11 Desember 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Perspektif Penangkapan Nunun

Perspektif Penangkapan Nunun

HARUS diakui, bahwa di tengah kritik keras aktivis antikorupsi terhadap upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air, pemerintah telah menorehkan prestasi dalam upaya memberantas korupsi. Terkait dengan penangkapan Nunun Nurbaetie pada 9 Desember 2011 oleh polisi Thailand di rumah kontrakan mewah di negara itu, yang kemudian menyerahkannya kepada petugas KPK di atas pesawat Garuda di bandara di Bangkok, kita perlu mengacungi jempol kepada pemerintah, termasuk media sebagai pilar keempat demokrasi di Tanah Air, setelah hukum.

Wanita sosialita itu menjadi buron Interpol terkait dengan dugaan suap menggunakan 480 cek perjalanan (traveller's cheque) senilai tak kurang dari Rp 24 miliar. Cek itu diberikan kepada sejumlah anggota DPR untuk memenangkan Miranda Swaray Goeltom menjadi Deputi Senior Gubernur BI. 

Seperti diketahui bersama, dalam perspektif hukum sebagaimana artikel penulis berjudul ”Misteri Tas Hitam Nazaruddin” (SM, 15/08/11), proses pemulangan mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat itu dari persembunyiannya di Kolombia,  juga menorehkan prestasi luar biasa bagi pemerintah, termasuk Polri, jajaran Ditjen Keimigrasian, dan KPK yang bekerja keras memburu dan memulangkannya.

Kembali perlu dicatat bahwa pemulangan Nazaruddin dan Nunun, selain menorehkan prestasi, juga melahirkan kejutan (presedensi) fenomenal bagi hukum acara perburuan koruptor yang melarikan diri dari Tanah Air setelah merampok harta publik atau uang rakyat untuk memperkaya diri dan keluarga atau kelompoknya.

Terobosan itu tidak ada dalam text book hukum, meskipun diskresi dapat ditemukan dalam UU tentang Polri. Terobosan hukum fenomenal yang dapat memberi andil bagi kepustakaan hukum dunia adalah,” meskipun negara tempat buron korupsi itu singgah dan bersembunyi tidak memiliki perjanjian ekstradisi (extradition treaty) dengan kita, buron dapat dikembalikan dengan mulus.” (Lihat  ”Wacana Nasional” , SM, 15/08/11). 

Apa di balik semua prestasi luar biasa dan terobosan hukum yang signifikan bagi kepustakaan hukum dunia itersebut? Dalam perspektif hukum, kuncinya adalah pada kemauan politik (political will) pemerintah dalam memberantas korupsi dengan cara-cara luar biasa (extraordinary). Hal ini sejalan dengan pengertian korupsi yang oleh berbagai peraturan perundang-undangan, terutama KUHPidana, dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Namun, perkenankanlah saya menyampaikan perspektif untuk mewaspadai politisasi (politicking) di balik kemauan politik (politic will) penangkapan Nunun dan persidangan Nazaruddin.

Mematuhi Hukum

Jangan sampai kemauan politik memberantas korupsi yang telah ditunjukkan secara meyakinkan oleh pemerintah ternyata sekadar didorong oleh kesadaran yang mengandung kepalsuan. Artinya, kesadaran yang muncul secara tiba-tiba karena hanya mengejar tujuan atau agenda politik sempit golongan politik dalam pemerintahan atau yang ingin berkuasa, bersifat temporer dan dangkal.

Pandangan itu penting dikemukakan mengingat masih banyak pengamat antikorupsi yang menyinyalir bahwa yang dilakukan pemerintah dalam konteks pemberantasan korupsi hanya adegan sandiwara. 
Maksudnya, ketika pemerintah terdesak oleh kepungan politik pesaing mereka yang tidak berada di pusat pemerintahan, apalagi disertai dengan ancaman penggunaan hak politik yaitu hak menyatakan pendapat maka reaksi yang muncul adalah menciptakan bargaining politik dengan cara mencari tumbal, bisa jadi seperti yang dilakukan terhadap Nunun. 

Ditambah lagi, citra politik sangat mahal; manakala sejumlah partai mulai menyusun strategi menghadapi pemilu, suksesi kepemimpinan nasional 2014 dengan cara mulai mengelus-elus capres dan wapres yang sudah pasti akan menggantikan SBY.

Perspektif hukum mendikte, bahwa kemauan politik pemberantasan korupsi wajib dimulai dari kepatuhan terhadap hukum, tanpa syarat, atau tanpa bermaksud untuk tawar-menawar (political bargaining). Selain itu, perlu mewaspadai politisasi dari penguasa dalam upaya menyandera atau menyumbat suara kritis yang ingin membongkar korupsi, yang senyatanya telah menyandera prinsip konstitusional bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat. (10)

– Jeferson Kameo SH LLM PhD, dosen Fakultas Hukum, tinggal di Salatiga
Wacana Suara Merdeka 12 Desember 2011