing. Permintaan tenaga kerja datang dari pihak pengusaha, sementara penawaran tenaga muncul dari masyarakat yang membutuhkan pekerjaan.
Kelayakan Keluarga
Sebagian besar tenaga kerja di Jateng berstatus sudah berkeluarga sehingga kebutuhan hidup layak bagi mereka harus mendasarkan pada ukuran keluarga, bukan lagi kebutuhan seorang buruh yang masih lajang. Parameter KHL bagi seorang lajang yang menjadi salah satu acuan penentuan upah memang realistis, tetapi jika pekerja itu sudah berkeluarga dengan satu anak saja maka angka pada komponen KHL itu tidak layak lagi. Terlebih bila ia mempunyai anak lebih dari satu. Inilah persoalan dasarnya.    
Sementara, pengusaha juga menghadapi persoalan, misalnya ketatnya persaingan, baik dari dalam maupun luar negeri, tingginya inflasi yang menyebabkan biaya tinggi, tidak memadainya infrastruktur yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, pungutan tidak resmi dan sebagainya.
Pengusaha menghadapi pengeluaran yang pasti atas dasar ketidakpastian. Bayangkan saja, laku tidak laku, untung tidak untung, mereka tetap harus membayar upah tenaga kerja dan menanggung pengeluaran tetap yang lain.
Jadi sebenarnya persoalan upah tidak semata-mata menyangkut besarannya karena banyak faktor yang memengaruhi dan persoalan itu harus dipecahkan oleh pengusaha, buruh, dan pemerintah. Pemda harus mengusahakan hal-hal yang sifatnya mendorong berkembangnya usaha, dan mengurangi hal-hal yang memberatkan usaha. Di samping itu, perlu mengklasifikasikan dengan mendasarkan pada kemampuan pengusaha membayar upah.
Pengusaha punya hak untuk memperoleh keuntungan agar perusahaanya bisa berkembang. Persoalan yang membuat usaha biaya tinggi harus segera diatasi, termasuk masalah infrastruktur, pungutan liar, dan jaminan keamanan. Pada sisi lain, buruh jangan hanya menuntut pemenuhan UMK tetapi juga harus membuktikan bisa bekerja dengan baik, dengan produktivitas tinggi, disiplin, dan tidak terlalu reaktif untuk berdemonstrasi. (10)

— Nurul Anwar, dosen Fakultas Ekonomi Unsoed, anggota Dewan Pengupahan Kabupaten Banyumas
Opini Suara Merdeka 8 Desember 2011