11 Desember 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Menakar KPK Selera DPR

Menakar KPK Selera DPR

KETERPILIHAN Abraham Samad sebagai Ketua KPK yang baru ini menyiratkan Komisi III DPR lebih mengutamakan energi baru dalam pemberantasan korupsi. Bagaimana prospek pimpinan baru komisi antikorupsi itu, dengan melihat konstelasi mutakhir politik hukum dalam pemberantasan korupsi lima tahun ke depan?

Pilihan DPR itu lebih pada sosok yang belum populer, belum memiliki prestasi besar, dan bukan tokoh nasional. Kelebihannya masih muda, baru berusia 45 tahun pada 27 November lalu dan belum terkontaminasi oleh kekuasaan politik. Dia mengungguli Bambang Widjojanto, rangking I seleksi versi pansel bentukan pemerintah. Ketidakterpilihan Bambang lebih disebabkan kedekatannya dengan pegiat sejumlah LSM antikorupsi dan membuat takut DPR. 

Busyro Muqoddas tak diminati karena terlalu keras mengkritik anggota DPR, yang disebutnya hedonis dan boros. Adapun Yunus Husein, Abdullah Hehamahua, dan Aryanto Sutadi dianggapnya telah terlibat jauh dengan kekuasaan politik. Posisi itu mereka khawatirkan mudah menjegal kekuatan politik di parlemen.

Lebih dari itu, ketiganya di mata DPR tak memiliki rekam jejak prestasi luar biasa. Husein saat memimpin PPATK dinilai tak berhasil mendorong transparansi rekening pejabat publik yang diduga korup. Abdullah Hehamahua sebagai Penasihat KPK gagal mendorong lembaganya mengusut kasus-kasus besar korupsi, dan Aryanto Sutadi disebut dalam beberapa kasus gratifikasi saat menjabat di Polri.

Pilihan terhadap pimpinan baru KPK itu bukannya tanpa cacat mengingat keterpilihan mereka adalah hasil kompromi elite politik di parlemen, terutama anggota setgab koalisi parpol pendukung pemerintah, yang terdiri atas PD, PKB, PAN, PKS, PPP, dan Golkar. Hal itu bisa terlihat saat molornya rapat Komisi III dalam voting. 

Bahkan, jauh sebelumnya lobi-lobi intensif telah dilakukan di kantor setgab untuk menyamakan persepsi. Kelima pimpinan baru itu tampaknya dianggap paling bisa mengakomodasi kepentingan politik partai-partai di DPR agar selamat dari gempuran KPK lima tahun ke depan. 

Terpilihnya Abraham Samad juga mencerminkan betapa DPR tak cukup memiliki komitmen memberantas karena wajah baru tersebut dianggap lebih mudah dititipi kepentingan politik. Lain halnya bila Bambang Widjojanto yang terpilih yang ketegasan sikapnya dapat membahayakan posisi politik partai di DPR dan nasib pemerintahan SBY. Apalagi 2012-2014 adalah tahun krusial politik nasional. Dalam tiga tahun kecenderungan korupsi kekuasaan dan anggaran negara pasti cukup besar dari politikus dan birokrat guna mengisi pundi-pundi guna penggalangan kekuatan politik menuju Pemilu 2014. Di titik ini, dugaan adanya kepentingan menempatkan sosok yang sesuai dengan selera DPR dan pemerintah menemukan relevansinya. 

Model Pencegahan

Tantangan pimpinan baru KPK adalah keberanian mengusut kasus-kasus besar yang selama ini dibentengi kekuatan politik. Misalnya, kasus bailout Bank Century, korupsi wisma atlet SEA Games, mafia pajak, dan kasus cek perjalanan terkait pemilihan Deputi Senior Gubernur BI. 

Jika Abraham Samad dan komisioner lainnya bisa mengusut tuntas sejumlah megaskandal, hal itu dapat memulihkan citra pemberantasan korupsi yang selama ini cenderung tebang piilih dan penuh rekayasa politik. Namun bila gagal maka pergantian pimpinan KPK itu hanyalah rutinitas sebagaimana layaknya pergantian kepengurusan organisasi.
Nakhoda baru komisi antikorupsi itu dituntut segera menyinergikan relasi penegakan hukum, bersama Polri dan kejaksaan mengingat selama ini sinergi itu tidak berjalan karena egosektoral masing-masing institusi. Publik juga berharap pimpinan baru KPK mampu mengubah pemberantasan korupsi menjadi model pencegahan, seperti dilakukan China, Hong Kong, Malaysia, Singapura, dan Selandia Baru. 

Upaya itu bisa dilakukan dengan mendorong reformasi birokrasi, perbaikan pelayanan publik, remunerasi pada semua insitusi pelayanan publik, pembatasan transaksi tunai bagi pejabat publik dan menggantinya lewat rekening bank, serta merancang ’’kurikulum’’ antikorupsi pada semua lini lembaga pendidikan. 

Apakah pimpinan baru komisi antikorupsi itu bisa mewujudkan harapan masyarakat agar negeri ini segera beranjak dari indeks korupsi yang anjlok menuju negara yang bersih? Sejarahlah yang akan mengujinya. (10)

— Agus Riewanto, kandidat doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta
Wacana Suara Merdeka 8 Desember 2011